Tiga Bentuk Kedustaan Yang Dibolehkan

عَنْ أُمِّ كَلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: “لَمْ أَسْمَعْ النَّبِيَّ ﷺ يُرَخِّصُ فِيْ شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ مِمَّا يَقُوْلُ النَّاسُ إِلَّا فِيْ الْحَرْبِ، وَالْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيْثِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيْثِ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا»

 

Dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata, ‘Aku tidak pernah mendengar Nabi ﷺ memberikan keringanan berdusta di dalam sesuatu yang dikatakan oleh manusia kecuali pada peperangan, pendamaian perselisihan manusia, dan pembicaraan seorang suami kepada istrinya dan pembicaraan istri untuk suaminya.” (HR. Ahmad) ([1])

 

Apa yang dimaksud dengan dusta di dalam hadits ini? Maka para ulama kita semoga Allah merahmati mereka, telah berselisih pendapat di dalam permasalahan ini menjadi beberapa pendapat. Yang demikian itu dibangun di atas perselisihan mereka tentang maknanya.

 

Dan pendapat-pendapat tersebut adalah,

 

Pendapat pertama, berdusta tidak pernah dibolehkan untuk selamanya. Yang dimaksud oleh Nabi ﷺ tiada lain adalah tauriyah([2]). Dengannya al-Muhallab, al-Ushailiy dan Ibnu Baththaal rahimahumullah menegaskan. ([3])

 

Yang jadi masalah adalah bahwa tauriyah boleh untuk suatu keperluan sekalipun tidak pada tempat-tempat ini.

 

‘Imran bin Hushain radhiyallaahu ‘anhu berkata,

 

إِنَّ فِي الْمَعَارِيضِ لَمَنْدُوحَةٌ عَنِ الْكَذِبِ

 

“Sesungguhnya pada kata-kata tauriyah terdapat kelapangan dari dusta.”  (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dengan sanad shahih)([4])

 

Dan tidak shahih secara marfu’ kepada Rasulullah ﷺ.

 

Sementara yang dimaksud dengannya adalah bahwa pada kalimat tauriyah terdapat kelapangan dan keluasan.

 

Telah diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu bahwa ia berkata, ‘Sesungguhnya pada kata-kata tauriyah terdapat perkara yang bisa mencukupi seseorang dari dusta.’

 

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah telah banyak menyebut di dalam al-Mughniy akan contoh-contoh penggunaan tauriyah oleh para ‘ulama. Diantaranya adalah bahwa Muhanna, al-Marwadiy dan sejumlah orang berada di sisi Imam Ahmad. Kemudian datanglah seseorang sedang mencari-cari al-Marwadzi, sementara al-Marwadzi tidak ingin berbicara dengannya. Maka Muhanna meletakkan jarinya di tapak tangannya lantas berkata, ‘Al-Marwadzi tidak berada disisi, dan apa yang bisa dilakukan oleh al-Marwadzi disini? Yang dia inginkan adalah bahwa al-Marwadzi tidak berada di tapak tangannya, sementara Abu ‘Abdillah (yaitu Imam Ahmad) tidak mengingkarinya.

 

Maka pendapat ini ditolak oleh permasalahan ini.

 

Pendapat kedua, sesungguhnya ketiga perkara ini keluar dari tempat keluarnya permisalan. Maka setiap perkara yang di dalamnya ada kemashlahatan, boleh berdusta murni di dalamnya, sementara dusta yang tercela adalah dalam perkara yang di dalamnya terdapat madharat. Di antara para ulama yang berkata dengan pendapat ini adalah al-Khaththaabiy([5]) dan an-Nawawiy rahimahumallaah.

 

An-Nawawiy rahimahullah berkata, ‘Ketahuilah bahwa dusta –sekalipun hukum asalnya adalah diharamkan- maka ia dibolehkan dalam sebagian kondisi dengan syarat-syarat yang telah kujelaskan di dalam kitab al-Adzkaar([6]). Dan ringkasnya adalah, ‘Bahwa ucapan adalah sarana menuju tujuan, maka setiap tujuan terpuji yang memungkinkan diraih tanpa dusta, maka haram berdusta di dalamnya, dan jika tidak mungkin meraihnya kecuali dengan dusta, maka boleh berdusta. Kemudian jika hasil dari tujuan itu adalah mubah, maka berdusta dengannya adalah mubah, dan jika ia adalah wajib, maka berdusta dengannya adalah wajib. Jika seorang muslim bersembunyi dari seorang zhalim yang ingin membunuhnya, atau mengambil hartanya, lalu dia sembunyikan hartanya, kemudian ada seseorang yang ditanya tentangnya, maka wajib baginya untuk berdusta dalam rangka menyembunyikannya. Demikian juga seandainya di sisinya ada barang titipan, lalu ada seorang zhalim yang ingin mengambilnya, maka wajib berdusta dengan menyembunyikannya. Dan yang paling hati-hati di dalam perkara ini semua adalah bertauriyah.

 

Dan makna tauriyah adalah bermaksud dengan ungkapannya suatu maksud yang benar hingga dia tidak menjadi seorang pendusta dengan ungkapannya jika dinisbahkan kepadanya, sekalipun dia berdusta pada zhahir lafazhnya dan jika dinisbahkan kepada apa yang difahami oleh orang yang diajak bicara. Dan seandainya ia meninggalkan tauriyah lalu mengucapkan ungkapan dusta secara mutlak, maka hukumnya tidaklah haram dalam kondisi ini. Para ulama berdalil dengan kebolehan dusta di dalam kondisi ini dengan hadits Ummu Khultsum radhiyallaahu ‘anha bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«لَيْسَ الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، فَيَنْمِي خَيْرًا، أَوْ يَقُولُ خَيْرًا»

 

“Bukanlah pendusta, orang yang mendamaikan perselisihan di antara manusia, lalu ia menumbuhkan (menyampaikan) kebaikan, atau ia berkata kebaikan.” (Muttafaqun ‘alaih)([7])

 

Imam Muslim menambahkan di dalam sebuah riwayat, ‘Ummu Kultsum berkata, ‘Dan aku tidak pernah mendengar beliau ﷺ memberikan keringanan pada sesuatu yang dikatakan oleh manusia melainkan pada tiga hal; yaitu peperangan, perdamaian diantara manusia, dan pembicaraan seorang suami kepada istrinya, dan pembicaraan seorang istri kepada suaminya.” ([8])

 

Dan selayaknya bagi seseorang untuk terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan agar ia tidak mempermainkan agama Allah, lalu dia mengesahkan dirinya sendiri untuk mengatakan apa yang dia kehendaki, lalu berdusta dengan cara semaunya kemudian memberikan alasan untuk dirinya sendiri bahwa tidaklah dia menginginkan dengannya melainkan kebaikan. Dan betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak sampai kepadanya.

 

Kedustaan adalah satu dosa besar dari dosa-dosa besar yang lain. Dan cukuplah perkataan Abu Sufyan radhiyallaahu ‘anhu kepada Heraclius sebelum masuk Islam sebagai penjelasan bagi keburukan dusta, ‘Demi Allah, seandainya bukan karena malu dari mereka terpengaruh oleh kedustaan, maka pastilah aku telah berdusta.” (HR. al-Bukhari)

 

Pendapat ketiga, tidak boleh berdusta kecuali apa yang telah dikhususkan dengan dalil.

 

As-Syaukaniy rahimahullah berkata setelah menyebutkan pendapat-pendapat di dalam permasalahan ini([9]), ‘Yang benar adalah bahwa berdusta hukumnya haram semuanya dengan nash-nash al-Qur`an dan sunnah tanpa ada perbedaan antara dusta yang bertujuan terpuji dan yang tidak terpuji, serta tidak dikecualikan kecuali oleh apa yang telah dikhususkan oleh dalil dari perkara-perkara yang telah disebutkan oleh hadits-hadits bab.”

 

Dan ini adalah yang benar insyaallah. Dan sejumlah ulama telah merajihkannya; diantara mereka adalah as-Syaikh al-‘Allaamah Ibnu Baaz rahimahullah.([10])

 

Maka tidak diperbolehkan berdusta kecuali di dalam ketiga situasi ini;

 

Pertama, di dalam peperangan.

 

Telah disebutkan di dalam as-Shahiihain dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ؛ فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ! أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ؟ قَالَ: «نَعَمْ». قَالَ: فَأْذَنْ لِي أَنْ أَقُولَ شَيْئًا. قَالَ: «قُلْ»

 

“Siapa bisa menghabisi Ka’b bin al-Asyraf, dikarenakan dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.’ Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda suka saya membunuhnya?’ beliau bersabda, ‘Ya.’ Maka dia berkata, ‘Maka izinkan saya untuk berkata sesuatu.’ Beliau bersabda, ‘Berkatalah.’ ([11])

 

Yang dimaksud adalah, ‘Izinkan saya untuk mendustainya agar aku mampu membunuhnya.’

 

Di dalam as-Shahiihain, Nabi ﷺ bersabda,

 

«الْحَرْبُ خَدْعَةٌ»

 

“Perang adalah tipu daya([12]).”([13])

 

Maka tidak ada khilaf di antara para ulama akan kebolehan dusta di dalam keadaan ini. Akan tetapi tidak boleh menyeret kepada perusakan perjanjian antara kaum muslimin dan orang-orang kafir.

 

Kedua, dalam mendamaikan manusia yang berselisih.

 

Jika Anda ingin mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, lalu Anda pergi ke salah satu dari keduanya, maka tidak mengapa mendustainya untuk melembutkan hatinya terhadap lawannya. Seperti Anda katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya si Fulan telah mengabarkan kepadaku akan penyesalannya terhadap apa yang telah dia kerjakan, dan dulu dia sudah bertekad untuk datang bersamaku seandainya saja tidak ada tamu-tamu yang datang di sisinya.’ Maka ini termasuk perkara yang tidak masalah dilakukan.

 

Dan sungguh telah lewat bersama kita sabda Nabi ﷺ,

 

«لَيْسَ الكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، فَيَنْمِي خَيْرًا، أَوْ يَقُولُ خَيْرًا»

 

“Bukanlah pendusta, orang yang mendamaikan perselisihan di antara manusia, lalu ia menumbuhkan (menyampaikan) kebaikan, atau ia berkata kebaikan.” (HR. as-Syaikhani)([14])

 

As-Shan’aaniy rahimahullah berkata, ‘Lihatlah kepada hikmah Allah dan kecintaan-Nya kepada terkumpulnya hati-hati; dimana Dia telah mengharamkan namimah sementara ia jujur di dalamnya karena bisa merusak hati dan melahirkan permusuhan dan pertikaian keras, lalu membolehkan dusta sekalipun haram jika bertujuan untuk mengumpulkan hati, menarik cinta, dan menghilangkan permusuhan.” ([15])

 

Ketiga, pembicaraan suami istri.

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Mereka telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan dusta dalam hak suami istri adalah tiada lain dalam hal yang tidak menggugurkan hak suami istri, atau mengambil suatu yang bukan hak suami istri… dan mereka bersepakat bolehnya berdusta pada saat terpaksa; sebagaimana seandainya ada seorang zhalim bertujuan untuk membunuh seseorang sementara ia sedang bersembunyi di sisinya, maka boleh baginya untuk menutupi keberadaannya di sisinya, dan bersumpah atas yang demikian, dan dia tidak berdosa. Wallaahu a’lam.’ ([16])

 

Maka pada masing-masing situasi (tempat) yang dibolehkan berdusta di dalamnya, maka dibolehkan juga bersumpah dengan menyebut nama Allah di dalamnya.

 

(Diambil dari kitab Tsulatsiyaat Nabawiyah, Syaikh Mihran Mahir ‘Utsman, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)

 

__________________________________

 

Footnote:

([1]) HR. Ahmad (27316), Abu Dawud (4921), Muslim (2605), Shahiih al-Jaami’ (7170), as-Shahiihah (545), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (9/132)-pent

([2]) Menyatakan suatu maksud dari ucapan dengan suatu ungkapan yang bisa difahami berbeda oleh orang yang mendengarkan.-pent

([3]) Nailul Authar (8/84)

([4]) HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (857), lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad (662), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (9/95)-pent

([5]) ibid

([6]) Hal. 515-516

([7]) HR. al-Bukhari (2546), Muslim (2605)-pent

([8]) Riyadhushshaalihiin, hal. 535-536

([9]) Nailul Authar (8/84)

([10]) Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz rahimahullah (28/435)

([11]) HR. al-Bukhari (3811), Muslim (14/445)-pent

([12]) Boleh membacanya dengan khad’ah, khud’ah, dan khuda’ah

([13]) HR. al-Bukhari (2866), Muslim (1739), at-Tirmidzi (1675), Ahmad (14213), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (36/497)-pent

([14]) HR. al-Bukhari (2546), Muslim (2605)-pent

([15]) Subulussalaam, as-Shan’aaniy, cet. Daar Ihyaa` at-Turaats al-‘Arabiy (4/203)

([16]) Fathul Baariy (5/300)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *