Tiga Kesyirikan

عَنْ عَبْدِ اللهِ بن مسعود رضي الله عنه، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: «إِنَّ الرُّقَى، وَالتَّمَائِمَ، وَالتِّوَلَةَ، شِرْكٌ

 

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud I, dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah H bersabda, “Sesungguhnya mantra, tamimah, dan tiwalah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah) ([1])

 

Ini adalah tiga penampakan dari penampakan-penampakan syirik kepada Allah.

 

Penampakan kesyirikan yang pertama, ar-ruqa (mantra, jampi)

 

Ar-Ruqa, adalah ­at-ta’aawiidz (bacaan-bacaan, mantra-mantra perlindungan) yang diharapkan kesembuhan dengannya.

 

Dan yang dimaksud dengan ar-ruqa disini adalah adalah yang mencakup kesyirikan di dalam lafazh-lafazhnya; seperti ruqyah yang di dalamnya terdapat permohonan pertolongan kepada jin misalnya.

 

Dan bukanlah yang dimaksud dari hadits tersebut adalah ruqyah syar’iyah yang telah disebutkan oleh syari’at. Jadi, seandainya ruqyah itu syirik, maka pastilah tidak akan disebutkan oleh syari’at.

 

Dan bukanlah yang dimaksud dengannya adalah ruqyah (mantra, jampi) yang mubah, dan dengannya manusia menjampi-jampi orang sakit dengan do’a dari sisinya, yang tidak ada di dalamnya kesyirikan. Maka ini juga boleh.

 

Dari sini, menjadi jelas bahwa yang diinginkan dengan keumuman tentang ruqyah di dalam hadits tersebut adalah hal ruqyah yang khusus. Dan dalil yang demikian adalah hadits-hadits yang menunjukkan akan disyari’atkannya ruqyah.

 

Di antaranya adalah hadits as-Shahiihain,

 

«وَمَا يُدْرِيْكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ»

“Dan bagaimanakah kamu tahu bahwa ia adalah ruqyah?” ([2]) untuk surat al-Fatihah saat seorang sahabat Anshar meruqyah kepala suku sebagian kampung dengannya. Lalu kepala suku itupun bangkit dari penyakitnya setelah dia meruqyahnya seakan-akan tidak ada penyakit padanya.

 

Sementara pada sebagian jalur, disebutkan bahwa seorang sahabat saat ditanya oleh Nabi i dengan pertanyaan ini, lantas dia menjawab, ‘Dilemparkan (diilhamkan) ke dalam pikiran saya.’

 

Di antaranya adalah bahwa seorang lelaki berkata kepada Nabi H, ‘Apakah saya boleh meruqyah?’ Maka beliau bersabda kepadanya,

 

«مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ»

 

“Barangsiapa mampu di antara kalian untuk memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaknya dia melakukannya.” (HR. Muslim) ([3])

 

Pada riwayat Muslim juga dari ‘Utsman bin Abi al-‘Ashr ats-Tsaqafiy I, bahwa ia pernah mengadu rasa sakit kepada Rasulullah H; sakit yang dia temukan pada tubuhnya sejak dia masuk Islam. Maka Rasulullah H bersabda kepadanya,

 

«ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ»

 

“Letakkanlah tanganmu di atas anggota tubuh yang kau rasakan sakit, lalu ucapkanlah bismillah tiga kali, lalu ucapkan tujuh kali a’yuudzu billaahi waqudratihii min syarri maa ajidu wa uhaadziru (Aku berlindung kepada Allah, dan dengan kekuasaan-Nya dari keburukan perkara yang kutemukan, dan kuwaspadai.” ([4])

 

Di dalam as-Shahiihain dari ‘Aisyah J,

 

«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفُثُ، فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ بِيَدِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا»

 

“Bahwa Rasulullah H, jika beliau mengeluhkan sakit, maka beliau membacakan untuk diri beliau surat mu’awwidzaat, lalu beliau meniupnya. Maka tatkala sakit beliau semakin keras, maka akulah yang membacakannya terhadap beliau, lalu aku mengusap dengan tangan beliau karena berharap keberkahannya.” ([5])

 

Para riwayat Muslim dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy I, dia berkata,

 

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ: «اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ»

 

“Dulu kami meruqyah (menjampi) di masa jahiliyah, lalu kami berkata kepada Rasulullah i, ‘Bagaimanakah pandangan Anda tentang yang demikian?’ Maka beliau bersabda, ‘Hadapkanlah ruqyah kalian kepadaku; tidak masalah dengan ruqyah (mantra, jampi) selagi tidak ada kesyirikan di dalamnya.” ([6])

 

As-Suyuthi V berkata, ‘Para ulama telah sepakat akan bolehnya ruqyah (mantra, jampi) pada saat terkumpulnya tiga syarat; berupa firman Allah atau dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dengan bahasa ‘Arab dan yang diketahui maknanya, dan dengan berkeyakinan bahwa ruqyah (mantra, jampi) tidak akan memberikan pengaruh dengan dzatnya, akan tetapi berpengaruh dengan taqdir (ketentuan, ketetapan) Allah E. Dan tata caranya adalah dibacakan lalu ditiupkan kepada orang sakit, atau membacakan ruqyah tersebut kepada air, kemudian orang yang sakit meminum air tersebut.” ([7])

 

Kesimpulannya, adalah bahwa ruqyah yang di dalamnya terdapat do’a kepada selain Allah, memohon pertolongan dan perlindungan dengannnya, seperti ruqyah dengan nama-nama jin, nama-nama malaikat, para Nabi ataupun dengan nama-nama orang-orang shalih, maka ini adalah pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan ia adalah syirik besar. Dan ruqyah yang tidak dengan bahasa ‘Arab, atau dengan apa yang tidak diketahui maknanya, maka tidak disyari’atkan meruqyah dengannya; dikarenakan dikhawatirkan dimasuki oleh kekufuran atau kesyirikan, dan apa yang tidak diketahui tentangnya.

 

Dan sebelum saya masuk kepada penampakan yang kedua dari penampakan-penampakan syirik kepada Allah, saya wasiatkan kepada diri saya sendiri dan kepada saudara-saudara saya, bahwa jika salah seorang dari kita sakit, maka hendaknya dia memohon pertolongan dengan do’a dan ruqyah. Dikarenakan di dalamnya terdapat kemanfaatan yang tidak urusannya tidak diliputi kecuali oleh Allah. Maka barangsiapa menyandarkan diri kepada Allah, lalu dia meruqyah dirinya sendiri, sementara dia mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan bahwa al-Qur`an adalah penyembuh sebagaimana telah dikabarkan Rabbul ‘aalamiin, maka Allah akan memberikan kemanfaatan denganya.

 

Dan tidak termasuk sebuah masalah, manusia berobat dan pergi para dokter. Akan tetapi kita menjadikan ruqyah dengan al-Qur`an adalah termasuk bagian dari sebab-sebab yang kita curahkan pada saat pencarian kesembuhan kita. Dikarenakan termasuk bentuk menjauhi al-Qur`an –sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim V– adalah kita menjauh dari berharap kesembuhan dengannya.

 

Penampakan kedua, tamiimah.

 

Tamiimah adalah apa yang digantungkan untuk menjaga diri dari penyakit ‘ain (jawa= sawan). Dan ia adalah termasuk bagian dari kesyirikan. Dikarenakan Pembuat Syari’at tidak menjadikannya sebagai penyebab penjagaan diri dari ‘ain.

 

Telah datang larangan dari menggantungkan tamiimah pada banyak hadits; diantaranya,

 

Hadits ‘Uqbah bin ‘Aamir I, bahwa dia bersepuluh orang datang kepada Rasulullah ﷺ. Lalu beliau membaiat sembilan orang, lalu menahan diri dari satu orang di antara mereka. Lalu mereka berkata, ‘Ada apa dengannya?’ Maka beliau bersabda,

 

«إن في عضده تميمةً». فقطع الرجل التميمة، فبايعه رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال: «من علق فقد أشرك»

 

“Sesungguhnya pada lengan atasnya terdapat sebuah tamiimah.” Maka lelaki itupun memotong tamiimah tersebut, lantas Rasulullah ﷺ membaiatnya seraya bersabda, ‘Barangsiapa menggantungkan (tamiimah), maka sungguh dia telah berbuat syirik.” (Shahiih, dikeluarkan oleh Ahmad, dan al-Hakim, sementara lafazhnya adalah miliknya) ([8])

 

Nabi ﷺ bersabda,

 

«من علق شيئا وكل إليه»

“Barangsiapa menggantungkan sesuatu (dari tamiimah), maka ia dipasrahkan kepadanya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan al-Hakim) ([9])

 

Dan barangsiapa dipasrahkan kepada selain Allah, maka sungguh dia telah merugi lagi terendahkan. Sementara barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan mencukupinya, melindunginya, memberikan petunjuk kepadanya, menaunginya dan menjaganya.

 

Riwayat milik Ibnu Abi Hatim dari Hudzaifah I, ‘Bahwasannya dia pernah melihat seorang laki-laki di tangannya terdapat tali (jimat) dari (penyakit) demam. Maka diapun memotongnya, lalu membaca firman-Nya,

 

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

 

“Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah melainkan mereka berbuat kesyirikan.” (QS. Yusuf (12): 106) ([10])

 

Dan telah valid dari Sa’id bin Jubair I bahwa dia berkata,

 

مَنْ قَطَعَ تَمِيْمَةً مِنْ إِنْسَانٍ كَانَ كَعَدْلِ رَقَبَةٍ

 

“Barangsiapa memotong sebuah tamiimah dari manusia, maka pahalanya seperti memerdekakan seorang budak.” (HR. Waki’) ([11])

 

Dan yang wajib adalah yang demikian itu dengan penjelasan yang memuaskan, tidak dengan pemaksaan.

 

Adapun jika yang digantung itu adalah dari al-Qur`anul Karim, maka para ulama telah berselisih pendapat tentang hukum permasalahan ini menjadi dua pendapat yang masyhur;

 

Pendapat pertama, boleh.

 

Ia pendapat ‘Abdullan bin ‘Amr bin al-‘Ash, dan ia adalah zhahirnya riwayat dari ‘Aisyah J. Telah berpendapat dengannya, Abu Ja’far al-Baqir, dan Ahmad bin Hanbal dari satu riwayat darinya. Lalu mereka membawa hadits yang datang dalam pelarangan menggantungkan jimat kepada makna jimat-jimat yang di dalamnya terdapat kesyirikan.

 

Pendapat kedua, melarangnya.

 

Ia adalah pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas L. Dan ia adalah zhahir pendapat Hudzaifah, ‘Uqbah bin ‘Amir dan Ibnu ‘Ukaim. Juga berpendapat dengannya, sejumlah tabi’in, dan di antara mereka adalah para sahabat Ibnu Mas’ud dan Ahmad. ([12])

 

Akan tetapi tidak mungkin itu termasuk bagian dari mensekutukan Allah. Maka pendapat ini mengkonsekuwensikan bahwa al-Qur`an adalah makhluk padahal al-Qur`an adalah firman Allah, dari-Nya bermula, dan kepada-Nya ia akan kembali.

 

Dan yang utama adalah melarangnya; karena empat perkara,

 

Pertama, dikarenakan hal ini akan bisa menghantarkan kepada penghinaan terhadap al-Qur`an. Dan barangkali akan digantungkan kepada anak-anak sesuatu dari al-Qur`an lalu najispun menjangkaunya, atau dengannya si anak masuk ke tempat-tempat najis.

 

Kedua, keumuman larangan yang tidak ada pengkhususannya.

 

Ketiga, saddu adz-dzari’ah (menutup celah perantara kepada kesalahan, penyimpangan), dikarenakan ia bisa menghantarakan kepada penggantungan perkara yang tidak ada padanya perkara yang mubah.

 

Keempat, dan dikarenakan ia bisa menghantarkan kepada peninggalan pengingkaran terhadap kemunkaran ini. Maka seandainya dikatakan, ‘Sesungguhnya ia tidak mengapa dari yang demikian, maka pastilah akan menjalar di dalam benak orang yang melihat kemungkaran ini bahwa apa yang digantungkan adalah dari al-Qur`an, maka dia tidak lagi mengingkari orang yang menggantungkan jimat (lain selain al-Qur`an).

 

Penampakan ketiga, tiwalah.

 

Tiwalah adalah sesuatu yang mereka gantungkan pada salah satu pasangan suami istri, atau pada keduanya; mereka mengeklaim bahwa ia bisa membuat sang istri mencintai suaminya, dan sang suami mencintai istrinya. Dan ini adalah kesyirikan. Dikarenakan ia bukanlah sebab syar’iy, tidak juga sebab qadariy (takdir, sebab akibat) bagi rasa cinta.

 

Dan jika kedua suami istri mengenakan apa yang cincin kawin (tak bermata) dengan berkeyakinan bahwa ia bisa mendatangkan rasa cinta, maka ia termasuk tiwalah, sebagaimana dikatakan oleh para ‘ulama rahimahumullah.

 

Dan jalan untuk menumbuhkan rasa cinta di antara pasangan suami istri adalah pergaulan yang baik, dan penghormatan yang berbalas. Allah D berfirman,

 

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“… dan bergaullah dengan mereka secara patut…” (QS. An-Nisa`: 19)

 

Maka apakah kesyirikan yang telah dihukumio oleh Nabi i bagi orang yang telah melakukannya adalah syirik besar? Ataukah syirik kecil?

 

Berkenaan dengan mantera, jika ia mengandung berdo’a kepada selain Allah, maka ia adalah syirik besar, dan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah.

 

Dan adapun berkaitan dengan jimat-jimat, maka jika yang menggantungkannya berkeyakinan bahwa jimat tersebut  adalah sebab, dan bahwa penjagaan adalah dari Allah, maka ia adalah syirik kecil. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa jimat itu berdiri sendiri dengan penjagaan tersebut, maka ia adalah syirik besar. Dan dikatakan tentang tiwalah apa yang dikatakan tentang tamimah.

 

Dan dibedakan antara perkara yang digantung dan diyakini sebagai sebab dengan apa yang digantung lalu diyakini bahwa ia berdiri sendiri dengan sesuatu selain Allah.

 

(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Tsulatsiyaat Nabawiyah, Syaikh Mihran Mahir Utsman)

______________________________

Foontnote:

 

([1]) HR. Ahmad (3615), Ibnu Majah (3530), HR. Abu Dawud (3883) dishahihkan oleh al-Albaniy, lihat Shahiih al-Jami’ (1632)-pent

([2]) HR. Al-Bukhari (2156)-pent

([3]) HR. Muslim (2199)-pent

([4]) HR. Muslim (2202)-pent

([5]) HR. al-Bukhari (4728), Muslim (2192)-pent

([6]) HR. Muslim (2200)-pent

([7]) Dengan meringkas dari Kitab at-Tauhid milik Syaikh al-Fauzan, hal. 88.

([8]) HR. al-Hakim dalam Mustadrak (7513), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam as-Silsilah as-Shahiihah (492)-pent

([9]) Dihasankan oleh al-Albaniy dalam Ghaayatul Maraam (297)-pent

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *