Tidak menunaikan nadzar di tempat kesyirikan

 

عَنْ ثَابِتِ بْنِ الضَّحَّاكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: نَذَرَ رَجُلٌ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلاً بِبُوَانَةَ، فَسَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «هَلْ كَانَ فِيْهَا وَثَنٌ مِنْ أَوْثَانِ الْجَاهِلِيَّةِ يُعْبَدُ؟» قَالُوْا: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ كَانَ فِيْهَا عِيْدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ؟» قَالُوْا: لاَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «أَوْفِ بِنَذْرِكَ؛ فَإِنَّهُ لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلاَ فِيْمَا لاَ يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ»

 

Dari Tsabit bin ad-Dhahhaaq radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, “Ada seseorang yang bernadzar akan menyembelih unta di Buwanah, lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi bertanya: “Apakah di tempat itu ada berhala-berhala yang pernah disembah oleh orang-orang Jahiliyah?” Para sahabat menjawab: “Tidak”, dan Nabipun bertanya lagi: “Apakah di tempat itu pernah dirayakan hari raya mereka?” Para sahabatpun menjawab: “Tidak”, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Penuhilah nadzarmu itu, karena nadzar itu tidak boleh dilaksanakan dalam bermaksiat kepada Allah, dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh seseorang.” (HR. Abu Daud, dan Isnadnya menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim)

 

Tsabit bin ad-Dhahhaak

 

Dia adalah Tsabit bin ad-Dhahhaak bin Khalifah bin Tsa’labah bin ‘Adiy al-Asyhaliy al-Khazrajiy al-Anshariy radhiyallaahu ‘anhu, seorang sahabat yang terkenal; wafat tahun 64 H.

 

Kosakata:

 

[نَذَرَ] Nadzar, secara bahasa adalah al-Iijaab (mewajibkan), dan secara syar’iy nadzar itu adalah seseorang mewajibkan dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak wajib baginya secara syar’iy.

 

[بُوَانَةَ] adalah sebuah anak bukit di belakang Yanbu’.

 

[وَثَنٌ] segala yang disembah selain Allah, baik berupa kuburan dan selainnya.

 

[عِيْدٌ] al-‘Ied adalah satu penamaan bagi sesuatu yang dibiasakan untuk dilakukan kembali, berupa berkumpulnya manusia dengan bentuk rutin yang dibiasakan.

 

[عَلَى شرطِهِمَا] berlaku padanya syarat al-Bukhari dan Muslim; yaitu bersambungnya sanad, dengan para perawi yang ‘adil lagi dhabith, tanpa syadz (menyelisihi yang lebih shahih) dan tanpa ‘illah (cacat).

 

Makna Global Hadits

 

Perawi menyebutkan bahwa ada seorang lelaki yang mewajibkan dirinya demi Rabb-nya untuk menyembelih seekor onta di suatu tempat tertentu atas dasar ketaan dan pendekatan diri kepada-Nya. Lalu dia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang pelaksanaan nadzar tersebut. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menanyakan rincian tentang tempat tersebut; apakah pernah ditemukan sesuatu dari sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik padanya? Atau dulu orang-orang musyrik mengagungkannya dan berkumpul padanya? Maka tatkala Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengetahui dengan bersihnya tempat tersebut dari larangan-larangan, maka beliau memberikan fatwa untuk melaksanakan nadzar tersebut. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan nadzar yang tidak boleh dipenuhi, yaitu selagi tempat yang akan dilaksanakan nadzar padanya ada kemaksiatan kepada Allah di dalamnya, atau tidak masuk di dalam kepemilikian orang yang bernadzar.

 

Korelasi hubungan hadits bagi bab:

 

Bahwasannya di dalamnya terdapat larangan dari menyembelih untuk Allah di tempat yang dulu ada berhala dari berhala-berhala kaum jahiliyah yang disembah, atau ada satu perayaan dari perayaan-perayaan mereka sekalipun hal itu telah sirna.

 

Faidah yang diambil dari hadits:

 

  • Larangan memenuhi nadzar jika keberadaan nadzar itu ada pada tempat yang ditemukan padanya satu berhala yang disembah sekalipun setelah sirnanya.
  • Larangan dari memenuhi nadzar di tempat hari rayanya orang-orang jahiliyah sekalipun setelah kesirnaannya.
  • Permintaan rincian keterangan oleh mufti dari orang yang meminta fatwa sebelum berfatwa.
  • Menutup segala pintu celah yang bisa menghantarkan kepada kesyirikan.
  • Meninggalkan tindakan menyerupai orang-orang musyrik dalam peribadatan mereka dan perayaan-perayaan mereka sekalipun tidak dimaksudnya untuk yang demikian.
  • Bahwasannya menyembelih untuk Allah di tempat yang di dalamnya orang-orang musyrik melakukan penyembelihan kurban, atau mereka menjadikannya sebagai tempat perayaan mereka adalah kemaksiatan.
  • Bahwasannya nadzar maksiat tidak boleh dilaksanakan.
  • Bahwasannya nadzar yang tidak dimiliki oleh orang yang bernadzar; seperti halnya dia berkata, “Demi Allah, wajib bagiku untuk memerdekaan budak si Fulan” maka tidak ada pelaksanaan baginya.
  • Wajibnya memenuhi nadzar yang bebas dari kemaksiatan, yang masuk di bawah kepemilikian yang bernadzar.
  • Bahwasannya nadzar adalah ibadah, maka tidak boleh memalingkannya kepada selain Allah subhaanahu wata’aalaa.

 

Sumber:  at-Ta’liiq al-Mukhtashar al-Mufiid, Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *