Tiga Nasihat Nabi

Dari Abu Ayyub al-Anshariy I, dia berkata, ‘Datang seorang laki-laki kepada Nabi lalu berkata, ‘Berikanlah nasihat kepada saya, dan ringkaslah (dalam memberikan nasihat).’ Maka beliau bersabda,
[arabic-font] «إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا، وَاجْمَعْ الْإِيَاسَ مِمَّا فِي يَدَيْ النَّاسِ»[/arabic-font] “Jika Engkau berdiri di dalam shalatmu, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak pamitan; janganlah berbicara dengan pembicaraan yang Engkau akan memberikan alasan (dengan meminta maaf) karena pembicaraan tersebut besok (pada hari kiamat); dan kumpulkanlah keterputus asaan dari apa yang ada di tangan manusia.”
(HR. Ahmad)

Dan lafazh at-Thabraniy di dalam al-Mu’jam,
[arabic-font] «صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، فَإِنَّكَ إِنْ كُنْتَ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ، وَأْيَسْ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ تَكُنْ غَنِيًّا، وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْهُ»[/arabic-font] “Shalatlah dengan shalatnya orang yang berpamitan (yang setelahnya tidak akan shalat lagi), maka sesungguhnya Engkau, jika Engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. Dan berputus asalah dari apa-apa yang ada di tangan-tangan manusia, Engkau akan menjadi kaya; dan berhati-hatilah dari apa-apa yang nanti akan dimintai alasannya.”

Di dalam hadits ini terdapat perhatian para sahabat terhadap kebaikan. Banyak sekali salah seorang diantara mereka meminta kepada Nabi agar beliau memberikan mau’izhah dan wasiat kepadanya.

Berkata seorang sahabat, ‘Wahai Nabi Allah, seakan-akan itu adalah nasihatnya orang yang hendak berpamitan, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Maka beliau bersabda,
[arabic-font] «عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ»[/arabic-font] “Wajib bagi kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat.”

Aswad al-Muharibiy berkata kepada beliau, ‘Berikanlah wasiat kepada saya.’ Maka Nabi bersabda,
[arabic-font] «أَمْسِكْ يَدَكَ»[/arabic-font] “Tahanlah tanganmu.”

Di dalam al-Musnad, seorang laki-laki berkata kepada beliau, ‘Berikanlah wasiat kepada saya.’ Maka beliau bersabda,
[arabic-font] «لاَ تَكُنْ لَعَّاناً»[/arabic-font] “Janganlah Engkau menjadi orang yang suka melaknat.”

Di dalam Mu’jam Imam at-Thabraniy dari Umaimah J -maula Rasulullah -, dia berkata, ‘Dulu aku menuangkan air wudhu` untuk Rasulullah , lalu masuklah seorang laki-laki lantas dia berkata, ‘Berikanlah wasiat kepada aku.’ Maka beliau bersabda,
[arabic-font] «لَا تُشْرِكْ بِاللهِ شَيْئًا، وَإِنْ قُطِّعْتَ وَحُرِّقْتَ بِالنَّارِ، وَلَا تَعْصِيَنَّ وَالِدَيْكَ وَإِنْ أَمَرَاكَ أَنْ تُخَلِّي عَنْ أَهْلِكَ وَدُنْيَاكَ فَتُخَلِّهِ، وَلَا تَشْرَبَنَّ خَمْرًا فَإِنَّهَا رَأْسُ كُلِّ شَرٍّ، وَلَا تَتْرُكَنَّ صَلَاةً مُتَعَمِّدًا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ، …»[/arabic-font] “Janganlah Engkau mensekutukan Allah dengan sesuatupun sekalipun Engkau dipotong-potong, dan dibakar dengan api; janganlah sekali-kali Engkau mendurhakai kedua orang tuamu sekalipun keduanya memerintahkanmu untuk melepaskan keluarga dan duniamu, maka lepaskanlah ia; janganlah sekali-kali Engkau meminum khomer, karena ia adalah pangkalnya segala keburukan; dan janganlah sekali-kali Engkau meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa melakukan yang demikian, terlepaslah tanggungan Allah, dan tanggungan Rasul-Nya dari dirinya…”
Semua ini menunjukkan perhatian para sahabat M terhadap kebaikan.

Wasiat pertama dalam tsulatsiyah hadits ini adalah ‘Shalatlah, seperti shalatnya orang yang hendak pamitan, karena sesungguhnya jika Engkau tidak bisa melihat-Nya, maka Dia melihatmu.’
Al-muwaddi’ (orang yang pamitan hendak pergi meninggalkan) adalah orang yang shalat, sementara al-muwadda’ (yang dipamiti, yang ditinggalkan) adalah umur dan dunia.

Yang dimaksud adalah bahwa Anda, jika Anda ingin berdiri shalat di hadapan Allah , maka anggaplah diri Anda sebagai mayit (orang yang mau mati) setelah shalat. Maka barangsiapa melakukan yang demikian, dia akan mendatangi shalat dengan sempurna seperti perintah Allah .

Maka wasiat yang pertama mengandung ijtihad (kesungguhan, bersungguh-sungguh) di dalam melaraskan shalat pada sesempurna dan sebaik-baik keadaan.

Taruhlah Anda, wahai saudaraku, mengetahui bahwa shalat zhuhur yang akan datang itu adalah shalat terakhir, maka bagaimanakah adanya keadaan Anda saat menunaikannya? Tidak diragukan lagi bahwa shalat itu akan menjadi shalat paling utama yang pernah Anda dirikan. Dikarenakan orang yang hendak pamitan akan sangat memperhatikan ucapan dan perbuatannya dengan cara yang selainnya tidak melakukannya; dia akan memperhatikan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, sunnah-sunnahnya, dan kekhusyu`annya. Dan seandainya ini adalah keadaan kita bersama shalat-shalat kita, maka pastilah segala urusan kita menjadi baik.

Bukankah Allah telah berfirman,
[arabic-font] إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ[/arabic-font] “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. al-‘Ankabuut (29): 45)?

Bakar al-Muzaniy V berkata,
[arabic-font] إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَنْفَعَكَ صَلاَتُكَ فَقُلْ: لَعَلِّيْ لاَ أُصَلِّيَ غَيْرَهَا[/arabic-font] “Jika Engkau ingin shalatmu bermanfaat bagimu, maka ucapkanlah ‘Barangkali aku tidak akan shalat selainnya.’.”

Abu Nu’aim mengeluarkan riwayat di dalam Hilyatul Auliya` dari Ma’ruf al-Kurkhi V, bahwa dia mengiqamahi shalat, kemudian dia berkata kepada seorang laki-laki, ‘Majulah, shalatlah dengan kami (sebagai imam).’ Maka laki-laki itu berkata, ‘Sesungguhnya aku, jika aku shalat bersama kalian (sebagai imam) shalat ini, maka aku tidak akan shalat bersama kalian (sebagai imam) shalat selainnya.’ Maka Ma’ruf berkata kepadanya, ‘Engkau menceritakan dirimu bahwa Engkau akan shalat dengan shalat yang lain? Kami berlindung kepada Allah dari panjang angan-angan, karena ia akan menghalangi kebaikan amal.”

Maka shalat ini, yang Nabi kita telah memberikan isyarat kepadanya adalah shalatnya orang-orang muhsin. Dikarenakan beliau telah mendefinisikannya dengan sabda beliau ,
[arabic-font] «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»[/arabic-font] “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan Engkau melihat-Nya, dan jika Engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. al-Bukhari Muslim)

Dan sesungguhnya diantara perkara yang bisa membantu merealisasikan yang demikian adalah Anda mengetahui bahwa tidak ada bagian pahala dari shalat Anda bagi Anda melainkan apa yang Anda sadari (dengan kekhusyu’an).

Di dalam Sunan Abi Dawud, dari ‘Ammar bin Yasir I, dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda,
[arabic-font] «إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا»[/arabic-font] “Sesungguhnya seseorang, benar-benar ia berpaling (selesai dari mendirikan shalat) sementara tidak ditulis baginya (pahalanya) melainkan sepersepuluh (pahala) shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya.”

Dan sesungguhnya ada dua orang laki-laki berada di dalam satu shaf (yang sama) sementara perbedaan (pahala) di dalam shalat keduanya seperti (perbedaan) antara langit dan bumi.

Wasiat kedua, Janganlah Engkau berbicara dengan pembicaraan yang besok Engkau akan dimintai alasannya.
Ini adalah wasiat untuk menjaga lisan, bukanlah yang dimaksud darinya adalah agar Anda tidak meminta maaf, maka siapa melakukan kesalahan dan tidak meminta maaf, maka sungguh dia telah berbuat buruk dua kali. Namun yang dimaksud disini adalah agar Anda menjaga lisan Anda. Adapun jika Anda berbuat salah, maka wajib bagi Anda untuk meminta maaf. Maka larangan dari perkara yang akan dimintai alasan, bukan larangan dari meminta maaf.

Renungkanlah wasiat bermanfaat lagi mengena dari Imam Nawawiy V di dalam kitab beliau Riyadhushshaalihiin (276), ‘Ketahuilah bahwa selayaknya bagi setiap mukallaf untuk menjaga lisannya dari segala ucapan, kecuali ucapan yang nampak di dalamnya kemashlahatan. Dan kapan saja ucapan dan meninggalkannya itu sebanding di dalam kemashlahatan maka yang sunnah adalah menahan diri darinya. Dikarenakan kadang ucapan yang mubah akan menyeret kepada yang haram atau makruh. Dan yang demikian itu banyak terjadi di dalam kebiasaan, dan keselamatan tidak bisa ditandingi oleh sesuatupun.”

Dan seorang hamba, bisa terjatuh ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun karena sebuah kalimat, sebagaimana sabda Nabi , maka orang yang berakal adalah orang yang melindungi dan menjaga lisannya…

Al-Ghazzaliy V menyebutkan di dalam Ihya`nya (III/120) atsar berikut ini, ‘Dikatakan kepada ‘Isa S, ‘Tunjukkan kepada kami amal yang dengannya kami bisa masuk sorga.’ Maka dia berkata, ‘Jangan berbicara selamanya.’ Mereka berkata, ‘Kami tidak mampu melakukannya.’ Maka dia berkata, ‘Maka janganlah kalian berbicara kecuali kebaikan.’

Dan di dalam al-Ihya` (III/120), Wahb bin Munabbih V berkata, ‘Diantara hikmah keluarga Dawud, ‘Hak orang yang berakal adalah menjadi orang yang ‘arif (berilmu) di zamannya, yang menjaga lisannya, dan mendatangi (memperhatikan) kesalahannya.’

Wasiat ketiga, Himpunlah keterputus asaan dari apa-apa yang ada di kedua tangan manusia.
As-Sa’diy V berkata di dalam Bahjah Quluubi al-Abraar (169), ‘Wasiat ini adalah sebuah penempatan jiwa diatas ketergantungan kepada Allah semata dalam segala urusan dunia dan akhiratnya. Maka dia tidak akan meminta kecuali kepada Allah, dan tidak akan tamak kecuali terhadap karunia Allah . Serta menempatkan jiwanya untuk berputus asa dari apa-apa yang ada di tangan-tangan manusia, karena sesungguhnya keputus asaan tersebut adalah perlindungan. Maka barangsiapa putus asa dari sesuatu, dia tidak membutuhkannya. Maka sebagaimana dia tidak meminta dengan lisannya kecuali kepada Allah, maka dia tidak akan menggantungkan hatinya kecuali kepada Allah. Maka tetaplah dia sebagai seorang hamba Allah yang hakiki, selamat dari penyembahan kepada makhluk, terbebas dari perbudakan mereka, dan dengannya dia meraih kemuliaan dan kehormatan. Dikarenakan orang yang tergantung dengan makhluk, akan mendapatkan kehinaan, dan kegagalan dengan kadar ketergantungan dia kepada mereka.’
Mudah-mudahan Allah merahmati beliau, betapa bagus ucapan beliau.

Saya tutup pembicaraan ini dengan sebuah kisah yang disebutkan oleh al-Imam adz-Dzahabiy di dalam Siyaru A’laami an-Nubalaa` (XV/426) tentang biografi Abu al-Hasan al-Kurkhi al-Mu’taziliy. Imam adz-Dzahabiy V berkata, ‘Tatkala Abu al-Hasan al-Kurkhiy terkena lumpuh separuh di akhir usianya, maka para sahabatnya hadir, lalu mereka berkata, ‘Ini adalah penyakit yang membutuhkan nafkah dan pengobatan. Sementara Syaikh ini miskin, dan tidak layak bagi kita untuk mengorbankan beliau bagi manusia. Maka merekapun menulis surat kepada Saifud Daulah Ibnu Hamdan. Maka Syaikh pun merasakan apa yang mereka rencanakan di dalamnya. Lalu dia menangis kemudian berkata, ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan rizqiku kecuali dari arah yang Engkau biasakan bagiku.’ Maka diapun meninggal sebelum dibawakan kepadanya sesuatupun. Kemudian datanglah sepuluh ribu dirham dari Saifud Daulah, maka dishadaqahkanlah uang itu atas namanya. Dia V meninggal pada tahun 340 H, dan dia adalah seorang tokoh di dalam Mu’tazilah, mudah-mudahan Allah memaafkannya.’

Dan aku tidak tahu, apakah ketakjubanku karena kondisi Abu al-Hasan, ataukah karena keobyetifan adz-Dzahabiy?! Mudan-mudahan Allah merahmati keduanya.

(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid II, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *