Tiga Perkara Yang Dibenci Allah

Dari Abu Hurairah I, Nabi ﷺ bersabda,

«إِنَّ اللهَ يَكْرَهُ لَكُمْ: قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ»

“Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian qiila wa qoola (katanya katanya), banyak bertanya (meminta), dan menyia-nyiakan harta.”
(HR. Muslim dan Ahmad)

Pada riwayat Ibnu Hibban,

«وَيَنْهَاكُمْ عَنْ ثَلاَثٍ»

“Dan Dia melarang tiga hal dari kalian.”


Nabi ﷺ melarang qiila wa qoola (katanya-katanya),
As-Suyuthi V berkata di dalam kitab ad-Diibaaj ‘alaa Shahiih Muslim Ibn al-Hajjaaj (IV/318), ‘Ia adalah tenggelam di dalam berita-berita manusia, dan cerita-cerita yang tidak bermanfaat berupa keadaan-keadaan dan prilaku mereka. Dan hakikat dua lafazh ini diperselisihkan; dikatakan keduanya adalah dua fi’il madhi, dan dikatakan, keduanya adalah dua isim yang bertanwin.”

 

Dan kita menemukan di dalam hadits lain, bahwa Nabi ﷺ menganjurkan kita untuk meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat bagi kita. Beliau bersabda,

 «مِنْ حُسْنِ إسْلامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لا يَعْنِيهِ»

“Termasuk diantara kebaikan keIslaman seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. at-Turmudzi, di dalam Jami’ Imam at-Turmudzi)

 

Dan termasuk perkara yang dikandung oleh hadits tersebut adalah penukilan berita; yaitu seseorang menceritakan segala perkara yang telah ia dengar; dan ini, tanpa diragukan lagi, menghantarkan pada sikap ikut campur dalam perkara yang bukan menjadi urusannya. Sementara Nabi ﷺ telah melarang kita dari menceritakan segala perkara yang didengar.

 

Maka Anda harus diam dari banyak perkara yang Anda dengar, dan jangan menyebarkannya. Dikarenakan Allah telah menjadikan bagi Anda dua telinga dan satu lisan (agar Anda banyak mendengar dan sedikit bicara), maka obyektifkanlah keduanya dan jangan menzhalimi keduanya, sebagaimana telah dikatakan oleh para salaf.

 

Nabi ﷺ bersabda,

 « كَفَى بِالْمَرْءِ إثْمًا : أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ»

“Cukuplah dosa bagi seseorang, dia menceritakan segala perkara yang telah ia dengar.” (HR. Muslim)

 

Sebagian salaf berkata,

 لَا يَكُونُ إمَامًا مَنْ حَدَّثَ بكل ما سمع

“Tidak akan menjadi seorang imam, orang yang menceritakan segala perkara yang ia dengar.”

 

Maka larangan kenabian ini memberikan faidah kepada seorang muslim untuk menjaga lisannya, janganlah Anda menukilkan berita-berita, janganlah Anda ceburkan diri Anda tanpa berfikir panjang dengan pembicaraan yang tidak ada manfaatnya bagi Anda padanya.

 

Terdapat sebuah kalimat lembut yang dikatakan oleh Imam Nawawi V di dalam Riyadhushshaalihiin (276):

 اعْلَمْ أنَّهُ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُكَلَّفٍ أنْ يَحْفَظَ لِسَانَهُ عَنْ جَميعِ الكَلامِ إِلاَّ كَلاَماً ظَهَرَتْ فِيهِ المَصْلَحَةُ، ومَتَى اسْتَوَى الكَلاَمُ وَتَرْكُهُ فِي المَصْلَحَةِ فالسُّنَّةُ الإمْسَاكُ عَنْهُ؛ لأَنَّهُ قَدْ يَنْجَرُّ الكَلاَمُ المُبَاحُ إِلَى حَرَامٍ أَوْ مَكْرُوهٍ، وذَلِكَ كَثِيرٌ في العَادَةِ، والسَّلاَمَةُ لا يَعْدِلُهَا شَيْءٌ

“Ketahuilah bahwa sudah selayaknya bagi setiap orang yang mukallaf untuk menjaga lisannya dari seluruh ucapan kecuali ucapan yang tampak padanya suatu kemashlahatan. Maka kapan saja berucap dan meninggalkan ucapan itu sama kemashlahatannya, maka yang sunnah adalah menahan diri dari berucap. Dikarenakan, ucapan yang mubah kadang-kadang mendorong kepada yang haram atau makruh. Dan yang demikian itu banyak di dalam kebiasaan, sementara keselamatan itu tidak bisa ditandingi oleh sesuatupun.”

 

Dan ini adalah sebuah kalimat yang ditulis dengan tinta emas dari sang imam agung tersebut…

 

Dari Anas I, dia berkata, ‘Ada seorang laki-laki meninggal dunia, maka berkatalah laki-laki lain –sementara Rasulullah ﷺ mendengar- “Bergembiralah dengan sorga.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda,

 «مَا تَدْرِيْ! فَلَعَلَّهُ تَكَلَّمَ فِيْمَا لاَ يَعْنِيْهِ، أَوْ بَخِلَ بِمَا لَا يَنْقُصُهُ»

“Kamu tidak tahu! Barangkali dia telah berbicara dalam perkara yang tidak bermanfaat baginya (bukan urusannya), atau dia bakhil terhadap perkara yang tidak menguranginya (tidak merugikan hartanya).” (HR. at-Turmudzi)

 

Perkara kedua yang dilarang oleh Nabi ﷺ adalah banyak bertanya (meminta).
Di dalamnya terdapat dua penafsiran;

 

Pertama, bertanya tentang perkara-perkara yang tidak ada hajat kepadanya (untuk bertanya), maka jadilah larangan tersebut terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dibuat-buat.

 

Dan pertanyaan-pertanyaan tersebut ada dua bagian;

 

Pertanyaan keras kepala, dan dibuat-buat seperti pertanyaan Bani Israil, dan ini hukumnya haram.

 

Pertanyaan untuk mencari ilmu, dan inilah yang diperintahkan oleh Allah. Allah ﷻ berfirman,

 فَسأَلُوٓاْ أَهلَ ٱلذِّكرِ إِن كُنتُم لَا تَعلَمُونَ ٤٣

“… Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,…” (QS. an-Nahl (16): 43)

 

 

Tafsir kedua bagi sabda Nabi ﷺ  [وكثرة السؤال] adalah meminta harta.

 

Maka seorang muslim hendaknya menjadi orang yang bersih dari meminta-minta.
Nabi ﷺ bersabda di dalam Shahihain,

 «لاَ تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ»

“Tidak henti-hentinya permintaan (dunia) itu ada pada salah seorang diantara kalian, hingga dia bertemu Allah sementara tidak ada sekerat dagingpun pada wajahnya.”

 

Dan pada riwayat al-Baihaqiy terdapat sabda beliau ﷺ,

 «مَنْ فَتَحَ عَلَى نَفْسِهِ بَابَ مَسْأَلَةٍ مِنْ غَيْرِ فَاقَةٍ نَزَلَتْ بِهِ فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ بَابَ فَاقَةٍ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ»

“Barangsiapa membuka pintu meminta-minta atas dirinya tanpa kemelaratan yang turun padanya, maka Allah akan membuka atasnya pintu kemelaratan tanpa dia sangka-sangka.”

 

Pada riwayat an-Nasa`iy, beliau ﷺ bersabda,

 «لَوْ تَعْلَمُونَ مَا فِي الْمَسْأَلَةِ، مَا مَشَى أَحَدٌ إِلَى أَحَدٍ يَسْأَلُهُ شَيْئًا»

“Seandainya kalian mengetahui (dosa) apa yang ada pada minta-minta, maka tidak ada seorangpun yang berjalan kepada seseorang untuk memintanya sesuatu.”

 

Di dalam hadits lain,

 «إِنِّيْ لَأُعْطِي الرَّجُلَ الْعَطِيَّةَ فَيَنْطَلِقُ بِهَا تَحْتَ إِبْطِهِ وَمَا هِيَ إِلاَّ النَّارُ». فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: وَلِمَ تُعْطِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا هُوَ نَارٌ؟ فَقَالَ: «أَبَى اللهُ لِيْ الْبُخْلَ، وَأَبَوا إِلاَّ مَسْأَلَتِيْ».

“Sesungguhnya aku benar-benar akan memberikan pemberian, lalu ia beranjak pergi dengan membawanya di bawah ketiaknya, dan tidaklah ia melainkan api.” Maka ‘Umar berkata kepada beliau, ‘Mengapa Anda memberikan sesuatu yang itu adalah api, wahai Rasulullah?’ Maka beliau menjawab, ‘Allah tidak menyukai kebakhilan bagiku, dan mereka tidak suka kecuali meminta kepadaku.”

 

Perkara ketiga adalah menyia-nyiakan harta,

 

Yang dimaksud darinya adalah tabdziir…

 

Allah ﷻ berfirman,

 وَلَا تُبَذِّر تَبذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا ٢٧

“… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Israa` (17): 26-27)

 

Dan tabdziir itu adalah berlebih-lebihan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud I.

 

Dan makna dari “saudara syaitan” adalah wali-wali syetan, demikianlah orang Arab berkata bagi setiap orang yang menepati kebiasaan suatu kaum dan mengikuti jejak-jejak mereka, ‘Dia adalah saudara mereka.’

 

Dan kedua kaki seorang hamba tidak akan beranjak pada hari kiamat hingga dia ditanya tentang empat perkara, yang diantaranya Nabi ﷺ menyebut,

 «عَنْ مَالِهِ؛ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ؟ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ»؟

“Tentang hartanya; darimana dia mengusahakannya, dan dalam hal apa ia membelanjakannya?”

 

(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid I, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *