18- Perintah Mandi Ketika Akan Sholat Jum’at
Oleh: al-Ustadz Muslim al-Atsariy
HADITS ABDULLOH BIN UMAR
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ: «مَنْ جَاءَ مِنْكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ»
Dari Abdulloh bin Umar, dari Rosululloh shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda sewaktu berdiri di atas mimbar (berkhutbah): “Barangsiapa di antara kalian ingin mendatangi shalat jumat, hendaklah dia mandi!”.([1])
Juga diriwayatkan tanpa kalimat “sedang beliau (berkhutbah) berada di atas mimbar”.([2])
HADITS ABU SA’ID
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الغُسْلُ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ، وَأَنْ يَسْتَنَّ، وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ»
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata, “Aku bersaksi atas Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Mandi pada hari Jum’at merupakan kewajiban bagi orang yang sudah bermimpi (baligh), dan agar bersiwak (menggosok gigi) dan memakai wewangian bila memilikinya”.([3])
Juga diriwayatkan tanpa kalimat “dan agar bersiwak (menggosok gigi) dan memakai wewangian bila memilikinya.”([4])
HADITS IBNU ABBAS
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ، جَعَلَهُ اللهُ لِلْمُسْلِمِينَ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ»
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya (hari jum’at) ini adalah hari raya yang telah Allah jadikan bagi kaum muslimin.
Maka barangsiapa menghadiri shalat jum’at hendaklah mandi, jika mempunyai minyak wangi hendaklah memakainya, dan hendaklah kalian bersiwak”.([5])
HADITS HAFSHOH
عَنْ حَفْصَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ رَوَاحٌ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَعَلَى كُلِّ مَنْ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ الْغُسْلُ»
Dari Hafshoh, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Kewajiban atas setiap orang yang sudah bermimpi (baligh) untuk pergi melaksanakan shalat Jum’at.
Dan kewajiban atas orang yang pergi melaksanakan shalat Jum’at untuk mandi”.([6])
Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Abu Dawud berkata: “Apabila seseorang mandi setelah terbit fajar (shodiq), itu cukup baginya sebagai mandi untuk shalat jum’at, walaupun dia junub”.([7])
FAWAID HADITS:
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits–hadits ini, antara lain:
1- Allah menjadikan hari jum’at sebagai hari raya pekanan bagi kaum muslimin, sedangkan ‘idul fithri dan ‘idul adh-ha sebagai hari raya tahunan.
2- Karena hari jum’at sebagai hari raya, maka menghadiri shalat jum’at dilakukan dengan adab-adab, antara lain: mandi, bersiwak (membersihkan gigi), dan memakai minyak wangi bagi laki-laki.
3- Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhutbah dengan berdiri di atas mimbar.
4- Di antara tema yang bisa disampaikan di dalam khutbah adalah tentang adab-adab pergi sholat jum’at, termasuk mandi sebelumnya.
5- Shalat Jum’at wajib atas setiap laki-laki muslim yang sudah baligh (dewasa).
6- Di antara tanda baligh (dewasa) adalah mimpi basah, atau umur 15 tahun, atau rambut dewasa yang telah tumbuh, atau haidh bagi wanita.
7- Anak yang belum baligh belum terkena taklif (beban syari’at), namun orang tuanya berkewajiban mendidik dan membiasakannya melakukan syari’at.
8- Perintah mandi bagi orang yang ingin mendatangi shalat jumat. Juga bersiwak (menggosok gigi) dan memakai wewangian bila memilikinya.
9- Mandi jum’at boleh dilakukan setelah terbit fajar (shodiq), namun lebih utama ketika hendak berangkat ke masjid.
10- Sekali mandi sudah mencukupi untuk mandi shalat jum’at dan mandi junub.
Inilah sedikit penjelasan tentang hadits–hadits yang agung ini. Semoga Alloh ﷻ selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju ridho dan sorga-Nya yang penuh kebaikan.([8])
______________
Footnote:
([1]) HR. An-Nasai, no. 1407; Ibnu Majah, no. 1088; Ahmad, no. 4942, 5961, 6020, 6370; Ibnu Khuzaimah, no. 1749, 1750. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan An-Nasai; dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad
([2]) HR. Al-Bukhori, no. 887, 894, 919; Muslim, no. 844; An-Nasai, no. 1376; Tirmidzi, no. 492, 493; Ahmad, no. 3058, 4466, 4553, 4920, 5005, 5008, 5083, 5142, 5169, 5210, 5311, 5450, 5456, 5488, 5777, 5828, 6267, 6327, 6369; Ibnu Khuzaimah, no. 1751; Ibnu Hibban, no. 1223, 1224, 1225
([3]) HR. Al-Bukhori, no. 880; Muslim, no. 846/7; An-Nasai, no. 1375, 1383; Abu Dawud, no. 344; Ahmad, no. 11250, 11658; Ibnu Khuzaimah, no. 1743, 1744; Ibnu Hibban, no. 1233
([4]) HR. Al-Bukhori, no. 879, 895, 2665; Muslim, no. 846/5; An-Nasai, no. 1377; Abu Dawud, no. 341; Ibnu Majah, no. 1089; Ahmad, no. 11027, 11578; Ibnu Khuzaimah, no. 1742; Ibnu Hibban, no. 1228
([5]) HR. Ibnu Majah, no. 1098. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibnu Majah; dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata di dalam Takhrij Ibnu Majah, “Shohih lighoirihi”
([6]) HR. Abu Dawud, no. 342; Ibnu Khuzaimah, no. 1721; Ibnu Hibban, no. 1220. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Abu Dawud
([7]) Sunan Abu Dawud, no. 342
([8]) Sragen, Dhuha Jum’at, Rabu, 1-Robi’ul Awwal-1443 H / 8-Oktober-2021 M