Tha’un Adalah Bagian Dari Rahmat

 

Sungguh al-Bukhari telah meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang tha’un, lalu beliau memberikan berita kepadaku:

 

«أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، وَأَنَّ اللهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِى بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ »

 

“Bahwasannya ia adalah satu adzab yang Allah kirimkan kepada yang Dia kehendaki. Dan bahwasannya Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak ada seorangpun yang terkena tho’uun, lalu dia diam di negerinya dalam keadaan bersabar dan mencari pahala, lagi dia tahu bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang telah Allah tetapkan baginya, melainkan ada pahala semisal pahala syahid untuknya.” ([1])

 

Sabda beliau [فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ] “maka Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman”

Yaitu dari kalangan umat ini. Dan di dalam hadits Abu ‘Asiib pada riwayat Ahmad:

 

«فَالطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَرَحْمَةٌ لَهُمْ ، وَرِجْسٌ عَلَى الْكَافِرِ»

 

“Maka tha’un adalah kematian syahid bagi orang-orang yang beriman, dan rahmat bagi mereka, serta siksaan bagi orang kafir.”

 

Hadits tersebut dengan terang menjelaskan bahwa keberadaan tha’un sebagai rahmat hanyalah khusus bagi kaum muslimin. Dan jika tha’un itu mengenari orang kafir, maka ia hanyalah adzab bagi mereka yang disegerakan di dunia sebelum di akhirat. Adapun bagi pelaku maksiat dari kalangan umat ini, maka apakah tha’un itu menjadi kematian syahid ataukah hanya khusus bagi orang mukmin yang sempurna keimanannya? Maka ada peninjauan dalam hal tersebut.

 

Dan yang dimaksud dengan pelaku maksiat tersebut adalah orang yang melakukan dosa besar, lalu tha’un menyerangnya sementara dia terus menerus di dalam dosa besar tersebut. Maka sesungguhnya berkemungkinan akan dikatakan kepadanya bahwa ia tidak dimuliakan dengan derajat syahadah karena kebinasaan perkara yang dia terlibat dengannya. Hal ini berdasarkan firman Allah subhaanahu wata’aalaa:

 

أَم حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجتَرَحُواْ ٱلسَّيِّئَاتِ أَن نَّجعَلَهُم كَالَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَوَآءً مَّحيَاهُم وَمَمَاتُهُم سَآءَ مَا يَحكُمُونَ  ٢١

 

“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah: 21)

 

Dan juga telah ada pada hadits Ibnu ‘Umar perkara yang menunjukkan bahwa tha’un muncul karena merajalelanya perbuatan keji. Ibnu Majah dan al-Baihaqiy telah mengeluarkan hadits tersebut dengan lafazh:

 

«لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِيْ قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُوْنُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِيْ لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِيْ أَسْلَافِهِمْ»

 

“Tidaklah perbuatan keji merajalela pada suatu kaum sama sekali, hingga mereka berterang-terangan dengan perbuatan keji tersebut, melainkan akan menyebar di tengah mereka penyakit tha’un dan penyakit-penyakit yang belum pernah ada yang berlalu pada para pendahulu mereka… al-hadits.”

 

Kemudian dia menyebutkan hadits-hadits milik Imam Ahmad dari hadits ‘Aisyah secara marfu’:

 

«لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَفْشُ فِيهِمْ وَلَدُ الزِّنَا ، فَإِذَا فَشَا فِيهِمْ وَلَدُ الزِّنَا أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ بِعِقَابٍ»

 

“Tiada hentinya umatku akan selalu berada dalam kebaikan selagi tidak menyebar di tengah mereka anak zina, maka jika menyebar di tengah mereka anak zina, maka hampir-hampir Allah akan meratakan hukuman terhadap mereka.” Dan sanadnya hasan.

 

Maka di dalam hadits-hadits ini, (terdapat penjelasan) bahwa tha’un kadang menimpa sebagai hukuman karena sebab kemaksiatan, lalu bagaimana dia akan menjadi kematian syahid? Maka berkemungkinan untuk dikatakan, bahkan derajat syahadah bisa diraih berdasarkan keumuman berita-berita yang telah diriwayatkan. Terutama di dalam hadits yang sebelumnya dari Anas:

 

«الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ»

 

“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.”

 

Dan didapatnya derajat syahid tidak mengharuskan bagi orang yang telah melakukan dosa-dosa untuk sejajar dengan orang mukmin yang sempurna keimanannya dalam kedudukannya, dikarenakan derajatnya orang-orang yang mati syahid itu berbeda-beda sebagaimana lawannya dari kalangan para pelaku dosa jika dia terbunuh dalam keadaan berjihad di jalan Allah agar kalimah Allah menjadi yang tertinggi dengan maju pantang mundur. Dan termasuk rahmat Allah terhadap umat Muhammad ini, disegerakannya hukuman bagi mereka di dunia. Dan yang demikian tidak menafikan di dapatkannya pahala syahid bagi orang yang terkena tha’un, terutama mayoritas mereka tidak secara langsung melakukan perbuatan keji tersebut. Hanya saja Allah ratakan hukuman bagi mereka -wallahu a’lam- karena duduk diamnya mereka dari mengingkari kemungkaran.

 

Imam Ahmad telah mengeluarkan hadits dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dari hadits ‘Utbah bin ‘Ubaid, dan dia merafa’kannya:

 

«الْقَتْلُ ثَلَاثَةٌ؛ رَجُلٌ جَاهَدَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، حَتَّى إِذَا لَقِيَ الْعَدُوَّ قَاتَلَهُمْ حَتَّى يُقْتَلَ، فَذَاكَ الشَّهِيْدُ الْمُفْتَخِرُ فِيْ خَيْمَةِ اللهِ تَحْتَ عَرْشِهِ لَا يَفْضُلُهُ النَّبِيُّوْنَ إِلَّا بِدَرَجَةِ النُّبُوَّةِ . وَرَجُلٌ مُؤْمِنٌ قَرَفَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ الذُّنُوْبِ وَالْخَطَايَا، جَاهَدَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ، حَتَّى إِذَا لَقِيَ الْعَدُوَّ قَاتَلَهُمْ حَتَّى يُقْتَلَ فَانْمَحَتْ خَطَايَاهُ ، إِنَّ السَّيْفَ مَحَّاءٌ لِلْخَطَايَا . وَرَجُلٌ مُنَافِقٌ جَاهَدَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يُقْتَلَ فَهُوَ فِي النَّارِ ، إِنَّ السَّيْفَ لَا يَمْحُو النِّفَاقَ»

 

“Pertumpahan darah itu ada tiga; seorang lelaki yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah, hingga jika dia ketemu dengan musuh, maka dia memerangi mereka hingga dia terbunuh, maka dia adalah syahiid yang berbangga di kemah Allah di bawah ‘Arsy-Nya, tidak diungguli oleh para Nabi kecuali derajat kenabian; dan seorang lelaki beriman yang merasa jijik kepada dirinya sendiri karena sebab dosa dan kesalahan, lalu dia berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah, hingga jika dia ketemu musuh, maka dia memerangi mereka hingga dia terbunuh, lalu terhapuslah dosa-dosa kesalahannya, sesungguhnya pedang adalah penghapus dosa-dosa kesalahan; dan seorang lelaki munafiq, dia berjihad dengan jiwa dan hartanya hingga dia terbunuh, maka dia di dalam Neraka, sesungguhnya pedang tidak akan bisa menghapus kemunafikan.”

 

Adapun hadits lain yang shahih:

 

«إِنَّ الشَّهِيْدَ يُغْفَرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الدَّيْنُ»

 

“Sesungguhnya orang yang mati syahid, akan diampuni untuknya segala sesuatupun (dari dosa) kecuali hutang.”

 

Maka diambil faidah darinya bahwa kematian syahid tidak akan menghapus pertanggung jawaban (hak orang lain). Dan didapatkannya pertanggung jawaban tersebut, tidak menghalangi di dapatkannya derajat syahid. Dan kematian syahid tidak akan bermakna kecuali bahwa Allah akan memberikan pahala bagi orang yang mendapatkannya dengan pahala khusus dan memuliakannya dengan kemuliaan tambahan.

 

Dan sungguh hadits tersebut telah menjelaskan bahwa Allah akan mengampunianya selain daripada tanggungan tanggung jawab. Maka seandainya dipaksa bahwa orang yang telah mati syahid memiliki amal-amal shalih, dan kematian syahid itu telah menghapus amal-amal buruknya selain daripada tanggungan tanggung jawab, maka sesungguhnya amal-amal shalihnya akan memberikan manfaat kepadanya dalam mengimbangi dosa tanggung jawabnya, dan tersisalah baginya derajat syahadah secara murni. Jika dia tidak memiliki amal-amal shalih, maka ia berada dalam masyi’ah (kehendak) Allah. Wallaahu aa’lam.

 

Sabda beliau [فَلَيْسَ مِنْ عَبْد] maka tidak ada seorang hambapun, yaitu yang muslim [يَقَع الطَّاعُون] yang penyakit tha’un terjadi, yaitu pada tempat yang dia berada di dalamnya [فَيَمْكُث فِي بَلَده] lalu dia diam di negerinya. Di dalam riwayat Ahmad [فِي بَيْته] di dalam rumahnya. Dan datang dengan lafazh [يَكُون فِيهِ وَيَمْكُث فِيهِ وَلَا يَخْرُج مِنْ الْبَلَد] dia berada di dalamnya, dan tinggal di dalamnya, dan tidak keluar dari negerinya, yang penyakit tha’un terjadi padanya.

 

Sabda beliau [صَابِرًا] dengan sabar, yaitu tanpa berkeluh kesah dan tanpa kecemasan, bahkan dia pasrah kepada perintah Allah dengan penuh keridhaan dengan taqdir-Nya. Dan ini adalah syarat diraihnya pahala syahid bagi orang yang meninggal karena sebab tha’un. Yaitu berdiam diri di tempat yang tha’un itu terjadi padanya, lalu tidak keluar dalam rangka melarikan diri darinya sebagaimana telah berlalu larangan darinya pada bab sebelumnya dengan terang.

 

Dan sabda beliau [يَعْلَم أَنَّهُ لَنْ يُصِيبهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ] dia mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang telah Allah tetapkan baginya, adalah ketentuan yang lain. Ia adalah kalimat haal (menunjukkan suatu kondisi) yang berkaitan dengan tinggal menetap. Maka seandainya dia tinggal sementara dia dalam keadaan cemas, atau menyesal karena tidak keluar dengan persangkaan bahwa seandainya dia keluar, maka pastilah tha’un tidak akan mengenainya sama sekali, dan bahwa dengan tinggalnya dia, maka tha’un itu mengenainya. Maka orang ini tidak mendapatkan pahala syahid sekalipun dia mati dengan sebab tha’un. Inilah yang dikandung oleh mafhum (pemahaman yang diambil dari) hadits ini sebagaimana yang dikandung oleh manthuq (yang diucapkan secara lafazh)nya yaitu bahwa orang yang bersifat dengan sifat-sifat yang telah disebutkan, maka dia akan mendapatkan pahala syahid sekalipun tidak mati dengan sebab tha’un. Dan masuk dibawahnya tiga bentuk; yaitu bahwa orang yang bersifat dengan sifat tersebut, lalu tha’un mengenainya, kemudian dia mati, atau tha’un mengenainya dan dia tidak mati karenanya, atau tidak terkena tha’un sama sekali kemudian dia mati dengan sebab selain tha’un baik cepat ataupun lambat.

 

Sabda beliau [مِثْل أَجْر الشَّهِيد] semisal pahala syahid, barangkali rahasia dalam pengungkapan dengan kata mitsl (semisal) bersamaan dengan tetapnya keterangan yang jelas bahwa orang yang mati disebabkan oleh tha’un adalah syahid adalah bahwa orang dari mereka yang terkena tha’un dan tidak mati karenanya, maka baginya ada pahala syahid sekalipun tidak mendapatkan derajat orang yang mati syahid itu sendiri. Yang demikian itu karena orang yang bersifat dengan keberadaannya sebagai syahid, legih tinggi derajatnya daripada orang yang dijanjikan bahwa dia akan diberi pahala semisal pahala syahid, dan menjadi seperti orang yang keluar dengan niat berjihad di jalan Allah agar kalimah Allah menjadi yang paling tinggi, lalu dia mati dengan sebab selain peperangan.

 

Adapun perkara yang dikandung oleh mafhum hadits bab, yaitu bahwa orang yang bersifat dengan sifat-sifat yang telah disebutkan, lalu tha’un mengenai dirinya, kemudian dia tidak mati karenanya, bahwa sesungguhnya dia mendapatkan pahala syahid. Hal itu disaksikan oleh hadits Ibnu Mas’ud yang telah dikeluarkan oleh Ahmad dari jalur Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah bahwa Abu Muhammad mengabarkan kepadanya, dan ia adalah termasuk para sahabatnya Ibnu Mas’ud, bahwa dia telah menceritakan hadits kepadanya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

 

«إِنَّ أَكْثَرَ شُهَدَاءَ أُمَّتِيْ لَأَصْحَابُ الْفُرُشِ ، وَرُبَّ قَتِيْلٍ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ اللهُ أَعْلَمُ بِنِيَّتِهِ»

 

“Sesungguhnya mayoritas para syuhada` dari kalangan umatku adalah benar-benar orang yang meninggal di ranjang-ranjang mereka (karena sebab tha’un, penyakit dalam, tertimpa reruntuhan dan semacamnya-pent) dan betapa banyak orang yang terbunuh di antara dua barisan perang, Allahlah yang lebih tahu akan niatnya.”

 

Dan dhamir pada ucapannya [أَنَّهُ] adalah kepada Ibnu Mas’ud, dikarenakan Ahmad telah mengeluarkannya di dalam Musnad Ibni Mas’ud, dan para perawi sanadnya adalah orang-orang tsiqah. Dan beliau beristinbath dari hadits tersebut bahwa orang yang bersifat dengan sifat-sifat yang telah disebutkan kemudian dia terkena th’aun, lalu dia mati karenanya, maka ada pahala dua syahid, dan tidak ada penghalang bagi berbilangnya pahala karena berbilangnya sebab-sebab seperti orang yang meningal karena sebab tha’un dalam keadaan terasing, atau dalam keadaan nifas dengan disertai kesabaran dan mencari pahala.

 

Dan penyelesaian masalah dalam perkara yang dikandung oleh hadits bab tersebut adalah dia menjadi syahid karena sebab terjangkitnya tha’un padanya, dan disandarkan kepadanya pahala semisal pahala orang yang mati syahid karena kesabaranya dan keteguhannya. Dikarenakan derajat mati syahid adalah sesuatu, sementara pahala mati syahid adalah sesuatu yang lain.

 

As-Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah telah memberikan isyarat pada yang demikian, seraya dia berkata, “Ini adalah rahasia dalam sabda beliau [وَالْمَطْعُون شَهِيد] “Orang yang terkena tha’un, mati syahid, dan pada sabda beliau tentang hal ini [فَلَهُ مِثْل أَجْر شَهِيد] “maka ada pahala semisal pahala syahid untuknya” memunginkan untuk dikatakan, “Bahkan derajat-derajat orang yang mati syahid itu berbeda-beda tingkatan; maka yang paling tinggi adalah orang yang telah bersifat dengan sifat yang telah disebutkan, lalu dia meninggal terkena tha’un; dan pada kedudukan dibawahnya adalah orang bersifat dengan sifat-sifat yang telah disebutkan, lalu dia terkena tha’u dan tidak meninggal karenya; dan dibawahnya lagi adalah orang yang bersifat dengan sifat-sifat yang telah disebutkan, tidak terkena tha’un dan tidak meninggal karenanya.

 

Dan bisa diambil dari hadits ini juga, bahwa orang yang belum bersifat dengan sifat-sifat yang telah disebutkan, maka dia tidak akan menjadi syahid, sekalipun ia terjerumus di dalam tha’un, dan mati dengannya, lebih-lebih lagi orang yang meninggal karena sebab lainnya. Dan yang demikian itu bersumber dari kesialan keberatan yang darinya sikap berkeluh kesah dan tidak terima terhadap takdir Allah, dan ketidak sukaan untuk bertemu Allah muncul, berikut perkara-perkara serupa yang segala tabiat sikap yang disyaratkan hilang bersamanya. Wallaahu a’lam.

 

Dan sungguh telah datang pada sebagian hadits-hadits penyetaraan antara orang yang mati syahid karena tha’un dengan orang yang mati syahid karena peperangan.

 

Imam Ahmad rahimahullah telah mengeluarkan hadits dengan sanad hasan dari ‘Utbah bin ‘Abd as-Sulami, dan dia merafa’kannya:

 

يَأْتِي الشُّهَدَاء وَالْمُتَوَفَّوْنَ بِالطَّاعُونِ ، فَيَقُول أَصْحَاب الطَّاعُون : نَحْنُ شُهَدَاء ، فَيُقَال : اُنْظُرُوا فَإِنْ كَانَ جِرَاحهمْ كَجِرَاحِ الشُّهَدَاء تَسِيل دَمًا وَرِيحهَا كَرِيحِ الْمِسْك فَهُمْ شُهَدَاء ، فَيَجِدُونَهُمْ كَذَلِكَ

 

“Orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang meninggal dengan sebab tha’un nanti akan datang, lalu orang-orang yang meninggal karena tha’un berkata, “Kami adalah orang-orang yang mati syahid.” Lalu dikatakan, “Lihatlah, jika luka-luka mereka seperti luka-luka orang yang mati syahid, yang mengalirkan darah dan aroma wanginya seperti aroma wangi minyak misk, maka mereka adalah para syuhada.” Lalu merekapun mendapat mereka dalam keadaan demikian.”

 

Dan ia memiliki penguat dari hadits ‘Irbadh bin Sariyah yang dikeluarkan oleh Ahmad juga, dan imam an-Nasa-iy dengan sanad hasan juga, dengan lafazh:

 

يَخْتَصِم الشُّهَدَاء وَالْمُتَوَفَّوْنَ عَلَى فُرُشهمْ إِلَى رَبّنَا عَزَّ وَجَلَّ فِي الَّذِينَ مَاتُوا بِالطَّاعُونِ ، فَيَقُول الشُّهَدَاء : إِخْوَاننَا قُتِلُوا كَمَا قُتِلْنَا ، وَيَقُول الَّذِينَ مَاتُوا عَلَى فُرُشهمْ إِخْوَاننَا مَاتُوا عَلَى فُرُشهمْ كَمَا مُتْنَا ، فَيَقُول اللهِ عَزَّ وَجَلَّ : اُنْظُرُوا إِلَى جِرَاحهمْ ، فَإِنْ أَشْبَهَتْ جِرَاح الْمَقْتُولِينَ فَإِنَّهُمْ مِنْهُمْ ، فَإِذَا جِرَاحهمْ أَشْبَهَتْ جِرَاحهمْ

 

“Para syuhada’ dengan orang-orang yang meninggal di atas pembaringan-pembaringan mereka akan berdebat kepada Rabb kita azza wa jalla tentang orang-orang yang telah meninggal dengan sebab tha’un. Maka berkatalah para syuhada’, “Mereka adalah saudara-saudara kami, mereka telah terbunuh sebagaimana kami telah terbunuh.” Lalu berkatalah orang-orang yang meninggal di pembaringan-pembaringan mereka, “Mereka adalah saudara-saudara kami, mereka telah meninggal di atas pembaringan-pembaringan mereka sebagaimana kami meninggal.” Maka Allah azza wa jalla berfirman, “Lihatlah kepada luka-luka mereka, jika luka-luka mereka menyerupai luka-luka orang-orang yang terbunuh di medan perang, maka sesungguhnya mereka adalah bagian dari mereka.” Maka ternyata luka-luka mereka serupa dengan luka-luka para syuhada’.”

 

Al-Kalaabadzii memberikan tambahan di dalam Ma’aaniiy al-Akhbaar dari sisi ini di akhir hadits,

 

فَيَلْحَقُونَ بِهِمْ

 

“Maka merekapun bergabung dengan mereka (para shuhada’).” ([2])

 

(30 Sababn Li Tanaali Rahmatillaahi Ta’aalaa, Abu Abdirrahman Sulthan ‘Aliy, alih bahasa Muhammad Syahri)

________________________________________

Footnote:

([1]) Imam Ahmad telah meriwayatkan di dalam Musnadnya dengan sanadnya dari Syahri bin Hausyab al-Asy’ariy dari ayah tirinya, seorang lelaki dari kaumnya yang menggantikan kedudukan ayahnya atas ibunya setelah ayahnya, dulu dia menyaksikan Tha’un ‘Amawaas, dia berkata, “Tatkala penyakit mewabah, berdirilah Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallaahu ‘anhu sambil berkhutbah di tengah manusia seraya berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah Rahmat tuhan kalian, do’a nabi kalian, dan kematian orang-orang shalih sebelum kalian, dan sesungguhnya Abu ‘Ubaidah memohon kepada Allah, agar Dia memberikan bagian dari penyakit ini untuknya.” Dia berkata, ‘Maka Abu ‘Ubaidah pun terkena tha’un, kemudian meninggal -semoga Allah merahmatinya-. Kemudian pemimpin manusia yang menggantikannya adalah Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu. Diapun berdiri berkhutbah setelahnya seraya berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini adalah Rahmat Tuhan kalian, do’a nabi kalian, dan kembatian orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Mu’adz memohon kepada Allah agar memberikan bagian darinya untuk keluarga Mu’adz.” Dia berkata, “Maka putranya, ‘Abdurrahman bin Mu’adz terkena tho’un kemudian dia meninggal, kemudian dia berdo’a kepada Tuhannya untuk dirinya sendiri, kemudian diapun terkena tho’un pada telapak tangannya, maka sungguh aku telah melihatnya melihat kepada telapak tangannya, kemudian mencium pungguh tapak tangannya lalu berkata, “Aku tidak suka ada untukku dengan sesuatupun dari dunia yang ada padamu.” Maka tatkala dia meninggal, ‘Amr bin ‘Asyh menggantikannya memimpin manusia. Kemudian dia berdiri berkhutbah di Tengah kami seraya berkata, ‘Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini, jika dia terjadi, maka sesungguhnya dia akan menyala seperti nyalanya api. Maka asingkanlah diri kalian darinya di gunung-gunung. Dia berkata, “Maka berkatalah kepadanya Abu Watsilah al-Hudzaliy, “Dia dusta, sungguh aku telah bersahabat dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sementara engkau adalah lebih buruk dari keledaiku ini.” Dia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan membantahmu atas apa yang engkau ucapkan, dan demi Allah kami tidak akan tinggal di atasnya. Kemudian diapun keluar, dan manusiapun keluar lalu mereka berpencar-pencar darinya, kemudian Allah menghilangkan tho’un itu dari mereka. -dia berkata- lalu pendapat ‘Amr yang demikian itu sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu, maka demi Allah, ‘Umar tidak mengingkarinya.” (as-Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, ‘Shahih, dan ini adalah sanad dha’if, karena kedha’ifan Syahr, dan ia adalah Ibnu Hausyab)

([2]) Fath al-Baariy, ibnu Hajar.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *