Serial Maksiat Mata dari Syarah Sullamuttaufiq
Selain Suami Istri Tidak Boleh Saling Melihat Kemaluan
Dari Abu Sa’id al-Khudriy I, dari Rasulullah ﷺ, bahwasannya beliau bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ …
“Janganlah seorang laki-laki melihat kepada aurat laki-laki, tidak juga seorang wanita (melihat) kepada aurat seorang wanita…”([1])
Aurat Lelaki dengan Wanita Lainnya
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman dari fitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda).
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahramnya, yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya), ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah D,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. an-Nuur (24): 31)
Dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah hadits dari Ummu Salamah J, ia berkata,
كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ «احْتَجِبَا مِنْهُ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ «أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ »
“Aku berada di sisi Rasulullah ﷺ ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi ﷺ pun bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi ﷺ balik bertanya: “Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia?“([2])
[Riwayat ini adalah riwayat yang dho’if, lemah]
Abu Daud berkata, “Ini hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi ﷺ, tidakkah engkau lihat bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum! Nabi ﷺ pernah berkata kepada Fatimah binti Qais, ‘Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia adalah seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan pakaianmu di sisinya.”([3])
Adapun pendapat terkuat menurut madzhab Hambali, boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya. Hal ini didukung oleh hadits ‘Aisyah J dan haditsnya muttafaqun ‘alaih. Dari Aisyah J, ia berkata;
رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
“Aku melihat Nabi ﷺ menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda.”([4])
Yang terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya karena dalil yang mendukung lebih shahih dan lebih kuat. Wallahu a’lam.
Aurat Lelaki di Hadapan Istri
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat atau tidak-, tentu saja dibolehkan.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits yang dho’if. Hadits tersebut adalah,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ
“Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.”([5])
وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمَا كَشْفُ السَّوْأَتَيْنِ فِي الْخَلْوَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ إِلاَّ لِحَلِيْلٍ.
“Dan Haram Atas keduanya (laki-laki dan perempuan) menyingkap dua aurat (qubul dan dubur) dalam keadaan bersendirian tanpa hajat, kecuali untuk yang halal (suami istri)”
Tidak Boleh Menyingkap Aurat Saat Sendirian Tanpa Hajat
Diriwayatkan dari Muawiyah bin Haidah I, bahwa beliau bertanya kepada Nabi ﷺ
يَا رَسُولَ اللهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ؟ قَالَ «احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ» قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ؟ قَالَ: «إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا» قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: «اللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ»
“Wahai Rasulullah, aurat kami, apa yang kami boleh mendatanginya, dan apa yang kami hindari? Maka beliau i menjawab, “Jaga auratmu, kecuali dari istri atau budakmu.” Dia berkata, ‘Aku berkata,’ Bagaimana jika seorang lelaki bersama lelaki yang lain? Beliau menjawab: “Jika engkau mampu agar auratmu tidak dilihat orang lain, lakukanlah!” Dia berkata, ‘Aku berkata, ‘Ketika seseorang itu sendirian? Beliau menjawab: “Allah lebih layak seseorang itu malu kepada-Nya.”([6])
(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamuttaufik, Muhammad Syahri)
___________________________
Footnote:
([1]) HR. Muslim (338)
([2]) HR. Abu Daud (4112), At Tirmidzi (2778), dan Ahmad 6/296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dha’if.
([3]) Lihat Sunan Abi Daud Bab “Firman Allah I: [وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ]
([4]) HR. Bukhari (5236) dan Muslim (892)
([5]) HR. Ibnu Majah (1921). Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam hadits tersebut terdapat Mandal dan ia dho’if (Mukhtashor Al Bazzar, 1/579). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
([6]) HR. Ahmad (19536), Abu Daud (4017), Turmudzi (2769, 2794), Ibn Majah (1920), dan dihasankan Al-Albani V dalam al-Irwa` (1810), Shahiih al-Jami’ (203), al-Misykah (3117), lihat juga al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (9/417)