Dari Ibnu ‘Umar L, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
[arabic-font]«ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِهِ»[/arabic-font]
“Tiga perkara yang membinasakan; kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan takjubnya seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. at-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabiir)
Al-muhlikaat, adalah perkara-perkara yang menjerumuskan kepada kebinasaan.
Ketiga, Takjubnya seseorang terhadap dirinya sendiri
Maknanya adalah dia menyangka dirinya sendiri dengan apa yang tidak ada padanya.
al-Qurthubi V berkata,
[arabic-font]هُوَ النَّظَرُ إِلىَ نَفْسِهِ بِعَيْنِ الْكَمَالِ وَالاِسْتِحْسَانِ مَعَ نِسْيَانِ مِنَّةِ اللهِ، فَإِنْ وَقَعَ عَلىَ الْغَيْرِ وَاحْتَقَرَهُ فَهُوَ الْكِبْرُ[/arabic-font]“Ia adalah melihat kepada diri sendiri dengan pandangan kesempurnaan dan anggapan baik dengan melupakan anugerah Allah, dan jika hal itu berdampak pada orang lain, lalu dia merendahkannya, maka ia adalah sombong.”
Telah datang riwayat dari ‘Umar I, bahwa dia berkata,
[arabic-font]إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِرَأْيِهِ، وَمَنْ قَالَ: أَنَا عَالِمٌ، فَهُوَ جَاهِلٌ. وَمَنْ قَالَ: أَنَا فِي الْجَنَّةِ فَهُوَ فِي النَّارِ[/arabic-font]“Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan terhadap kalian adalah takjubnya seseorang terhadap pendapatnya. Dan barangsiapa mengatakan, ‘Aku adalah seorang alim’, maka dia adalah orang bodoh. Dan barangsiapa mengatakan aku di sorga, maka dia di neraka.” (diriwayatkan oleh Ibnu Hajar di dalam al-Mathaalib al-‘Aaliyah)
Dan ayat-ayat yang di dalamnya Allah melarang mentazkiyah (mensucikan) diri sendiri, maka diambil darinya peringatan terhadap rasa takjub terhadap diri sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Abu as-Su’uud V.
Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font]فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ ٩٨[/arabic-font]“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. an-Nahl (16): 98)
Yang dimaksud dari ayat ini adalah agar manusia beristi’adzah (meminta perlindungan kepada Allah) dari syaithan sebelum membaca al-Qur`an. Maka maknanya adalah, ‘Jika Engkau hendak membaca al-Qur`an.’ Dan yang demikian juga tidak menghalangi maknanya adalah beristi’adzah dari syaitan setelah membaca al-Qur`an, sebagaimana yang dikatakan oleh ar-Raziy([1]) V; agar tidak sesuatupun dari rasa ujub yang menerobos ke jiwa.
Dan termasuk diantara karakteristik para salaf adalah merendahkan diri dan menghinakannya, maka ini adalah suatu bentuk dari sikap tawadhu’ yang dicintai oleh Allah.
Di dalam as-Shahihain –dalam kisah ifk (pembebasan diri ibunda ‘Aisyah J dari tuduhan zina)-, ‘Aisyah J berkata,
[arabic-font]وكنت أَعْلَمُ أَنِّي بَرِيئَةٌ، وَأَنَّ اللَّهَ مُبَرِّئِي بِبَرَاءَتِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ مَا كُنْتُ أَظُنُّ أَنَّ اللَّهَ مُنْزِلٌ فِي شَأْنِي وَحْيًا يُتْلَى، وَلَشَأْنِي فِي نَفْسِي كَانَ أَحْقَرَ مِنْ أَنْ يَتَكَلَّمَ اللَّهُ فِيَّ بِأَمْرٍ يُتْلَى، وَلَكِنْ كُنْتُ أَرْجُو أَنْ يَرَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ رُؤْيَا يُبَرِّئُنِي اللَّهُ بِهَا[/arabic-font]“Dulu aku tahu bahwa aku berlepas diri (dari tuduhan itu), dan bahwa Allah akan membersihan diriku dengan berlepasnya diriku (dari tuduhan itu). Akan tetapi, demi Allah, tidaklah aku menyangka bahwa Allah akan menurunkan sebuah wahyu yang akan dibaca tentang urusanku. Dan sungguh urusanku pada diriku adalah lebih rendah daripada firman Allah ﷻ tentangku dengan suatu perkara yang dibaca. Akan tetapi dulu aku berharap agar Rasulullah ﷺ melihat mimpi di dalam tidur yang dengannya Allah membersihkan diriku (dari tuduhan itu)”
Dia itu siapa? Dialah yang Allah telah bertasbih mensucikan diri-Nya tatkala manusia menuduhnya (dengan tuduhan keji),
[arabic-font]وَلَوۡلَآ إِذۡ سَمِعۡتُمُوهُ قُلۡتُم مَّا يَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبۡحَٰنَكَ هَٰذَا بُهۡتَٰنٌ عَظِيمٞ ١٦[/arabic-font]“Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah Dusta yang besar.” (QS. an-Nuur (24): 16)
Dan tatkala Bakr bin ‘Abdillah al-Muzaniy melihat manusia di ‘Arafah, dia berkata,
[arabic-font]لَوْلاَ أَنَا فِيْهِمْ لَقُلْتُ: قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُمْ[/arabic-font]“Seandainya aku tidak ada di tengah mereka, maka pastilah aku akan berkata, ‘Sungguh Allah telah mengampuni mereka.” Padahal siapakah dia V?
Maka selayaknyalah lisan spontanitas seorang mukmin adalah, ‘Siapakah yang lebih layak dengan api neraka daripada diriku?’ Sesungguhnya seorang mukmin itu mengumpulkan perbuatan baik dan rasa takut, sementara orang munafik mengumpulkan perbuatan buruk, dan rasa aman.
Sungguh ‘Umar bin al-Khaththab pernah melihat kepada Ubay bin Ka’b I sementara manusia bersamanya (berjalan di belakang Ubay bin Ka’b), lalu ‘Umar memukulnya dengan cemeti. Lalu Ubay bin Ka’b berkata, ‘Wahai Amiirul mukminiin, apa yang Anda lakukan?’ Maka dia menjawab,
[arabic-font]«إِنَّهَا فِتْنَةٌ لِلْمَتْبُوعِ، وَمَذَلَّةٌ لِلتَّابِعِ»[/arabic-font]‘Ia adalah fitnah bagi orang yang diikuti, dan kehinaan bagi yang mengikuti.’
Disebutkan di dalam atsar,
[arabic-font]إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ مِنَ الْخُيَلاَءِ[/arabic-font]“Takjubnya seseorang terhadap dirinya sendiri adalah termasuk bagian dari kesombongan.”
Dan setiap orang yang melihat dirinya memiliki keutamaan atas manusia, maka dia memiliki satu bagian dari ‘ujub, wal’iyaadzu billah.
Oleh karena itulah, tawadhu’ ditafsirkan dengan ucapan mereka,
[arabic-font]أَنْ لاَ تَرَى أَحَداً إِلاَّ وَظَنَنْتَ أَنَّ لَهُ عَلَيْكَ فَضْلاً[/arabic-font]“Engkau tidak melihat seorangpun melainkan Engkau menyangka bahwa dia memiliki keutamaan diatasmu.”
Di dalam Syarah Ibnu Baththaal, Mutharrif V berkata,
[arabic-font]لِأَنْ أَبِيْتَ نَائِمًا وَأُصْبِحَ نَادِمًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَبِيْتَ قَائِمًا وَأُصْبِحَ مُعْجَبًا[/arabic-font]“Sungguh aku menginap di malam hari dalam keadaan tidur, lalu dipagi hari menjadi orang yang menyesal lebih aku sukai daripada aku menginap di malam hari dalam keadaan berdiri (shalat) lalu di pagi hari menjadi orang takjub (terhadap diri sendiri).”
Dan dikatakan,
[arabic-font]أَوْحَى اللهُ تَعَالىَ إِلىَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: (يَا دَاوُدُ، كَانَتْ تِلْكَ الزَّلَّةُ مُبَارَكَةً عَلَيْكَ)! فَقَالَ: يَا رَبِّ وَكَيْفَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: (إِنَّ أَنِيْنَ الْمُذْنِبِيْنَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ زَجَلِ –صَوْتِ- الْمُسَبِّحِيْنَ)[/arabic-font]“Allah ﷻ mewahyukan kepada Dawud S, ‘Wahai Dawud, ketergelinciran tersebut mendatangkan keberkahan bagimu.’ Maka dia menjawab, ‘Wahai Tuhanku, bagaimanakah hal itu?’ Maka Dia berfirman, ‘Sesungguhnya rintihan orang yang berbuat dosa, lebih aku sukai daripada suaranya orang yang bertasbih.’
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid II, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
_______________________________________
Footnote:
([1]) At-Tafsiir al-Kabiir (XX/92)