Kedua, pergi ke dukun dan paranormal
Definisi dari kahin dan ‘arraaf.
Imam al-Baghawi berkata, sebagaimana disebutkan di dalam Syarhu as-Sunnah (XII/182), ‘Kahin adalah orang yang memberitakan kejadian-kejadian pada masa depan, dan mengaku mengetahui rahasia-rahasia dan pengetahuan tentang ilmu ghaib. Adalah dukun pada bangsa ‘Arab, mereka itu mengakui mengetahui berbagai perkara; ada diantara mereka mengaku memiliki pimpinan bangsa jin dan para pengikutnya yang menyampaikan berbagai berita kepadanya; ada diantara mereka yang mengaku menguasai berbagai perkara dengan pemahaman yang diberikan kepadanya.
Adapun ‘arraaf, maka ia mengaku mengetahui berbagai perkara dengan segala sebab pendahuluan yang menunjukkan tempat-tempatnya; seperti barang yang dicuri, siapakah yang mencurinya; mengetahui tempat barang yang hilang. Dan saat ada seorang wanita dituduh zina, maka dia berkata siapakah pelakunya. Dan perkara-perkara lainnya. Dan diantara mereka ada yang menyebut tukang ramal adalah kaahin.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, ‘Kaahin adalah orang yang mengeklaim dia mengetahui sebagian perkara-perkara ghaib; dan kebanyakannya adalah dari apa yang mereka lihat pada bintang-bintang untuk mengetahui kejadian-kejadian. Mereka juga menggunakan jasa syetan dari bangsa Jin yang mencuri dengar berita dari langit. Atau dengan membuat garis di pasir, atau memukulkan tongkat, melihat di dalam mangkok, tapak tangan, atau dengan membuka suatu buku dengan klaim mereka bahwa dengan cara seperti itu, mereka bisa mengetahui ilmu ghaib, padahal mereka menjadi kafir dengan keyakinan-keyakinan ini. Dikarenakan dengan cara ini, mereka telah mengeklaim bahwa diri mereka telah bersekutu dengan Allah di dalam satu sifat dari sifat-sifat Allah, yaitu mengetahui perkara ghaib.
Dan orang yang mendatangi kaahin, atau ‘arraaf, lalu bertanya kepadanya tanpa membenarkannya, hukumnya adalah diharamkan, sementara hukumannya adalah tidak diterimanya satu shalatpun untuknya selama empat puluh hari.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari Shafiyah Binti ‘Ubaid, dari sebagian istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
«مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima satu shalatpun untuknya selama empat puluh malam.”(1)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, ‘Maknanya adalah bahwa dia tidak mendapatkan pahala di dalam shalat tersebut, sekalipun shalat tersebut sah dengan gugurnya kewajiban darinya. Dan maknanya harus di takwil dengan takwil ini, dikarenakan para ‘ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa mendatangi tukang ramal maka dia tidak harus mengulangi shalat selama empat puluh malam.”(2)
Adapun jika dia mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu dia membenarkan apa yang dia ucapkan, maka sungguh, dia telah berlepas diri atau telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dan termasuk perkara yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٖ
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya…” (QS. al-Jin (72): 26-27)
Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ»
“Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu dia membenarkan apa yang dia ucapkan, maka sungguh dia telah kufur dengan apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.”(3)
(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)
Footnote:
1() HR. Muslim (2230)
2() Syarhu Muslim, an-Nawawi, XIV/227
3() HR. Ahmad (9536), al-Hakim dalam al-Mustadrak (15), Shahiihul Jaami’ (5939)