Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«رَحِمَ اللهُ عَبْدًا قَالَ فَغَنِمَ أَوْ سَكَتَ فَسَلِمَ»
“Semoga Allah merahmati seorang hamba, dia berbicara lalu mendapatkan ghanimah, atau diam lalu dia selamat.” ([1])
Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«رَحِمَ اللهُ امْرَءًا تَكَلَّمَ فَغَنِمَ أَوْ سَكَتَ فَسَلِمَ»
“Semoga Allah merahmati seseorang, dia bertutur kata lalu mendapatkan ghanimah, atau dia diam lalu selamat.” ([2])
Ucapan adalah satu nikmat, dan anugerah rabbaaniy, Allah azza wa jalla telah menganugerahkannya kepada manusia.
Allah azza wa jalla berfirman di dalam surat ar-Rahman:
الرَّحْمَٰنُ (١) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (٢) خَلَقَ الْإِنسَانَ (٣) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (٤)
“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar-Rahmaan: 1-4)
Akan tetapi setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban dengan apapun yang dia ucapkan; Allah azza wa jalla berfirman:
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (١٨)
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 18)
Maka seluruh perkataan itu nanti akan dimintai pertanggung jawaban, dan [lisan adalah bagian dari nikmat-nikmat Allah yang agung, kelembutan ciptaan-Nya yang ajaib; maka sesungguhnya lisan itu kecil bentuknya, namun besar ketaatan dan kejahatannya; dimana kekufuran dan keimanan tidak akan menjadi jelas kecuali dengan persaksian lisan; dan keduanya adalah puncak dari ketaatan dan kemaksiatan. Kemudian sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang ada, atau sesuatu yang tidak ada yang mencipta, atau makhluk yang dikhayalkan, atau sesuatu yang diketahui yang disangkakan, atau yang diimajinasikan melainkan lisan menjangkaunya dan mengeksposnya dengan menetapkan atau menafikannya. Maka sesungguhnya segala perkara yang bisa dijangkau oleh ilmu akan diungkapkan oleh lisan; bisa dengan kebenaran atau dengan kebatilan. Dan tidak ada sesuatupun melainkan ilmu menjangkaunya. Dan ini adalah kekhususan yang tidak ditemukan pada keseluruhan anggota badan.
Maka sesungguhnya mata tidak akan sampai kepada selain warna dan rupa; telinga tidak akan sampai kepada selain suara, tangan tidak akan sampai kepada selain jasad, dan demikianlah keseluruhan anggota badan. Sementara lisan adalah sesuatu yang luas medannya; tidak ada penolak baginya, dan tidak ujung serta batasan bagi ruang lingkupnya. Lian memiliki ruang lingkup yang luas dalam kebaikan, dan dia juga memiliki ekor tarikan di dalam keburukan.
Maka barang siapa yang mengeluarkan lidah manis dan mengabaikannya dengan lepas kendali, maka dengannya setan akan mengejarnya di segala bidang dan menggiringnya ke tepi jurang hingga memaksanya menuju kebinasaan. Dan tidaklah menyeret manusia di dalam Neraka di atas hidung-hidung mereka melainkan buah dari lisan-lisan mereka.
Dan tidak akan selamat dari keburukan lisan kecuali orang yang mengikat lisannya dengan tali kendali syari’at. Maka dia tidak akan melepaskannya kecuali dalam perkara yang memberikan manfaat kepadanya di dunia dan di akhirat; dan dia akan menahannya dari segala perkara yang dikhawatirkan malapetakanya di kehidupan dunianya dan di kehidupan akhiratnya. Dan dia mengetahui bahwa apa yang dipuji dan dicela pada pelepasan lisan adalah samar misterius lagi berat; dan beramal sesuai dengan kandungan yang diketahuinya adalah berat lagi sulit. Dan anggota badan yang paling tidak patuh kepada manusia adalah lisan. Maka sesungguhnya lisan tidak merasa capek dalam melepaskannya, tidak ada beban kesukaran dalam menggerak-gerakkannya. Sementara makhluk bersikap gampangan dalam tindakan pencegahan dari petaka dan bencanyanya, dan bersikap gampangan dalam kehati-hatian dari tempat buruan dan jebakannya.
Dan sesungguhnya lisan adalah seagung-agungnya alat syetan dalam menyesatkan manusia. Dan kami, dengan taufiq Allah, dan dengan bagusnya pengaturan-Nya, kami akan merincikan kumpulan penyakit-penyakit lisan, dan kami akan menyebutkannya satu persatu; maka diantaranya adalah penyakit berbicara dalam perkara yang tidak penting; kemudian penyakit berlebihan dalam berbicara; kemudian penyakit tenggelam dalam pembicaraan kebatilan; kemudian penyakit perbantahan dan perdebatan; kemudian penyakit permusuhan; kemudian penyakit mendalam dalam berbicara dengan memfasih-fasihkan pembicaraan, memaksakan diri dalam bersajak memfasihkannya, serta berlagak padanya, serta kebiasan-kebiasaan lain milik orang-orang sok fasih yang dituntut untuk berkhutbah; kemudian penyakit ucapan keji, cacian dan jijiknya lisan; kemudian penyakit melaknat, bisa kepada hewan, atau benda mati, atau kepada manusia; kemudian penyakit bernyanyi dengan syair -dan kita telah menyebutnya di dalam kita as-Simaa’ Maa Yuhromu Min al-Ghinaa` Wamaa Yuhallu, dan kami tidak akan mengulainginya-; kemudian penyakit gurauan; kemudian penyakit pengolok-olokan dan pengejekan; kemudian penyakit menyebarkan rahasia; kemudian penyakit janji palsu; kemudian penyakit berdusta di dalam berbicara dan bersumpan; kemudian penyakit inkonsistensi dalam berdusta; kemudian penyakit ghibah; kemudian penyakit namiimah, kemudian penyakit orang yang memiliki dua lisan yang tidak berketetapan hati di antara dua orang yang saling bermusuhan, lalu dia berbicara kepada masing-masing dengan pembicaraan yang mensepakatinya; kemudian penyakit pujian; kemudian penyakit kelalaian dari tipisnya kesalahan dalam inti sari pembicaraan, terutama dalam berkara yang berkaitan dengan Allah, dan sifat-sifat-Nya dan yang terikat dengan ushul (pangkal, pokok) agama. Dan kami memohon kepada Allah bagusnya taufik dengan karunia dan kemuliaan-Nya.] ([3])
Al-Munawiy([4]) rahimahullah berkata:
[رَحِمَ اللهُ امْرَءًا تَكَلَّمَ فَغَنِمَ] “Semoga Allah merahmati seseorang yang berbicara lalu dia mendapatkan ghanimah” dengan sebab ucapan baiknya [أَوْ سَكَتَ] “atau dia diam” dari apa yang tidak ada kebaikan padanya [فَسَلِمَ] “lalu dia selamat” dengan sebab diamnya dari perkara yang demikian, dan dia faham dengan yang demikian bahwa ucapan yang baik adalah lebih baik daripada diam dikarenakan ucapan baik akan memberikan manfaat kepada orang yang mendengarkannya sementara diam tidak akan menganiaya pemiliknya. Dan hadits ini dinilai oleh al-‘Askariy dan selainnya termasuk bagian dari teladan-teladan.
Al-Marwadiy berkata, “Dengannya beliau memberikan isyarat bahwa ucapan adalah penerjemah yang akan mengungkapkan isi kandungan dari hati nurani, dan akan memberitakan simpanan-simpanan rahasia yang tidak mungkin bisa memulihkan kembali gejala-gejalanya, dan tidak kuasa untuk menolak penyimpangan-penyimpangannya; maka wajib bagi orang yang berakal untuk berhati-hati dari ketergelincirannya dengan menahan dari bertutur kata, atau mempersedikitkannya.
Aliy radhiyallaahu ‘anhu berkata:
اللِّسَانُ مِعْيَارُ إِطَاشَةِ الْجَهْلِ وَأَرْجَحَهُ الْعَقْلُ
“Lisan adalah ukuran bagi ringannya kebodohan, dan akallah yang memberatkannya.”
(30 Sababan Li Tunaala Rahmatullaahi Ta’aalaa, Abu Abdirrahman Sulthan ‘Aliy, alih bahasa Muhammad Syahri)
________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Abu As-Syaikh dari Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu; as-Syaikh al-Albaniy berkata, ‘Hasan.’ Lihat hadits no. 3497 dalam Shahiih al-Jaami’ dan as-Silsilah as-Shahiihah no. 855.
([2]) HR. al-Baihaqiy dari Anas dan al-Hasan secara mursal. As-Syaikh al-Albaniy berkata, ‘Hasan.’ Lihat hadits no. 3492 dalam Shahiih al-Jaami’.
([3]) Ghazaliy, Ihyaa`u ‘Uluumiddiin (II/309) dengan penyesuaian.
([4]) Faidhu al-Qadiir (IV/24) dengan penyesuaian.