21. Tidak Berihdadnya Seorang Istri Atas Suaminya Pada Masa Yang Dituntut, Dan Keluarnya Dia Dari Rumahnya Di Masa Ihdad.
Imam at-Turmudzi dan selainnya meriwayatkan hadits dari Furai’ah binti Malik radhiyallaahu ‘anha, dia berkata, ‘Suamiku keluar untuk mencari budak-budaknya. Lalu dia berhasil menyusul mereka di ujung Qaduum([1]), lalu mereka membunuhnya. Kemudian berita kematiannya datang kepadaku, sementara aku berada di sebuah rumah yang jauh dari rumah-rumah keluargaku. Maka akupun mendatangi Nabi ﷺ, kemudian menceritakan yang demikian kepada beliau. Saya berkata, ‘Sesungguhnya berita kematian suami saya datang kepada saya pada sebuah rumah yang jauh dari rumah keluarga saya, sementara ia (suami saya) tidak meninggalkan nafkah, tidak juga harta, dan tempat tinggal itupun bukan miliknya. Maka seandainya saya pindah ke keluargaku, dan saudara-saudaraku, maka pastilah sebagian urusanku akan menjadi lebih mudah (ringan) bagiku.’ Maka Nabi bersabda, ‘Pindahlah.’ Kemudian beliau bersabda,
امْكُثِيْ فِيْ بَيْتِكِ الَّذِيْ أَتَاكَ فِيْهِ نَعْيُ زَوْجِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Berdiamlah di rumahmu yang telah datang berita kematian suamimu di dalamnya, hingga ketentuan (Allah) sampai pada batas masanya.”
Maka dia berkata, ‘Maka akupun ber’iddah di dalamnya selama empat bulan sepuluh hari.” Dia berkata, ‘’Utsman mengirimkan utusan kepadaku (untuk bertanya tentang hal ini), lalu aku beritakan hal itu kepadanya, lalu dia mengambil keputusan dengannya.”([2])
Maka al-Qur`an dan sunnah, tiada lain keduanya menunjukkan bahwa wajib bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya untuk menetapi rumahnya. Dan yang demikian itu adalah beban kewajiban baginya, hingga selesainya masa ‘iddah. Dan setelahnya, jika dia ingin menikah, maka hendaknya menikah. Maka jika dia menyelisihi syari’at Allah, dan aturan-Nya, maka dia berdosa.
Peringatan:
Pertama, masa ihdad wanita yang hamil adalah hingga dia melahirkan. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,
وَأُوْلَٰتُ ٱلأَحمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعنَ حَملَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ ٱللهَ يَجعَل لَّهُ مِن أَمرِهِۦ يُسرًا
“… dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. at-Thalaaq (65): 4)
Dan ini juga telah shahih di dalam sunnah Nabi ﷺ. Sungguh telah datang di dalam as-Shahihain sebuah hadits dari Ummu Salamah, ‘Bahwa Subai’ah al-Aslamiyah pernah menjadi istri Sa’d bin Khaulah, dan ia adalah dari Bani ‘Aamir bin Lua`iy, dan dia termasuk sahabat yang ikut perang Badar. Kemudian dia wafat meninggalkannya pada haji wada` saat dia dalam keadaan hamil. Maka tidak beberapa lama, diapun melahirkan setelah wafat suaminya. Setelah dia terangkat dari nifasnya, diapun berhias untuk menerima lamaran. Lalu Abu as-Sanabil bin Ba’kak menemuinya seraya berkata kepadanya, ‘Mengapa aku melihatmu berhias, barangkali Engkau ingin menikah. Demii Allah, Engkau tidak boleh menikah hingga Engkau melewati empat bulan sepuluh hari.’ Subai’ah berkata, ‘Maka saat dia berkata yang demikian kepadaku, akupun mengumpulkan pakaianku saat itu juga, lalu diwaktu sore, akupun mendatangi Rasulullah ﷺ, lalu aku bertanya kepada beliau tentang yang demikian, lalu beliau memberikan fatwa kepadaku, bahwa aku telah halal saat aku melahirkan kehamilanku, dan beliau memerintahku untuk menikah jika tampak hal itu bagiku.”([3])
Kedua, bahwasannya seorang istri, sepanjang dia berada pada masa ihdad, maka tidak layak baginya untuk memakai minyak wangi, ataupun berhias pada masa ini.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Ummu Habibah radhiyallaahu ‘anha,
أَنَّ امْرَأَةً تُوُفِّيَ زَوْجُهَا، فَخَشُوا عَلَى عَيْنَيْهَا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنُوهُ فِي الكُحْلِ، فَقَالَ: «لاَ تَكَحَّلْ…»
“Bahwasannya ada seorang wanita yang suaminya telah meninggal, lalu mereka (keluarganya) mengkhawatirkan kedua matanya (karena sakit). Lalu mereka mendatangi Rasulullah ﷺ guna meminta idzin bercelak.’ Maka beliau bersabda, ‘Janganlah dia bercelak…”([4])
Di dalam as-Shahihain juga, dari Ummu ‘Athiyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata,
«كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَتَطَيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا، إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ…»
“Dulu kami dilarang dari berihdad (berkabung) atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami (diperintahkan selama) empat bulan sepuluh hari. Kami tidak (boleh) bercelak, memakai minyak wangi, dan tidak (boleh) memakai baju yang dicelup warna, kecuali baju ‘ashb…”([5])
‘Ashb adalah baju dari Yaman, yang padanya terdapat warna putih dan hitam.
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
_____________________________
Footnote:
([1]) Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Qaduum adalah nama sebuah tempat sejauh enam mil dari Madinah.’ (Sunan Abu Dawud, tahqiiq Syaikh Syu’eib al-Arnauth, III/609)-pent
([2]) HR. Abu Dawud (2300), at-Tirmidzi (1204), Ahmad (27132), Ibnu Hibban (4292), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (35/333)-pent
([3]) HR. al-Bukhari (3991), Muslim (1484)-pent
([4]) HR. Al-Bukhari (5336, 5338), Muslim (1448)-pent
([5]) HR. al-Bukhari (313, 5341), Muslim (938)-pent