25. Persangkaan Bahwa Wanita Tidak Boleh Berziarah Kubur
Sebagian wanita tidak mau berziarah kubur karena bersandar kepada pendapat sebagian ulama yang tidak membolehkan kaum wanita untuk berziarah kubur secara mutlak. Akan tetapi pada hakikatnya, pendapat ini adalah marjuh (lemah), pendapat yang rajih (unggul) adalah bolehnya wanita untuk berziarah kubur. Yang demikian itu berdasarkan dalil-dalil berikut,
Pertama, keumuman idzin beliau ﷺ untuk berziarah kubur dalam sabda beliau,
[إِنِّي قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ] [أَلَا فَزُورُوهَا]
“[Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian dari berziarah kubur]([1]), [(maka sekarang) berziarah kuburlah kalian]([2]).”
Sabda beliau ‘maka berziarah kuburlah kalian’ adalah sebuah idzin umum yang mencakup kaum laki-laki dan perempuan, dikarenakan larangan di awal waktu mencakup dua jenis (laki-laki dan perempuan), dimana beliau bersabda kepada dua jenis tersebut, ‘dulu aku telah melarang kalian dari berziarah kubur’, maka arah tujuan pembicaraan pada kalimat yang kedua ‘sekarang berziarah kuburlah kalian’ juga mencakup dua jenis (laki-laki dan perempuan).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata –sebagaimana di dalam kita al-Muhalla, ‘Hukum wanita berziarah kubur diperselisihkan oleh para ‘ulama, ada yang mengatakan, mereka masuk di dalam keumuman idzin, dan pendapat ini adalah pendapat mayoritas, dan kondisinya adalah jika aman dari fitnah.’
Kedua, keikut sertaan mereka bersama kaum laki-laki di dalam sebab yang karenanya, ziarah kubur disyariatkan, yaitu sabda Nabi ﷺ,
(فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ)
“Karena berziarah kubur akan melembutkan hati, membuat mata menangis, dan mengingatkan akhirat.”([3])
Maka kaum wanita membutuhkan nasihat ini, dan butuh ingat akhirat sebagaimana kaum laki-laki membutuhkannya, dengan kebutuhan yang sama persis.
Ketiga, pemahaman ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha terhadap makna ini. Imam al-Hakim meriwayatkan dari ‘Abdillah bin Mulaikah,
أَقْبَلَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ذَاتَ يَوْمٍ مِنَ الْمَقَابِرِ، فَقُلْتُ لَهَا: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتِ؟ قَالَتْ: مِنْ قَبْرِ أَخِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَلَيْسَ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ؟، قَالَتْ: نَعَمْ، كَانَ قَدْ نَهَى، ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا
Suatu hari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha datang dari pekuburan. Maka saya bertanya kepada beliau, ‘Wahai, ibunda orang-orang mukmin, dari mana Anda datang?’ beliau menjawab, ‘Dari kubur saudaraku, ‘Abdurrahman bin Abi Bakar.’ Maka saya berkata kepada beliau, ‘Bukankah Rasulullah ﷺ telah melarang ziarah kubur?’ Maka beliau menjawab, ‘Ya, dulu beliau melarang, kemudian beliau memerintah untuk berziarah kubur.”([4])
Dan di dalam sebuah riwayat:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَخَّصَ فِي زِيَارَةِ الْقُبُورِ
“Bahwasannya Rasulullah ﷺ telah memberikan keringanan dalam ziarah kubur.”([5])
Imam at-Tirmidzi berkata, ‘Sebagian para ulama berpandangan bahwa larangan ini ada sebelum Nabi ﷺ memberikan keringanan di dalam berziarah kubur. Maka tatkala beliau memberikan keringanan, maka kaum laki-laki maupun perempuan masuk di dalam keringanan tersebut.’ Selesai.([6])
Inilah yang difahami oleh ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, wanita umat ini yang paling ‘alim (yang paling berilmu), bahkan para sahabat besarpun meruju’ kepada beliau dalam permasalahan yang sulit bagi mereka. Maka saat dia ditanya, ‘Bukankah Nabi ﷺ telah melarang ziarah kubur?’ Maka dia menjawab, ‘Ya, kemudian beliau memerintah untuk menziarahinya.’
As-Syaukaniy berkata di dalam ad-Darariy (hal. 168), ‘Dan dilakukanlah kompromi diantara dalil-dalil tersebut, yaitu bahwa larangan tersebut berlaku bagi wanita yang melakukan perkara-perkara yang tidak di perbolehkan di dalam ziarah kubur, seperti meratap dan selainnya. Dan diidzinkan bagi yang tidak melakukan yang demikian.”([7]) Selesai.
Al-Qaariy di dalam al-Mirqaah berkata setelah menyebutkan hadits-hadits ziarah kubur, ‘Hadits-hadits ini dengan segala penjelasan sebabnya menunjukkan bahwa kaum wanita seperti kaum laki-laki dalam permasalahan hukum berziarah kubur jika mereka berziarah kubur dengan (memenuhi) syarat-syarat yang telah ditetapkan bagi mereka. Adapun berita laknat Rasulullah ﷺ bagi wanita-wanita yang berziarah kubur, maka harus dibawa kepada makna ziarah mereka (yang bertujuan) untuk melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti meratap dan semacamnya.’([8])
Keempat, pengakuan Nabi ﷺ terhadap seorang wanita yang beliau lihat berada di sisi kuburan.
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Anas subhaanahu wa ta’aala, dia berkata, ‘Nabi ﷺ pernah melewati seorang wanita yang menangis di sisi kuburan, maka beliau ﷺ bersabda,
«اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِي» قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي، وَلَمْ تَعْرِفْهُ، فَقِيلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَتْ بَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ، فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ، فَقَالَ: «إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الأُولَى»
“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu berkata, ‘Pergilah dariku, sesungguhnya engkau tidak terkena musibah dengan musibahku.’ Dan dia tidak mengenali beliau. Maka dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya dia adalah Nabi ﷺ.’ Maka diapun mendatangi pintu Nabi ﷺ, dan tidak menemukan penjaga pintu di sisinya. Lantas dia berkata, ‘(Tadi) saya tidak mengenali Anda.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kesabaran itu ada pada hantaman musibah yang pertama.”([9])
Dan sebagaimana kita semua mengetahui bahwa tidak dibenarkan mengakhirkan penjelasan dari waktu dibutuhkannya penjelasan tersebut bagi Nabi ﷺ, maka di saat wanita itu datang kepada beliau, maka beliaupun sedikit memarahinya karena ketidak relaannya dengan musibah, dan tidak adanya kesabarannya, dan tidak memarahinya karena ziarah kuburnya.’
Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Hadits ini dijadikan dalil bolehnya berziarah kubur, sama saja yang berziarah itu adalah seorang laki-laki maupun seorang perempuan.”([10]) Selesai.
Dia juga berkata di dalam al-Fath (III/191), ‘Tentang kaum wanita, maka diperselisihkan; dikatakan bahwa mereka masuk di dalam idzin tersebut, dan itu adalah pendapat mayoritas para ulama, dan kondisinya adalah jika aman dari fitnah. Dan yang menguatkan kebolehan ini adalah hadits bab ini (yaitu hadits Anas). Dan tempat pendalilannya adalah bahwa beliau ﷺ tidak mengingkari duduknya wanita itu di sisi kuburan, dan pengakuan beliau adalah sebuah hujjah.” Selesai.
Sebagaimana yang dikatakan oleh penulis Manzhumah al-Waraqaat,
وَمَا جَرَى فِي عَصْرِهِ ثُمَّ اِطَّلَعْ عَلَيْهِ إِنْ أَقَرَّهُ فَلْيُتَّبَعْ
Dan apapun yang berlaku di masa beliau, lalu beliau melihatnya, jika beliau mengakuinya, maka hendaknya hal itu diikuti.
Al-‘Ainiy rahimahullah berkata di dalam al-‘Umdah, ‘Di dalamnya terdapat kebolehan berziarah kubur secara mutlak, sama saja yang berziarah itu adalah seorang laki-laki ataupun perempuan. Sama saja yang diziarahi itu adalah seorang muslim ataupun seorang kafir, karena tidak adanya rincian di dalam masalah tersebut.”([11])
An-Nawawi rahimahullah berkata, ‘Dengan pendapat bolehnya ziarah kuburlah jumhur ulama memastikannya.”
Kelima, pengakuan Nabi ﷺ berdasarkan ucapan ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha tentang bolehnya dia untuk berziarah kubur.
Imam Muslim meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata di dalam sebuah hadits yang panjang, dan di dalamnya disebutkan,
كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ «قُولِي: السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ»
“Apa yang harus saya ucapkan untuk mereka Ya Rasulallah?’ Maka beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, semoga keselamatan tercurah kepada para penghuni kubur, dari golongan orang-orang mukmin dan muslim. Mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan yang belakangan. Dan sesungguhnya kami, insyaallah, akan menyusul kalian.”([12])
Dengan hadits tersebut, al-Hafizh berdalil di dalam at-Talkhiish atas bolehnya berziarah kubur bagi kaum wanita, dan hadits tersebut adalah penunjukan yang jelas akan bolehnya berziarah kubur (bagi kaum wanita).
An-Nawawiy rahimahullah berkata, ‘Di dalam hadits ini terdapat dalil bagi orang yang membolehkan wanita berziarah kubur.”([13])
Akan tetapi kadang hal ini menjadi rumit bagi sebagian kaum wanita, lalu dia berkata bahwa berziarah kubur tidak boleh bagi kaum wanita, dengan dalil sabda Nabi ﷺ, sebagaimana yang riwayatkan oleh at-Turmudzi,
لَعَنَ اللهُ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ
“Allah melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur.”
Maka jawabnya adalah bahwa ini tidak bisa dijadikan sebagai pegangan, dan tidaklah shahih dalil tersebut, dimana yang dimaksud dengan hadits tersebut –jika shahih- adalah seringnya wanita berziarah kubur, dan banyaknya wanita berbolak balik ke kuburan. Dikarenakan yang demikian kadang bisa menjerumuskan mereka kepada perbuatan yang menyelisihi syari’at; seperti histeris, bertabarruj, menjadikan kuburan sebagai tempat rekreasi, membuang-buang waktu dalam hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana bisa disaksikan pada hari ini pada sebagian negeri. Maka pada wanita inilah hadits tersebut turun.
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ‘Laknat yang disebutkan di dalam hadits tersebut hanyalah untuk para wanita yang banyak (sering) berziarah kubur, dikarenakan bentuk katanya menunjukkan arti berlebihan. Dan barangkali sebabnya adalah apa yang diakibatkan olehnya; berupa penyia-nyiaan hak suami, bertabarruj, dan apa yang muncul darinya, baik berupa jeritan dan semacamnya. Dan kadang dikatakan, jika aman dari semua itu, maka tidak ada halangan untuk memberikan idzin bagi mereka, dikarenakan mengingat mati dibutuhkan oleh kaum laki-laki dan kaum wanita.”([14])
Imam as-Syaukaniy rahimahullah berkata di dalam Nailul Authar, ‘Pendapat inilah yang patut dijadikan pegangan dalam mengkompromikan hadits-hadits bab yang zhahirnya bertentangan.([15])
Kesimpulan dari pembahasan yang terdahulu adalah bahwa wanita boleh berziarah kubur, akan tetapi dengan syarat:
- Tidak sering-sering
- Tidak memicu sikap ghuluw (berlebihan) yang menghantarkan kepada kesyirikan.
- Tidak berakibat mengurangi hak suami
- Tidak menyebabkan fitnah atau terfitnah
- Ziarah kuburnya dimaksudkan untuk mengingat akhirat, dan memberikan manfaat kepada si mayit dengan mendo’akannya.
- Konsisten dengan adab-adab syar’iy dalam berziarah kubur.
- Tidak mengkhususkan waktu ziarah kubur yang bertepatan dengan waktu-waktu ziarah kuburnya ahlul bid’ah, seperti hari-hari raya dan selainnya.
Maka, jika kaum wanita konsisten dengan syarat-syarat ini, maka disyari’atkan baginya untuk berziarah kubur, jika tidak, maka dia dilarang dari berziarah kubur, demi tercegahnya dia dari yang diharamkan (saddudz dzarii’ah).
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
_____________________________
Footnote:
([1]) HR. Muslim (977), Ahmad (23053)-pent
([2]) HR. Muslim (977), al-Hakim (1385)-pent
([3]) HR. al-Baihaqiy, al-Kubra (6990), at-Turmudzi (1054), lihat Shahihul Jaami’ (4584), Ahkaamul Janaaiz, hal. 180, Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/134)-pent
([4]) HR. al-Hakim (1392), Abu Ya’la (4871), al-Baihaqiy, al-Kubra (6999), Ibnu Majah (1570), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam al-Irwa` (775), Ahkaamul Janaaiz, hal. 181-pent
([5]) HR. Ibnu Majah (1570), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya shahih.’-pent
([6]) Sunan at-Tirmidzi, III/362. -pent
([7]) Ad-Darariy al-Mudhiyah Syarhu ad-Durar al-Bahiyah, as-Syaukaaniy, I/146-pent
([8]) Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaatu al-Mashaabiih, IV/1255-pent
([9]) HR. al-Bukhari (1223), Muslim (926), Abu Dawud (3124), at-Tirmidzi (988), an-Nasa`iy (1869), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/137)-pent
([10]) Fathul Baariy Syarhu Shahiih al-Bukhaariy, Ibnu Hajar al-‘Asyqalaniy, III/150-pent
([11]) ‘Umdatul Qaariy Syarhu Shahiih al-Bukhaariy, Badruddin al-‘Ainiy, VIII/68-pent
([13]) Syarhu Muslim, an-Nawawiy, VII/45-pent
([14]) Nailul Authar, as-Syaukaniy, IV/134-pent
([15]) Nailul Authar, as-Syaukaniy, IV/135-pent