Dan ini nampak dalam penamparan pipi, merobek baju, berniyahah (meratap), tidak mau makan, mengurai rambut atau memotong-motongnya, memukuli dada, serta menghamburkan tanah di atas kepala.
Pertama: Niyahah (meratap)
Niyahah adalah perkara yang lebih dari tangisan, dimana suara dikeraskan dengan menyebut-nyebut sisi positif si mayit, dan kebaikan prilakunya. Dan ini adalah termasuk perkara jahiliyah.
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Malik al-Asy’ariy I, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ ” وَقَالَ: «النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ»
“Empat perkara di dalam umatku yang termasuk perkara jahiliyah, yang mereka tidak akan meninggalkannya; membanggakan keturuan, mencela nasab, (keyakinan mereka akan) turunnya hujan dengan (sebab) bintang-bintang (tertentu), dan niyahah.’ Dan beliau bersabda, ‘Wanita yang berbuat niyahah, jika dia belum bertaubat sebelum kematiannya, maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengenakan baju dari ter, dan mantel dari kudis.”(1)
Dan oleh karena itulah, Nabi ﷺ mengambil baiat kaum wanita untuk tidak berniyahah.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah J, dia berkata,
«أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ البَيْعَةِ أَنْ لاَ نَنُوحَ»
“Nabi ﷺ mengambil baiat kami agar kami tidak berniyahah.”(2)
Peringatan:
Maka, hendaknya seorang wanita yang berniyahah, yang mengaku cinta kepada si mayit, mengetahui bahwa mayit tersebut akan disiksa karena niyahah ini.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Umar L, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ»
“Sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena sebab tangisan (niyahah) keluarganya atasnya.”(3)
Dan yang dimaksud dengan tangisan disini adalah niyahah.
Apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim menguat hal ini, yaitu bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ»
“Barangsiapa diniyahahi (diratapi), maka dia akan diadzab karena sebab niyahah yang dilakukan atasnya.”(4)
Catatan:
Zhahir hadits menyebutkan bahwa si mayit diadzab dengan tangisan keluarganya atasnya. Sejumlah salaf, diantara mereka adalah ‘Umar dan putranya L berpendapat dengan zhahirnya hadits. Dan telah diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah L, bahwa keduanya membantah zhahirnya hadits-hadits ini, yang demikian itu berdasarkan firman Allah ﷻ,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ
“… dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (QS. al-An’aam (6): 164)
Namun jumhur ‘ulama berpendapat perlunya menakwilkan hadits-hadits ini agar tidak bertabrakan dengan ayat tersebut dan agar tidak menyelisihinya.
An-Nawawiy V berkata bahwa “Si mayit akan diadzab karena sebab tangisan dan niyahah atasnya, jika hal itu adalah wasiatnya.” (selesai)
Atau dia mengetahui keadaan mereka, bahwa mereka akan melakukan yang demikian terhadapnya, lalu dia tidak berlepas diri darinya, dan tidak melarang mereka. Atau bahwa dia akan diadzab di dalam kuburnya dengan sebab apa yang mereka memujinya dengannya.
Sebagai contoh, mereka menyebut-nyebut kebaikan-kebaikannya seraya berkata, ‘Duhai orang yang dermawan’, maka dia akan diadzab dengan apa yang mereka memujinya, karena dulu dia adalah seorang yang pelit dan tidak mengeluarkan zakat hartanya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits dari an-Nu’man bin Basyir I, dia berkata,
أُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ، فَجَعَلَتْ أُخْتُهُ عَمْرَةُ تَبْكِي وَاجَبَلاَهْ، وَاكَذَا وَاكَذَا، تُعَدِّدُ عَلَيْهِ، فَقَالَ حِينَ أَفَاقَ: ” مَا قُلْتِ شَيْئًا إِلَّا قِيلَ لِي: آنْتَ كَذَلِكَ « فَلَمَّا مَاتَ لَمْ تَبْكِ عَلَيْهِ
“Abdullah bin Rawahah pingsan, lalu mulailah saudarinya (yaitu ‘Amrah) menangis dan berkata, ‘Duhai pelindungku… duhai demikian… dan duhai demikian…’ Maka dia berkata saat siuman, ‘Tidaklah Engkau mengatakan sesuatu, melainkan dikatakan kepadaku, ‘Apakah kamu seperti itu?’ Maka tatkala ‘Abdullah bin Rawahah mati, saudarinya tidak menangisinya.”(5)
Diriwayatkan,
أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعَ صَوْتَ بُكَاءٍ فِي بَيْتٍ، فَدَخَلَ مَعَهُ غَيْرُهُ، فَأَمَالَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا حَتَّى بَلَغَ النَّائِحَةَ فَضَرَبَهَا حَتَّى سَقَطَ خِمَارُهَا، فَقَالَ: «اضْرِبْ فَإِنَّهَا نَائِحَةٌ وَلَا حُرْمَةَ لَهَا، إِنَّهَا لَا تَبْكِي بِشَجْوِكُمْ، إِنَّهَا تُهَرِيقُ دُمُوعَهَا عَلَى أَخْذِ دَرَاهِمِكُمْ، إِنَّهَا تُؤْذِي أَمْوَاتَكُمْ فِي قُبُورِهِمْ وَتُؤْذِي أَحْيَاءَكُمْ فِي دُورِهِمْ، إِنَّهَا تَنْهَى عَنِ الصَّبْرِ، وَقَدْ أَمَرَ اللَّهُ بِهِ، وَتَأْمُرُ بِالْجَزَعِ، وَقَدْ نَهَى اللَّهُ عَنْهُ»
“Bahwa ‘Umar I pernah mendengar sebuah tangisan di dalam rumah. Maka bersama yang lain, ‘Umarpun masuk lalu mengayunkan pukulan kepada mereka hingga sampai kepada wanita yang meratap (niyahah), lalu memukulnya hingga khimar (penutup kepala)nya jatuh seraya berkata, ‘Pukullah, karena dia adalah wanita yang sedang meratap, dan tidak ada kehormatan baginya. Sesungguhnya tidaklah dia menangisi kesedihan kalian, ia mencucurkan air matanya untuk mengambil dirham-dirham kalian. Sesungguhnya ia tengah mengganggu orang-orang yang telah mati dari kalian di kubur-kubur mereka, dan mengganggu yang hidup diantara kalian di rumah-rumah mereka. Ia menghalangi kesabaran, sementara Allah telah memerintah kesabaran, ia memerintah untuk bersedih hati, sementara Allah telah melarangnya.”(6)
Imam an-Nawawi V berkata di dalam Syarah Muslim (II/598), ‘Niyahah hukumnya adalah diharamkan, karena niyahah akan membangkitkan kesedihan, mengangkat (menghilangkan) kesabaran, dan di dalamnya ada sikap yang menyelisihi kepasrahan kepada qadha` (ketetapan) Allah, dan penyerahan diri kepada segala keputusan Allah ﷻ.”
Beliau juga berkata di dalam al-Adzkar, “Umat ini telah bersepakat akan haramnya niyahah, seruan dengan seruan jahiliyah, dan berdo’a dengan do’a kemalangan dan kebinasaan.”
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
____________________________
Footnote:
1() HR. Muslim (934), Ahmad (22963)-pent
2() HR. al-Bukhari (1244), Muslim (936), an-Nasa`iy (4180), Abu Dawud (3127), Ahmad (20810), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (6/9, 28/363)-pent
3() HR. Muslim (927) dengan lafazh ini.-pent
4() HR. Al-Bukhari (1291), Muslim (933).-pent
5() HR. Al-Bukhari (4267-4268)-pent
6() Taariikhu al-Madiinah, Ibnu Syubbah, III/799-800.-pent