عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو عِنْدَ الْكَرْبِ يَقُوْلُ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ، وَرَبُّ الْأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ»
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa berdo’a pada saat kesusahan, beliau berkata, “Tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah yang Maha Agung lagi Maha Pemurah, Tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Pemilik ‘Arsy yang agung, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Tuhannya lagi, Tuhannya Bumi, Tuhannya ‘Arsy yang mulia.” (HR. as-Syaikhaaniy)([1])
Kalimat kedua
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Termasuk diantara kemungkinan makna al-‘Azhiim adalah ia sebagai sifat bagi Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, atau sebagai sifat bagi ‘Arsy. Dan makna yang kedua lebih utama, karena dua sebab;
Pertama, dikarenakan pensifatan perkara yang dinisbahkan kepada al-‘Azhiim dengan sifat ‘azhiim lebih kuat daripada pengagunan al-‘Azhiim, sebagimana perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam al-Fath (XI/146).
Kedua, dikarenakan seandainya kita menjadikannya sebagai sifat bagi Allah, maka ini adalah sebuah pengulangan bagi apa yang ada sebelumnya. Berbeda jika ia dijadikan sebagai sifat bagi ‘Arsy, maka di dalamnya terdapat tambahan makna. Sementara membawa pembicaraan kepada makna yang baru adalah lebih afdhal dari membawanya kepada makna penegasan. Dan inilah makna ucapan para ulama,
التَّأْسِيْسُ خَيْرٌ مِنَ التَّأْكِيْدِ
“Pendasaran lebih baik daripada penegasan.”
Tentang keagungan ‘Arsy, maka ada dua hadits yang telah menjelaskannya,
Pertama, sabda Nabi kita shallallaahu ‘alaihi wasallam,
«مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ فِيْ الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ الْعَرْشِ عَلىَ الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ تِلْكَ الْفَلاَةِ عَلىَ تِلْكَ الْحَلْقَةِ»
“Tidaklah langit yang tujuh dibangdingkan dengan Kursi melainkan seperti cincin yang dilemparkan ke padang pasir (yang luas), dan keutamaan ‘Arsy atas Kursi adalah seperti keutamaan padang pasir yang luas tersebut terhadap cincin itu.”([2])
Kedua, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda,
«أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلَائِكَةِ اللهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ: إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِ مِائَةِ عَامٍ»
“Telah diizinkan bagiku untuk bercerita tentang satu malaikat dari malaikat-malaikat Allah pemikul ‘Arsy; sesungguhnya jarak antara cuping telinganya hingga pundaknya adalah perjalanan tujuh ratus tahun.” (HR. Abu Dawud)([3])
Ini adalah satu malaikat dari para pemikul ‘Arsy, maka bagaimana pula dengan yang dipikul?!
Kalimat ketiga,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ، وَرَبُّ الْأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam at-Tafsir (V/490) berkata, ‘al-Kariim adalah yang indah lagi cantik mempesona. Maka sungguh ‘Arsy telah mengumpulkan keagungan dan keluasan serta ketinggian dengan keindahan yang mempesonakan. Oleh karena itulah telah berkata orang yang berkata, ‘Sesungguhnya ‘Arsy adalah dari yaqut merah.’
Adapun jika al-Kariim itu adalah sifat bagi Allah, maka maknanya adalah al-Mu’thi (Yang Maha Memberi) karena sangat suka memberikan karunia.
Tentang hadits ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو، فَأَيْنَ الدُّعَاءُ؟ الدُّعَاءُ هُوَ الذِّكْرُ، فَكُلُّ الذِّكْرِ دُعَاءٌ، قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلهِ»
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa berdo’a, lalu mana do’anya? Do’a adalah zikir, dan setiap zikir adalah do’a. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Do’a yang paling utama adalah Alhamdulillah.” (HR. at-Tirmidzi)([4])
Oleh karena itulah, Umayyah bin Abi Shalt memuji ‘Abdullah bin Jud’an seraya berkata,
أَأَذْكُرُ حَاجَتِيْ أَمْ قَدْ كَفَانِيْ حَيَاؤُكَ إِنَّ شِيْمَتَكَ الْحَيَاءُ
إِذَا أَثْنَى عَلَيْكَ الْمَرْءُ يَوْمًـا كَفَاهُ عَنْ تَعَرُّضِهِ الثَّنَـاءُ
Apakah aku akan menyebut hajatku, ataukah rasa malumu mencukupiku
Sesungguhnya karaktermu adalah sifat malu
Jika suatu hari ada seseorang memujimu
Maka pujian tersebut telah mencukupinya dari menentangnya.
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid III, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
([1]) HR. al-Bukhari (6346, 7426, 7431), Muslim (2730)-pent
([2]) Al-Albaniy rahimahullah berkata, di dalam as-Silsilah as-Shahiihah (I/174), ‘Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Syaibah di dalam Kitaabu al-‘Arsy (I/114)
([3]) HR. Abu Dawud (4727), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya (VIII/239), dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Fath (VIII/775), dan as-Suyuthi dalam Ad-Dur al-Mantsuur, VII/274.” Lihat juga Shahiih al-Jaami’ (854), as-Shahiihah (151), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid, I/199.-pent
([4]) Syaikh al-Albaniy rahimahullah berkata, ‘Hadits hasan… diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa`iy, al-Baihaqiy, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dari Jabir. Takhriij at-Targhiib II/229, al-Misykah (2306), as-Shahihah (1497). Lihat Shahiih al-Jaami’ as-Shaghiir wa Ziyadatuhu (I/248)-pent