Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
«لَا عَدْوَى، وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ، الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ»
“Tidak ada penularan penyakit, tidak ada thiyarah; dan yang membuatku takjub adalah al-fa`lu; yaitu ucapan yang bagus, ucapan yang baik.”(1)
Tathayyur adalah sikap pesimis, bernasib sial, sama saja merasa sial sebab hari tertentu, atau orang tertentu, atau kejadian tertentu.
Dan diantara bentuk tasyaa-um ini adalah merasa sial dengan banyak tertawa, merasa sial karena menyebut kalimat kematian, merasa sial karena warna hitam, merasa sial karena suara burung hantu, gagak, atau rajawali, merasa sial karena dengungan telinga, kedip-kedipan mata (jawa, keduten), gatalnya tangan, kesemutannya kaki.
Semua hal itu menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib karena keberadaannya bersumber dari penakutan dan was-was syetan. Yang demikian itu dengan ketergantungan hati kepadanya dengan ketakutan dan harapan, dan dengan penafiannya terhadap tawakkal kepada Allah yang tidak ada selain-Nya yang bisa memberikan dan menghalangi suatau kemanfaatan.
Tathayyur adalah termasuk perbuatan jahiliyah dimana mereka bersandar kepada burung di dalam melanjutkan sesuatu atau berhenti darinya. Jika salah seorang dari mereka melihat seekor burung terbang ke arah kanan, maka dia bergembira dan meneruskan (tujuannya), dan jika dia melihat burung tersebut terbang ke arah kiri, maka dia merasa sial, lalu membatalkan niatnya.
Bahkan sebagian dari mereka, jika menginginkan sesuatu, ia bersandar pada gerakan burung untuk melihat apakah dia terbang ke arah kiri atau ke kanan, dan mereka biasa menyebut yang terbang ke arah kanan dengan as-saanih (yang memberikan keberuntungan), dan yang terbang ke arah kiri dengan al-baarih (yang memberikan kemalangan). Kemudian datanglah Islam, lalu membatalkan semua khurafat ini, kemudian melarang kita dari merasa sial. Dikarenakan seorang muslim yang jujur, dia mengetahui bahwa segala perkara berada di tangan Allah. Maka jika ia bertekad untuk melakukan satu perkara, hendaknya dia meminta pertolongan kepada Allah, lalu melanjutkannya, dan jangan sampai perasaan sial menahannya dari melakukannya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Mu’awiyah bin al-Hakam radhiyallaahu ‘anhu -tentang hadits jaariyah (budak wanita)-, dia berkata, ‘Ya Rasulallah, diantara kami ada kaum laki-laki yang berbuat tathayyur.’ Maka beliau bersabda,
ذَلِكَ شَيْءٌ تَجِدُوْنَهُ فِيْ صُدُوْرِكُمْ وَلاَ يَصُدَّنَّكُمْ
“Itu adalah sesuatu yang kalian dapati di dalam dada-dada kalian, maka janganlah hal itu memalingkan kalian (dari beramal).”(2)
Dan atas dasar ini, selayaknyalah kita meninggalkan tasyaa-um, dan melanjutkan urusan, bertawakkal kepada Allah, berbaik sangka kepada-Nya, dan menyandarkan diri pada-Nya. Dikarenakan thiyarah benar-benar menafikan semua ini secara keseluruhan, dikarenakan di dalam tasyaa-um terdapat sifat berburuk sangka kepada Allah, serta meramalkan adanya bencana, dan ini termasuk bagian dari kesyirikan.
Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan selain mereka meriwayatkan dari ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“Thiyaroh adalah syirik.”(3)
Dan sungguh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari orang-orang yang bertasyaa-um.
At-Thabraniy meriwayatkan di dalam al-Kabiir, hadits tersebut juga ada di dalam as-Shahiih al-Jaami’ dari ‘Imraan bin Hushain bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ وَلَا تُطُيِّرَ لَهُ، وَلَا تَكَهَّنَ وَلَا تُكُهِّنَ لَهُ» أَظُنُّهُ قَالَ: «أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ»
“Bukanlah termasuk golongan kami orang yang berbuat tathayyur dan ditathayyurkan untuknya, bukan (pula termasuk golongan kami) orang yang praktek dukun dan yang diperdukunkan untuknya.” Dan saya menyangka beliau bersabda, ‘Atau orang yang menyihir dan yang disihirkan untuknya.”(4)
Dan barangsiapa terjerumus di dalam suatu darinya, maka kaffarahnya adalah apa yang telah diberitakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda, sebagaimana pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah dari hadits ‘Abdillah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhu,
«مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ، فَقَدْ أَشْرَكَ» ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ: اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ»
“Barangsiapa yang thiyarah menolaknya dari suatu keperluan, maka sungguh dia telah berbuat syirik.” Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, apa kaffarahnya?’ Beliau bersabda, ‘Hendaknya salah seorang dari mereka berkata, ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan (dari sisi)-Mu, dan tidak ada kesialan melainkan kesialan (dengan izin)-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Mu.”(5)
Tasyaa-um (pesimis, merasa sial) adalah termasuk tabiat jiwa, akan menjadi sedikit dan menjadi banyak. Sementara pengobatan yang paling penting adalah bertawakkal kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sebagaimana terdapat di dalam perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, saat dia berkata,
وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَيَقَعُ فِيْ نَفْسِهِ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Tidak ada seorangpun diantara kita melainkan sesuatu darinya akan menimpa jiwanya, akan tetapi Allah akan menghilangkannya dengan sikap tawakkal.”
Sebagai sebuah renungan, tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dan yang membuatku takjub adalah al-fa`lu (optimisme), Imam Nawawi rahimahullah berkata, ‘Dan diantara contoh optimisme adalah adanya orang sakit yang beroptimis (sembuh) dengan apa yang dia dengar, lalu dia mendengar orang yang mengatakan, ‘Ya Salim (Wahai orang yang sembuh).” Atau adanya orang yang sedang mencari-cari hajat kebutuhannya, lalu dia mendengar orang yang berkata, ‘Wahai orang yang mendapatkan (hajat kebutuhannya), kemudian terbersitlah di dalam hatinya pengharapan sembuh atau mendapatkan hajat keperluannya… wallaahu a’lam.
(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)
______________________________________________
Footnote:
1() HR. Muslim (2224), al-Bukhari (5756, 5776)-pent
2() HR. Muslim (537) dengan lafazh:
ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ، فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ – قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ: فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ –
“Itu adalah sesuatu yang mereka dapati di dalam dada-dada mereka, maka janganlah ia memalingkan mereka (dari beramal) –Ibnu as-Shabbaah berkata, ‘Maka janganlah hal itu memalingkan kalian (dari beramal) -pent
3() HR. Abu Dawud (3910), Ibnu Majah (3538), at-Tirmidzi (1614)-pent
4() HR. At-Thabraniy, al-Kabiir (355), al-Bazzar (3578), Shahiih al-Jaami’ (5435), as-Shahiihah (2650), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (3041), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (IV/464)-pent
5() HR. Ahmad (7040), Shahiihul Jaami’ (6264), As-Shahiihah (1065), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (IV/390)-pent