عن أبي كَبْشَةَ الْأَنَّمَارِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «ثَلَاثَةٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ –وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ-: مَا نَقَصَ مَالُ عَبْدٍ مِنْ صَدَقَةٍ. وَلَا ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً فَصَبَرَ عَلَيْهَا إِلَّا زَادَهُ اللهُ عِزًّا. وَلَا فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إِلَّا فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ بَابَ فَقْرٍ»
Dari Abu Kabsyah al-Anmariy radhiyallaahu ‘anhu, bahwasannya dia pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga perkara, aku bersumpah terhadap tiga perkara tersebut –dan aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits, maka hafalkanlah-; tidaklah harta seorang hamba itu akan berkurang karena shadaqah; tidaklah seorang hamba terzhalimi oleh sebuah kezhaliman, lalu dia bersabar diatasnya, melainkan Allah akan menambahkan kemuliaan padanya; dan tidaklah seorang hamba membuka pintu meminta-minta melainkan Allah akan membukakan pintu kefaqiran atasnya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)([1])
Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam [ثَلَاثَةٌ], yang dimaksud dengannya adalah tiga perkara. Dikarenakan tanwin pada kata tersebut adalah tanwin ‘iwadh (tanwin pengganti kata yang tersembunyi-pent). Sementara yang ma’ruf (dikenal) adalah bahwa ‘adad (bilangan) [ثَلَاثَةٌ], menyelishi ma’dud (isim bilangan) di dalam tadzkir (pembentukan isim mudzakkar) dan ta`niits (pembentukan isim muannats). Lalu mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak bersabda [ثَلَاثٌ], namun bersabda [ثَلَاثَةٌ]? Selagi ma’dud (isim bilangan) nya adalah [خِصَالٌ]?
Jawabnya adalah, bahwa ma’duud (isim bilangan) jika dihilangkan maka ‘adad (bilangan)nya boleh dua-duanya. Seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ»
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal, maka adalah puasanya tersebut seperti puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim)([2])
Yang dihilangkan adalah [أَيَّام] (hari-hari), dan beliau tidak bersabda [سِتَّةً] sittatan, dikarenakan ma’dud (isim bilangan)nya jika dihilangkan, maka boleh kedua bentukan ‘adad (bilangan)nya di dalam ta`niits (pembentukan isim muannatats) dan tadzkiir (pembentukan isim mudzakkar)nya.
Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam [أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ], ini menunjukkan bolehnya bersumpah karena permintaan sumpah.
Dan faidah dari sumpah tersebut adalah penegasan yang memotivasi untuk menerima ucapan tersebut dan memperhatikan wasiat (yang dikemukakan).
Sumpah di dalam hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah sedikit. Dan sesungguhnya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa telah menganjurkannya (untuk mempersedikit sumpah).
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
وَٱحفَظُوٓاْ أَيمَٰنَكُمۡۚ
“… dan jagalah sumpahmu…” (QS. Al-Maidah (5): 89)
Ada tiga perkara yang dimaksud oleh ayat ini;
Pertama, menyedikitkan sumpah;
Kedua, tidak menyelisihi sumpah jika Anda telah bersumpah;
Ketiga, membayar kaffarah (denda) saat menyelisihi sumpah.
Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam, adalah as-Shaadiq (orang yang jujur) al-Mushaddaq (orang yang dibenarkan) dan al-Mashduuq (yang dipercaya) tanpa sumpah, namun sumpah beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, tiada lain adalah karena perhatian beliau terhadap umatnya untuk memotivasi mereka agar mengamalkan perkara-perkara tersebut.
Sementara kalimat [وَأُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ] “dan aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits, maka hafalkanlah…’ adalah kalimat sela.
Perkara pertama, harta tidak akan berkurang karena shadaqah.
Yang dimaksud di sini adalah dua perkara;
Pertama, pahala akhirat.
Saya akan membuat permisalan; apa pendapat Anda seandainya ada seseorang memiliki dua rumah, lalu dia pindahkan segala harta bendanya dari rumah pertama ke rumah kedua, maka apakah harta bendanya yang akan berkurang, ataukah tempatnya saja yang akan berubah?
Yang kedualah yang benar. Maka setiap orang yang bershadaqah, maka sesungguhnya dia hanyalah memakmurkan akhiratnya dengan shadaqahnya. Dan barangsiapa mengamalkannya, maka Allah akan memberkahi apa yang tersisa dari hartanya. Maka dengannya, dipaksalah pengurangan secara fisik tersebut. Inilah makna hadits tersebut.
Adalah sebagian salaf, jika ia melihat seorang peminta-minta, dia berkata,
مَرْحَباً بِمَنْ جَاءَ يُحَوِّلُ مَالَ دُنْيَانَا إِلىَ أُخْرَانَا
‘Selamat datang kepada orang yang akan memindahkan harta dunia kami menuju akhirat kami.’
Kedua, penggantian di dunia disamping pahala di akhirat.
Dalil-dalil yang ada telah menunjukkannya; dan saya akan menyebutkan satu ayat dan dua hadits diantaranya,
Adapun ayatnya adalah firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
وَمَآ أَنفَقتُم مِّن شَيءٍ فَهُوَ يُخلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيرُ ٱلرَّازِقِينَ ٣٩
“… dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba` (34): (39)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam Tafsirnya (VI/523), ‘Yaitu, betapapun Anda menginfaqkan sesuatu dalam perkara yang Allah telah perintahkan, dan membolehkannya bagi Anda, maka sesungguhnya Dia akan menggantikannya untuk Anda di dunia dengan penggantian, dan di akhirat dengan balasan.”
Adapun dua hadits yang dimaksudkan adalah hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا»
“Tidak ada suatu haripun yang para hamba berada di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun; lalu salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfaq.’ Dan yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kerusakan kepada orang yang menahan (diri dari berinfaq).” (Muttafaqun ‘alaih)([3])
Dan nasihatku kepada diriku sendiri dan kepada saudara-saudaraku, hendaknya kita turut mendapat bagian do’a yang penuh berkah ini di setiap hari kita… bagaimanakah hal itu bisa kita dapatkan? Kita bisa mendapatkannya dengan bersedekat setiap hari. Dan termasuk perkara yang mudah bagi kita adalah salah seorang diantara kita membuat sebuah kotak di rumahnya yang setiap harinya dia meletakkan sesuatu sekalipun sedikit di dalamnya sebelum keluar untuk bekerja. Lalu biasakanlah Anda untuk meletakkan sesuatu dari harta Anda di dalamnya setiap hari sekalipun sedikit. Maka barangsiapa melanggengkannya, maka doanya dua malaikat yang mulia tersebut akan mengenainya setiap hari.
Adapun hadits yang kedua, adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ –ثم َقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: يَدُ اللهِ مَلْأَى، لَا تَغِيضُهَا نَفَقَةٌ، سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ، أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُنْذُ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ»
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Berinfaqlah, Aku akan menafkahimu.’ Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tangan Allah itu penuh, tidak akan menguranginya satu nafkahpun yang terus menerus diberikan sepanjang malam dan siang. Bagaimanakah pandanganmu terhadap apa yang telah Dia nafkahkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi?’ (Muttafaqun ‘alaih)([4])
Di dalam hadits Qudsi tersebut terdapat permasalahan;
Yang pertama akan menjadi jelas dengan mengetahui makna al-infaaq. Infaaq itu adalah mengeluarkan harta dari tangan. Dan diantaranya adalah [نَفَقَ الْبَيْعُ], yaitu keluar dari tangan penjual ke tangan pembeli. [نَفَقَتِ الدَّابَّةُ] : keluar rohnya (hewan). [نَفَقَ الزَّادُ]: habis (perbekalannya). Maka [أَنْفَقَ] digunakan jika telah habis satu bagian dari hartanya.
Lalu bagaimana kita menetapkan penisbahan sifat ini kepada Allah, sementara apa yang ada di sisi Allah tidak akan pernah habis?
Jawabannya adalah, sesungguhnya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman, ‘Berinfaqlah, maka aku akan menafkahi kalian’ adalah dari sisi penyesuaian (penyerupaan) saja.
Tinggallah sekarang dikatakan setelahnya, apakah boleh seseorang bershadaqah dan menginginkan penggantian duniawi yang telah dinyatakan di dalam hadits tersebut?
Jawabannya adalah tidak ada keraguan bahwa keinginan manusia untuk mendapatkan dunia dengan amalnya adalah termasuk perbuatan syirik kepada Allah. Akan tetapi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memberikan dorongan pada sebagian amal dengan menjelaskan pahalanya di dunia dan akhirat; seperti menyambung tali rahim.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barangsiapa senang akan dilapangkan untuknya rizqinya, dan ditangguhkan (dipanjangkan) untuknya usianya, maka hendaknya dia menyambung tali rahimnya.” (Muttafaqun ‘alaih)([5])
Dan seandainya menolehnya kita kepada apa yang telah disebutkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam daripada bagian dunia hukumnya adalah haram, maka pastilah penyebutannya adalah sebuah kesia-siaan, sementara Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tersucikan dari yang demikian. Maka pada amal semisal ini, dengannya seseorang itu akan berharap dua kebaikan sekaligus, dan tidak ada permasalahan padanya dalam hal itu, akan tetapi hendaknya tujuannya yang paling utama dan tinggi adalah akhirat.
(Bersambung…)
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid III, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
([1]) HR. At-Tirmidzi (2325), Ahmad (18060), lihat Shahiih al-Jaami’ (3024), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (16), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid, 10/73.-pent
([2]) HR. Muslim (1164) at-Tirmidzi (759), Abu Dawud (2433), Ahmad (23580)-pent
([3]) HR. al-Bukhari (1442), Muslim (1010)-pent
([4]) HR. al-Bukhari (4684)-pent
([5]) HR. al-Bukhari (5986), Muslim (2557)-pent