Disusun oleh: Muslim Atsari
Sholat ‘ied merupakan sholat yang dilakukan setahun dua kali, yaitu ‘iedul fithri dan adh-ha. Karena keagungan kedua sholat ini, maka Nabi dan para sahabat melakukannya di tanah lapang. Inilah tata-cara sholat ‘ied yang perlu kita ketahui:
1- Dilakukan sebelum khutbah
Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رضى الله عنهما يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi ﷺ dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa radhiyallaahu ‘anhuma melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”([1])
2- Tidak ada shalat sunnah qobliyah ‘ied dan ba’diyah ‘ied
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Rasulullah ﷺ pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.”([2])
3- Tidak ada adzan dan iqomah ketika shalat ‘ied
Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah ﷺ bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”([3])
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika Nabi ﷺ sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”([4])
4- Sunnah tempat sholat di lapangan, imam menghadap sutroh.
Sebagaimana diterangkan di dalam hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما، قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَغْدُو إِلَى الْمُصَلَّى، وَالْعَنَزَةُ بَيْنَ يَدَيْهِ، تُحْمَلُ وَتُنْصَبُ بِالْمُصَلَّى بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّى إِلَيْهَا
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata: Bahwa Nabi ﷺ berangkat menuju musholla (lapangan), dan tombak kecil ada di depannya, tombak itu dibawa dan ditancapkan di lapangan di depannya, lalu beliau shalat menghadapnya.([5])
5- Dua roka’at dengan ijma’
Sahabat Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata:
صَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ، وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ، وَصَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ، وَصَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sholat jum’at dua roka’at, sholat fithri dua roka’at, sholat adh-ha dua roka’at, sholat safar dua roka’at, sempurna, tidak kurang, berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ.”([6])
6- Pada roka’at 1 ada 7 takbir; roka’at 2 ada 5 takbir
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها، «أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى، فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ، وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسًا»
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata: Bahwa Rasululloh ﷺ biasa bertakbir di dalam (sholat) fithri dan adh-ha, pada roka’at pertama tujuh takbir, dan pada roka’at kedua lima”.([7])
Para ulama berbeda pendapat, apakah takbirotul ihrom termasuk hitungan tujuh takbir.
Pendapat Pertama:
Takbirotul ihrom masuk 7 takbir; takbir intiqol tidak termasuk 5 takbir.
Ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan merupakan pendapat Ibnu Qudamah serta Ibnu Baaz.([8])
Pendapat Kedua:
Takbirotul ihrom tidak masuk 7 takbir.
Ini adalah pendapat Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ibnul Qoyyim, dan Al-Baghowi.([9])
Yang rojih adalah pendapat pertama, karena dilakukan oleh sahabat, yaitu Ibnu Abbas, sebagaimana riwayat berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ «أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدِ، فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ بِتَكْبِيرَةِ الِافْتِتَاحِ، وَفِي الْآخِرَةِ سِتًّا بِتَكْبِيرَةِ الرَّكْعَةِ، كُلُّهُنَّ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ»
Dari Ibnu Abbas, bahwa dia biasa bertakbir di dalam (sholat) ‘ied, pada roka’at pertama tujuh takbir dengan takbir iftitah, dan pada roka’at yang akhir enam takbir dengan takbir ruku’, semuanya sebelum membaca”.([10])
7- Apakah angkat tangan ketika takbir zaidaat?
Pendapat Pertama:
Ya. Ini adalah pendapat Ibnu Qudamah, Atho’, Auza’i, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Baaz. Dan diriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi ﷺ biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir”.([11])
Pendapat Kedua:
Tidak. Ini adalah pendapat Malik dan Ats-Tsauri([12])
8- Adakah bacaan tertentu di antara takbir-takbir?
Pendapat Pertama:
Tidak. Ini adalah pendapat Malik, Ats-Tsauri([13])
Pendapat Kedua:
Ya. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”([14])
9- Kapan doa iftitah?
Pendapat Pertama:
Takbirotul ihrom, lalu doa iftitah, lalu takbir 6 kali.([15]) Ini pendapat Ahmad yang masyhur dan Syafi’i([16])
Pendapat Kedua:
Takbirotul ihrom, lalu takbir 6 kali, lalu doa iftitah.
Ini pendapat Ahmad yang lain dan dipilih Al-Kholal. Juga pendapat Al-Auza’i, masyhur dari Syafi’i([17])
10- Membaca ta’awudz, lalu Al-Fatihah.
Namun Abu Yusuf berpendapat bahwa ta’awudz sebelum takbir.([18])
11- Sunnah membaca:
Al-A’la dan Al-Ghosyiyah([19]) atau Qof dan Al-Qomar([20])
12- Khutbah Ied:
Berapa kali khutbah ‘ied, ulama berbeda pendapat:
Pendapat Pertama:
Sekali. Ini berdasarkan hadits-hadits yang shohih, dan ini yang rojih.
Pendapat Kedua:
Dua kali / diselingi duduk. Berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah, tetapi dhoif.
13- Jama’ah dianjurkan mendengarkan khutbah.
Hukum mendengarkan khutbah ‘ied adalah sunnah, bukan wajib, berdasarkan hadits Abdullah bin Saib yang berkata:
حَضَرْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى بِنَا الْعِيدَ ثُمَّ قَالَ: «قَدْ قَضَيْنَا الصَّلاَةَ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ»
“Aku menghadiri ‘ied bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau melaksanakan sholat ‘ied mengimami kami. Kemudian beliau bersabda, “Kita telah menyelesaikan sholat, maka barangsiapa suka duduk untuk mendengarkan khutbah, silahkan duduk, dan barangsiapa suka pergi silahkan dia pergi”.([21])
Syaikh ‘Adil bin Yusuf al-‘Azzazi berkata, “Ini menunjukkan bahwa mendengarkan khutbah ‘ied hukumnya sunnah, bukan wajib. Tetapi yang lebih utama: menghadiri (khutbah), mengambil manfaat dengan nasehat, dan menampakkan syi’ar persatuan”.([22])
14- Jika Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ , فَقَالَ «مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ»
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah ﷺ bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?”
Zaid menjawab: “Iya”.
Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?”
Zaid menjawab: “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at. Nabi ﷺ bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”([23])
Inilah sedikit penjelasan tentang tata-cara sholat ‘ied, semoga bermanfaat. Wallohu ‘alam.
Ditulis oleh Muslim Atsari,
Sragen, Senin, 26-Dzulqo’dah-1440 H / 29-Juli-2019 M.
Dibaca ulang, Kamis, 27-Romadhon-1443 H / 28-April-2022 M.
_______________________
Footnote
([1]) HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888
([2]) HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884
([5]) HR. Al-Bukhari, no. 973 dan Muslim, no. 501
([6]) HR. Nasai, 1419; Ibnu Majah, no. 1063; Ahmad, 1/37. Dishohihkan Al-Albani
([7]) HR. Abu DAwud, no. 1149, 1150; IbnuMajah, no. 1280; Ahmad, 6/70; Dishohihkan Al-Albani
([8]) Lihat: Al-Irwa’ 3/111; Sholatul Mukmin 2/475; Catatan kaki Sholatul Mukmin 2/477, no. 166
([9]) Lihat: Catatan kaki Sholatul Mukmin 2/477 dan Ahkamul ‘Iedain. 46
([10]) HR. Ibnu Abi Syaibah, no. 5704; Al-Firyabi, 1/136; Dishohihkan Al-Albani di dalam Irwaul Gholil, 3/111
([12]) Catatan kaki Sholatul Mukmin 2/476
([13]) Catatan kaki Sholatul Mukmin 2/476
([14]) Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul ‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H
([16]) Catatan kaki Sholatul Mukmin 2/475
([17]) Catatan kaki Sholatul Mukmin 2/475
([18]) Catatan kaki Sholatul Mukmin 2/475
([21]) HR. Abu Dawud, no. 1155; Nasai 3/185; Ibnu Majah, no. 1290; dishohihkan oleh Al-Albani
([23]) HR. Abu Dawud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310