Syarah Do’a Qunut oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (4) Keberkahan

 

[وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا أَعْطَيْتَ] “Dan berkahilah untuk kami pada apapun yang telah Engkau berikan (kepada kami)”, maka apa makna barokah (keberkahan)?

 

Para ulama berkata, ia adalah kebaikan yang banyak; dan mereka mengembalikannya kepada derivasi dari kalimat ini, yaitu dari kata al-birkah, yaitu tempat berkumpulnya air. Dan al-birkah yang ia adalah tempat berkumpulnya air, adalah sesuatu yang luas, air banyak lagi tetap. Maka barokah adalah kebaikan-kebaikan yang banyak lagi tetap.

 

Dan ucapan [فِيْمَا أَعْطَيْتَ] “pada apapun yang telah berikan (kepada kami)” yaitu berupa sesuatu apa? harta, anak, ilmu?

 

Jawab: dari segala sesuatu, dan dari segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada Anda; Anda memohon kepada Allah subhaanahu wata’aalaa keberkahan di dalamnya. Dikarenakan Allah jika tidak memberikan keberkahan kepada Anda dalam perkara yang Dia berikan kepada Anda, maka Anda terhalangi dari banyak kebaikan.

 

Betapa banyak manusia berharta banyak yang setara dengan orang-orang faqir. Mengapa? Dikarenakan mereka tidak mengambil manfaat pada apa yang menjadi milik mereka. Anda temukan mereka memiliki banyak harta berlimpah tak terhitung, akan tetapi dia membatasi nafkah pada keluarganya, pada dirinya sendiri, dan dia tidak mengambil manfaat dengan hartanya.

 

Biasanya, orang yang seperti ini keadannya, dan dia bakhil dengan apa yang wajib dia tunaikan, Allah akan kuasakan atas hartanya pada petaka-petaka yang akan menghilangkannya.

 

Maka banyak di antara manusia, mereka memiliki anak, akan tetapi anak-anak mereka tidak memberikan manfaat padanya. Mereka durhaka dan sombong kepada sang ayah, hingga sesungguhnya dia -sang anak- akan duduk bersama dengan temannya berjam-jam lamanya, bebicara kepadanya, beramah tamah dengannya, dia beritahukan kepada mereka rahasia-rahasianya; akan tetapi jika dia duduk di sisi ayahnya, tiba-tiba saja dia seperti burung yang terkurung di dalam sangkar wal’iyaadzu billah. Tidak ramah kepada ayahnya, tidak berbicara kepadanya, dan tidak memberitahukan sesuatupun dari rahasia-rahasianya, dan dia merasa berat bahkan hanya untuk sekedar melihat ayahnya. Mereka, apakah mereka ini diberkahi untuk mereka anak-anak mereka? Tidak.

 

Keberkahan di dalam ilmu juga. Anda temukan sebagian manusia telah Allah berikan kepadanya ilmu yang banyak. Akan tetapi dia ada pada kedudukan orang yang ummiy; tidak tampak padanya jejak-jejak ilmu padanya pada ibadah-ibadahnya, tidak juga pada akhlaqnya, tidak juga pada prilakunya, dan muamalahnya bersama manusia. Bahkan kadang ilmu tersebut malah mendatangkan kesombongan terhadap hamba-hamba Allah, perasaan lebih tinggi dan menghinakan mereka. Dan orang ini tidak tahu bahwa yang memberikan anugerah ilmu kepadanya adalah Allah, dan bahwa Allah, seandainya Dia menghendaki, maka pastilah dia akan semisal dengan orang-orang bodoh tersebut.

 

Anda temukan dia telah diberi ilmu oleh Allah, akan tetapi manusia tidak bisa mengambil manfaat dengan ilmunya; tidak dengan mengajar, tidak dengan pengarahan, tidak dengan membuat karya, bahkan dia mengurung ilmu pada dirinya sendiri. Allah tidak memberkahinya dalam ilmu. Dan ini, tanpa ada keraguan lagi adalah sebuah penghalangan yang agung. Padahal ilmu adalah termasuk perkara terberkah yang Allah berikan kepada seorang hamba. Dikarenakan ilmu, jika Anda mengajarkannya kepada selain Anda, lalu Anda menyebarkannya di antara para umat, maka Anda akan diberi pahala dari sejumlah sisi:

 

Pertama, bahwasannya pada penyebaran ilmu oleh Anda, terdapat penyebaran agama Allah , maka jadilah Anda termasuk golongan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Maka seorang mujahid di jalan Allah akan menaklukkan negeri demi negeri hingga menyebarkan agama di dalamnya. Sementara Anda menaklukkan hati-hati dengan ilmu hingga syari’at Allah tersebar.

 

Kedua, termasuk di antara keberkahan penyebaran dan pengajaran ilmu adalah bahwa di dalamnya terdapat penjagaan dan perlindungan bagi syari’at Allah; dikarenakan seandainya bukan karena ilmu, maka syari’at tersebut tidak akan terjaga; maka syari’at tidak akan terjaga kecuali dengan tokoh-tokohnya, yaitu tokoh-tokoh ilmu. Tidak mungkin ada penjagaan syari’at kecuali dengan tokoh-tokoh ilmu. Maka jika Anda menyebarkan ilmu, lalu manusia mengambil manfaat dengan ilmu Anda, maka tercapailah penjagaan dan perlindungan bagi syari’at Allah.

 

Ketiga, di dalamnya terdapat sikap baiknya Anda kepada orang yang Anda ajari. Dikarenakan Anda akan mengajarinya agama Allah , lalu jika dia menyembah Allah di atas dasar ilmu, maka ada pahala bagi Anda semisal pahalanya, dikarenakan Andalah yang telah memberikan petunjuk kepadanya di atas kebaikan. Sementara orang yang memberikan petunjuk di atas kebaikan adalah seperti orang yang melakukan kebaikan tersebut. Maka ilmu, di dalam penyebaran terdapat kebaikan dan keberkahan bagi orang yang menyebarkannya, dan bagi orang yang kepadanya ilmu itu disebarkan.

 

Keempat, bahwasannya di dalam menyebarkan dan mengajarkan ilmu terdapat tambahan ilmu baginya. Ilmu orang yang ‘alim akan bertambah jika dia mengajarkannya kepada manusia; dikarenakan pengajaran itu adalah pengingatan kembali bagi apa yang telah dihapal, dan pembukaan ilmu yang belum dihafal. Dan betapa banyaknya seorang ‘alim mengambil manfaat dari para penuntut ilmu. Maka murid-muridnya kadang-kadang mendatangkan makna-makna yang tidak terbersit di dalam benaknya, lalu sang ‘alimpun bisa mengambil faidah dari mereka, sementara dia mengajari mereka. Dan ini adalah sesuatu yang bisa disaksikan (dalam dunia belajar mengajar).

 

Karenanya, selayaknya bagi seorang guru, jika dia mengambil faidah dari sang murid, dimana sang murid membukakan untuknya sesuatu dari bab-bab ilmu, selayaknya dia menyemangati murid tersebut, dan berterima kasih kepadanya atas hal tersebut. Berbeda dengan apa yang disangka oleh sebagian manusia, bahwa sang murid, jika dia membukakan dan menjelaskan untuk sang gurunya sesuatu yang sebelumnya samar bagi sang guru, maka dia telah mempersempit sang guru, lalu dia berkata, “Anak kecil ini mengajari syaikhnya”, maka sang muridpun menjadi sempit dadanya. Setelah itu, sang gurupun menghindar dari berdialog bersama dengan sang murid karena khawatir sang murid menyadari suatu perkara yang samar baginya. Dan ini adalah satu kekurangan ilmunya, dan bahkan itu adalah kekurangan akalnya; dikarenakan jika Allah memberikan anugerah kepada Anda seorang murid yang mengingatkan Anda akan perkara yang Anda lupa, lalu mereka membukakan untuk Anda apa yang Anda tidak mengetahuinya; maka ini adalah termasuk bagian dari nikmat Allah bagi Anda.

 

Maka ini adalah termasuk di antara faidah-faidah penyebaran ilmu; yaitu ilmu itu akan bertambah jika Anda mengajarkannya kepada selain Anda.

 

Sebagaimana perkataan seseorang tentang ilmu sembari membandingkan antara harta dan ilmu:

 

يَزِيْدُ بِكَثْرَةِ الْإِنْفَاقِ مِنْهُ           وَيَنْقُصُ إِنْ بِهِ كَفًا شَدَّدْتَ

 

Akan bertambah dengan banyak berinfak darinya

Dan akan berkurang jika engkatu tutupkan tapak tangan dengannya

 

Jika tapak tangan Anda, Anda tutup dan tahan dengan kuat maka ilmu itu akan berkurang -yaitu Anda akan melupakannya- akan tetapi jika Anda menyebarkannya, maka ilmu itu akan bertambah.

 

Dan selayaknya bagi manusia jika dia menyebarkan ilmu untuk menjadi orang yang hakim (bijak) di dalam mengajarkannya. Dimana dia akan menyampaikan kepada para murid permasalahan-permasalahan yang bisa dijangkau oleh akal-akal mereka, maka janganlah mendatangkan kepada mereka perkara-perkara yang membingungkan, bahkan dia akan mendidik mereka dengan ilmu, sedikit demi sedikit.

 

Dan karenanya sebagian mereka berkata tentang difinisi seorang ‘alim yang Rabbaniy:

 

الْعَالِمُ الرَّبَّانِيُّ هُوَ الَّذِيْ يُرَبِّيْ النَّاسَ بِصِغَارِ الْعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ

 

Seorang ‘alim yang Rabbaniy adalah orang yang mendidik manusia dengan dasar-dasarnya ilmu sebelum yang besar.

 

Kita semua mengetahui bahwa sebuah bangunan tidak akan didatangkan keseluruhannya hingga di letakkan di atas permukaan bumi, lalu menjadi sebuah istana yang kokoh. Bahkan akan dibangun bata per bata hingga bangunan tersebut menjadi sempurna. Maka selayaknya bagi seorang pengajar untuk memperhatikan intelektualitas para murid, dimana dia akan menyampaikan kepada mereka apa yang mungkin dikuasai oleh akal-akal mereka. Karenanya manusia diperintah untuk berbicara kepada manusia dengan apa yang bisa mereka kenal.

 

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:

 

إِنَّكَ لَنْ تُحَدِّثَ قَوْمًا حَدِيْثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُوْلُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً.

 

“Sesungguhnya tidaklah kamu berbicara dengan suatu kaum suatu pembicaraan, yang tidak bisa dicapai oleh akal-akal mereka, melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.”

 

 Dengan juga selayaknya bagi seorang pengajar untuk memberikan perhatian serius terhadap ushul-ushul dan kaidah-kaidah. Dikarenakan ilmu terbaungu di atas ilmu ushul dan kaidah-kaidah.

 

Sungguh para ulama berkata:

 

مَنْ حُرِمَ الْأُصُوْلُ حُرِمَ الْوُصُوْلُ

 

“Barangsiapa terhalangi dari ushul, maka dia akan terhalangi dari sampai kepada ilmu yang dimaksud.”

 

Maksudnya dia tidak akan sampai kepada tujuan, jika dia terhalangi dari ilmu ushul.

 

Maka selayaknya bagi seorang pengajar untuk menyampaikan meteri kaidah-kaidah dan ushul yang permasalahan-permasalahan cabang itu akan tercabang darinya. Dikarenakan orang yang mempelajari ilmu di atas permasalahan-permasalahan cabang, dia tidak akan mampu mendapatkan petunjuk jika datang kepadanya perkara yang membingungkan hingga bisa mengetahui hukumnya, karena dia tidak memiliki ilmu ushul.

 

Kita kembali kepada pokok pembicaraan kita setelah penjelasan panjang lebar ini, yaitu pembicaraan tentang ucapan [وَبَارِكْ لَنَا فِيْمَا أَعْطَيْتَ] “Dan berkahilah untuk kami pada apapun yang telah Engkau berikan (kepada kami)”; maka selayaknya bagi orang yang memohon kepada Allah untuk memberikan keberkahan kepadanya pada apapun yang telah Dia berikan kepada Anda; baik berupa harta, anak, ataupun ilmu.

 

(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *