Sepatu Hak Tinggi Bagi Wanita

 

Pemakaian sepatu hak tinggi oleh wanita, di dalamnya terdapat kerusakan dan penyebaran keburukan. Pertama kali hal itu dilakukan adalah pada Bani Israil, dimana wanita kala itu memakainya untuk tampil terhormat dihadapan kaum laki-laki dan agar mereka melihatnya.

‘Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam Mushannafnya dengan sanad shahih dari ‘Abdillah bin Mas’ud I, dia berkata,

[arabic-font]كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ يُصَلُّونَ جَمِيعًا، فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ لَهَا الْخَلِيلُ تَلْبَسُ الْقَالَبَيْنِ تَطَوَّلُ بِهِمَا لِخَلِيلِهَا، فَأُلْقِيَ عَلَيْهِنَّ الْحَيْضُ، فَكَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ يَقُولُ: «أَخِّرُوهُنَّ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللَّهُ»[/arabic-font]

“Adalah kaum laki-laki dan kaum wanita Bani Israil shalat bersama-sama, maka ada seorang wanita yang memiliki seorang kekasih, ia memakai dua sepatu kayu yang dengan keduanya dia meninggikan dirinya untuk kekasihnya, lalu haidhpun dilemparkan kepada mereka.’ Adalah Ibnu Mas’ud I berkata, ‘Tempatkanlah mereka di belakang, sebagaimana Allah telah menempatkan mereka di belakang.”([1])

Saya tambahkan kepada yang demikian, bahwa sepatu hak tinggi menjadikan jalan seorang wanita dan gerakan-gerakannya menarik perhatian kaum laki-laki, yang demikian itu dikarenakan sepatu itu akan menjadikan wanita tersebut berlenggak-lenggok dan berjalan dengan lambat.

Ditambah lagi suara yang dihasilkan oleh sepatu hak tinggi itu yang menarik perhatian kaum laki-laki.

Imam Muslim, dan Ahmad meriwayatkan hadits yang disebutkan di dalam as-Silsilah as-Shahihah (486) dari Abu Sa’id al-Khudriy I, dia berkata, ‘Rasulullah G bersabda,

[arabic-font]«كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ امْرَأَةٌ قَصِيرَةٌ، فَصَنَعَتْ رِجْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ، فَكَانَتْ تَسِيرُ بَيْنَ امْرَأَتَيْنِ قَصِيرَتَيْنِ، وَاتَّخَذَتْ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ، وَحَشَتْ تَحْتَ فَصِّهِ أَطْيَبَ الطِّيبِ الْمِسْكَ، فَكَانَتْ إِذَا مَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ حَرَّكَتْهُ فَنَفَحَ رِيحَهُ»[/arabic-font]

“Dulu ada di kalangan Bani Israil seorang wanita pendek, lalu dia membuat dua kaki dari kayu. Kemudian dia biasa berjalan diantara dua orang wanita yang pendek. Dia mengenakan sebuah cincin dari emas, kemudian dibawah mata cincinnya dia isi dengan minyak wangi paling wangi; yaitu minyak misik. Jika dia melewati suatu majelis, maka dia menggerak-gerakkan cincin itu kemudian cincin itu menghembuskan aroma wanginya.”([2])

Dan di dalam sebuah riwayat,

[arabic-font]وَجَعَلَتْ لَهُ غَلَقًا، فَإِذَا مَرَّتْ بِالْمَلَإِ أَوْ بِالْمَجْلِسِ، قَالَتْ بِهِ: فَفَتَحَتْهُ، فَفَاحَ رِيحُهُ[/arabic-font]

“Kemudian dia menjadikan penutup bagi cincin itu. Jika dia melewati suatu kumpulan orang atau suatu majelis, maka dia membuka penutup cincin kemudian aroma wangipun berhembus.”([3])

Ada sebuah pertanyaan ditujukan kepada Lajnah ad-Da`imah lil Ifta`, ‘Apa hukum mengenakan sepatu hak tinggi bagi seorang wanita? Memakai kutek (cat kuku) di kuku-kuku wanita? Manakah yang lebih utama cat-cat kuku ataukah menggunakan daun pacar? Dan apa hukum menggunakan inai bagi wanita disaat haidh?

Jawab: Mengenakan sepatu hak tinggi tidak boleh, dikarenakan hal itu bisa membuatnya terjatuh. Sementara manusia diperintahkan secara syar’iy untuk menjauhi segala perkara yang membahayakan, seperti keumuman firman Allah E,

[arabic-font]وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ [/arabic-font]

… dan janganlah kamu membunuh dirimu… (QS. an-Nisa` (4): 29)

Dan firman Allah E,

[arabic-font]وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ [/arabic-font]

… dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan… (QS. al-Baqarah (2): 19)

Sebagaimana sepatu hak tinggi itu akan menampakkan perawakan wanita dan bagian belakangnya lebih dari sebenarnya. Dan pada yang demikian terdapat penipuan dan penampakan sebagian perhiasan yang seorang wanita mukminah dilarang menampakkannya.

Berdasarkan firman Allah E,

[arabic-font]وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ [/arabic-font]

… dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam… (QS. an-Nuur (24): 31)

Adapun cat-cat kuku, maka tidak boleh dipakai, karena bisa menghalangi sampainya air wudhu` dan mandi ke kuku. Fatwa-fatwa yang mengisyaratkan padanya telah mencakupnya pada jawaban kedua. Adapun inai bagi wanita, maka tidak diketahui adanya larangan memakainya sebagaimana kondisi suci.
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (1) Akhthooun Nisa fi al-Libaas Wa az-Ziinah, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)

___________________________

Footnote:

([1]) HR. ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (5115), Shahih Ibnu Khuzaimah (1700), at-Thabrani dalam al-Kabir (IX/hal 296, no. 9485), al-Albani berkata di dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, ‘Sanadnya shahih mauquf.’ Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaaniid (27/398)-pent

([2]) HR. Ahmad (11364), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya Shahih berdasarkan syarat Muslim. ‘Utsman bin ‘Umar adalah Ibnu Faris al-‘Abdiy. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban (5592) dari Jalur ‘Utsman bin ‘Umar dengan sanad ini. Diriwayatkan oleh Muslim (18) (2252), an-Nasa`iy (VIII/151) dari jalur Khaliid bin Ja’far dari Abu Nadhrah dengan sanadnya…”-pent

([3]) HR. Ahmad (11426), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1699), Ibnu Hibban (5591), Abu Ya’la (1293) dari jalur ‘Abdushshomad, dengan sanad ini.”-pent

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *