Perintah Nabi Untuk Memendekkan Khutbah
oleh: al-Ustadz Muslim al-Atsariy
HADITS JABIR BIN SAMUROH radhiyallaahu ‘anhu
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: «كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا، وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا»
Dari Jabir bin Samurah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: “Aku biasa shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka shalat beliau sedang, dan khutbah beliau sedang”.([1])
HADITS JABIR BIN SAMUROH radhiyallaahu ‘anhu
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ السُّوَائِيِّ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُطِيلُ الْمَوْعِظَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، إِنَّمَا هُنَّ كَلِمَاتٌ يَسِيرَاتٌ»
Dari Jabir bin Samurah As-Suwaaiy radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: “Kebiasaan Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memanjangkan nasehat pada hari jum’at. Namun hanya-lah kalimat-kalimat yang sedikit”.([2])
HADITS ‘AMMAR BIN YASIR radhiyallaahu ‘anhu
عَنْ أَبِي رَاشِدٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ، قَالَ: «أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِقْصَارِ الْخُطَبِ»
Dari Abu Rosyid, dari ‘Ammaar bin Yasir, dia berkata: “Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk memperpendek khutbah.”([3])
HADITS ‘AMMAR BIN YASIR radhiyallaahu ‘anhu
قَالَ أَبُو وَائِلٍ: خَطَبَنَا عَمَّارٌ، فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ، فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا: “يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ، فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ” فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا»
Abu Wail berkata: “Ammaar berkhutbah kepada kami dengan ringkas dan jelas. Ketika dia turun, kami berkata: “Hai Abul Yaqzhon (panggilan Ammaar), engkau telah berkhutbah dengan ringkas dan jelas, seandainya engkau panjangkan sedikit!”
Dia menjawab: “Aku telah mendengar Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya panjang shalat seseorang, dan pendek khutbahnya merupakan tanda kefahaman (agama) nya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekanlah khutbah! Dan sesungguhnya di antaranya penjelasan merupakan sihir.”([4])
FAWAID HADITS:
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits–hadits ini, antara lain:
1- Keutamaan sahabat Jabir bin Samurah. Beliau rajin shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan memperhatikan khutbahnya.
2- Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat untuk memanjangkan shalat jum’at dan memendekkan khutbah.
3- Kebiasaan Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memanjangkan nasehat di dalam khutbah jum’at. Maka ini adalah kesesuaian antara perkataan dan perbuatan beliau. Begitu-lah seharusnya seorang juru dakwah.
4- Nasehat dengan kalimat-kalimat yang sedikit tidak memberatkan jama’ah, lebih mudah diingat dan diambil pelajarannya, daripada nasehat yang panjang lebar.
5- Keutamaan sahabat Ammaar bin Yasir. Beliau mengamalkan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar berkhutbah dengan ringkas.
6- Jama’ah boleh mengusulkan sesuatu yang dianggap baik untuk dilakukan oleh khotib.
7- Khotib boleh menolak usulan jama’ah yang tidak sesuai dengan Sunnah Nabi.
8- Lama shalat jum’at dan pendek khutbahnya adalah tanda kefahaman agama. Yaitu menyedikitkan perkataan dan memperbanyak amal perbuatan, dan hikmah lainnya.
9- Lama shalat jum’at diukur dengan kebiasaan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu beliau biasa membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah atau surat Al-Jumu’ah dan Al-Munafiqun.
10- Sesungguhnya sebagian penjelasan manusia memiliki kekuatan untuk melakukan kebaikan atau keburukan, sebagaimana sihir.
Inilah sedikit penjelasan tentang hadits–hadits yang agung ini. Semoga Alloh ﷻ selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju ridho dan sorga-Nya yang penuh kebaikan.
Ditulis oleh Muslim Atsari,
Sragen, Bakda Ashar, Senin, 8-Jumadal Ula-1443 H / 13-Desember-2021 M
_____________________
Footnote:
([1]) HR. Muslim, no. 866; Tirmidzi, no. 507; Nasai, no. 1582; Ahmad, no. 20885
([2]) HR. Abu Dawud, no. 1107. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Abu Dawud
([3]) HR. Abu Dawud, no. 1106. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Abu Dawud
([4]) HR. Muslim, no. 869/47; Ahmad, no. 18317; Ibnu Khuzaimah, no. 1782; Ibnu Hibban, no. 2791