Jama’ah Wajib Diam Dan Mendengarkan Khutbah Jum’at
oleh al-Ustadz Muslim Atsari
HADITS ABU HUROIROH radhiyallaahu ‘anhu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الجُمُعَةَ، فَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، وَمَنْ مَسَّ الحَصَى فَقَدْ لَغَا»
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa berwudhu’, lalu dia melakukan wudhu’ itu sebaik-baiknya, lalu dia mendatangi (khutbah dan sholat) jum’ah, lalu mendekat (kepada imam) dan mendengarkan, serta diam, diampuni (dosanya) yang ada antara jum’at itu dengan jum’ah lainnya, ditambah tiga hari. Namun barangsiapa menyentuh kerikil (yakni: mempermainkannya-pen) maka dia telah berbuat sia-sia”.([1])
HADITS ABU HUROIROH radhiyallaahu ‘anhu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ »
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau berkata kepada kawanmu “diamlah!”, pada hari jum’ah, dan imam sedang berkhutbah, maka engkau telah mengatakan perkataan sia-sia”.([2])
FAWAID HADITS:
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits–hadits ini, antara lain:
1- Di antara adab-adab sholat jum’at adalah berwudhu dari rumah, dan berwudhu dengan sebaik-baiknya.
2- Di antara adab-adab sholat jum’at adalah bersegera menuju masjid dan mendekat kepada imam.
3- Kewajiban untuk jama’ah untuk diam dan mendengarkan di saat khutbah.
4- Sholat jum’at menghapus dosa-dosa kecil sepekan sebelumnya, bahkan ditambah tiga hari, dengan syarat melaksanakan adab-adabnya.
5- Satu kebaikan yang dilakukan manusia dengan ikhlas, akan dibalas paling sedikit dengan sepuluh kali lipatnya. Ini adalah kemurahan Alloh ﷻ.
6- Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah (wafat th 852 H) rahimahullah berkata: “Hadits ini dijadikan dalil larangan terhadap seluruh jenis perkataan di saat khutbah.
Ini adalah pendapat mayoritas ulama’ terhadap orang yang mendengar khutbah. Demikian juga hukum bagi orang yang tidak mendengar khutbah, menurut banyak ulama. Jika ingin memerintahkan kebaikan, hendaklah dia lakukan dengan isyarat”.([3])
7- Imam An-Nawawi (wafat th 676 H) rahimahullah berkata: “Di dalam hadits ini terdapat larangan menyentuh kerikil dan lainnya, yang berupa berbagai macam perbuatan sia-sia di saat khutbah.
Dan di dalamnya terdapat isyarat agar hati dan anggota badan (hadirin) tertuju kepada khutbah. Dan yang dimaksudkan dengan “berbuat sia-sia” di sini adalah perbuatan batil, tercela, dan tertolak”.([4])
8- Syaikh Al-‘Utsaimin (wafat th 1421 H) rahimahullah berkata: “Orang yang berbuat sia-sia yaitu orang yang tidak mendapatkan pahala jum’at, maksudnya bukan sholat jum’atnya batal”.([5])
9- Syaikh Al-‘Utsaimin (wafat th 1421 H) rahimahullah berkata: “Pada kesempatan ini aku katakan: Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh sebagian orang di hari ini, yang berupa menaikkan (suara) khutbah dan sholat lewat pengeras suara di menara (suara luar-pen) sehingga mengacaukan orang-orang lain adalah perkara yang munkar…
Karena sesungguhnya suara yang terdengar dari luar ini akan mengganggu umat Islam di masjid kedua (yakni masjid lain-pen) dan mengacaukan mereka dari mendengarkan imam mereka.
Bahkan kemungkinan mereka akan berpindah untuk mendengarkan imam yang (suara dikeraskan) keluar itu, dan melupakan mendengarkan imam mereka, karena imam yang pertama lebih bagus bacaannya dan lantang suaranya. Dan ini menganggu saudara-saudara mereka kaum muslimin”.([6])
Inilah sedikit penjelasan tentang hadits–hadits yang agung ini. Semoga Alloh ﷻ selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju ridho dan sorga-Nya yang penuh kebaikan.
Ditulis oleh Muslim Atsari,
Sragen, Dhuha Rabu, 27-Robi’ul Awwal-1443 H / 3-November-2021 M
_____________________
Footnote:
([1]) HR. Tirmidzi, no: 498; Ibnu Majah, no: 1090; Ibnu Khuzaimah, no. 1818; ini lafazh mereka. Juga riwayat Muslim, no: 857; Abu Dawud, no: 1050; Ahmad, no. 9484; Ibnu Khuzaimah, no. 1756; Ibnu Hibban, no. 2779; dengan tanpa kalimat “lalu mendekat kepada imam”. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
([2]) HR. Bukhari, no. 934; Muslim, no. 851; Tirmidzi, no. 512; Nasai, no. 1401, 1402, 1577; Abu Dawud, no. 1112; Ibnu Majah, no. 1110; Ahmad, no. 7332, 7686, 7764, 8235, 9101, 9147, 10128, 10300, 10720, 10888; Ibnu Khuzaimah, no. 1805, 1806; Ibnu Hibban, no. 2794, 2795
([3]) Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 2/415
([4]) Syarh Muslim karya An-Nawawi, 6/147
([5]) Fatawa Nur ‘Alad Darb, 8/2
([6]) Fatawa Nur ‘Alad Darb, 8/2