Dan sempurnanya kekhusyu’an ini ada beberapa perkara. Sebagiannya berada dalam shalat itu sendiri, dan sebagiannya lagi berada di luar shalat. Di antaranya;
1. Mengingat Mati
Dari Anas radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
«اذْكُرِ الْمَوْتَ فِي صَلاتِكَ، فَإِنَّ الرَّجُلَ إذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِي صَلَاتِهِ، لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلَاتَهُ، وَصَلِّ صَلَاةَ رَجُلٍ لَا يَظُنُّ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةً غَيْرَهَا، وَإِيَّاكَ وَكُلَّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ»
“Ingatlah kematian dalam shalat kalian, karena sesungguhnya seorang laki-laki yang mengingat mati dalam shalat, maka tentu pantas baginya untuk memperbaiki shalatnya. Dan shalatlah (seperti) shalatnya seorang laki-laki yang tidak beranggapan dia akan shalat lagi selain shalatnya (tersebut), dan berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang dijadikan alasan darinya.” ([1])
Sungguh, Rasulullah ﷺ benar-benar memerintahkan seorang muslim untuk mengingat mati di dalam shalatnya. Mengingat mati adalah sebab memperbaiki shalat, karena kematian memiliki rasa takut dalam jiwa. Dengannya penghabisan seluruh amal, dan apa yang sesudahnya jauh lebih menakutkan. Maka di manakah tempat berlari menghindar dari himpitan kubur? Dan apa jawaban kita tatkala kita ditanya di dalam kubur? Kemudian sesungguhnya kita tidak mengetahui tempat kembali kita, apakah menuju Sorga yang luasnya seluas langit dan bumi, ataukah menuju Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu?
Dan demikian seterusnya. Seseorang akan mendatangkan gambar demi gambar dalam kematian dan apa yang akan terjadi sesudahnya. Maka kemudian dia shalat (seperti) shalatnya seseorang yang tidak beranggapan akan shalat (lagi) selain shalatnya (tersebut). Lalu dia memperbaiki shalatnya, bertaubat dengan jujur, menghitung dirinya berada di antara orang-orang yang mati, mempersiapkan kain kafan, menulis wasiat, dan mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya. Maka jika datang pagi hari, dia tidak akan menunggu sore hari, dan jika di waktu sore tidak akan menunggu esok pagi.
Demikian seterusnya. Dia datang unntuk menunaikan shalat dengan khusyu’ dan menangis, antara takut (adzab Allah) dan berharap (rahmat Allah), menjemput akhirat dan berpamitan dengan dunia. Sesungguhnya shalat tersebut adalah shalat perpisahan dan perpisahan shalat. Maka dengannya dia berpamitan kepada keluarga, kedua orang tua, saudara-saudara, orang-orang yang dicintai, kaum kerabat, bahkan kepada seluruh dunia.
Di situlah dia berkata Allaahu Akbar (Allah Maha Besar). Sesungguhnya Dia adalah Maha Besar atas segala sesuatu, dan Dia membuat kecil kehidupan dunia ini. Kemudian di sanalah dia berdo’a dengan doa istiftah. Maka tatkala dia berkata,
اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Ya Allah, jauhkanlah (jarak) antara aku dengan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara Timur dan Barat.”
Dia menghadirkan (dalam shalatnya) jauhnya jarak antara Timur dan Barat, kemudian dia menghadirkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosanya yang telah memberatkan punggungnya. Dia takut untuk bertemu dengan Allah ﷻ dalam kondisi demikian, dan takut diwafatkan dengan kematian tanpa taubat. Hingga kemudian dia berdo’a dengan do’a ini dalam keadaan yakin akan dikabulkan. Demikianlah. Dia merenungi makna segala sesuatu dalam shalatnya, menghadirkan keagungan Allah ﷻ dalam hatinya, dengan cucuran air mata dan tangis, karena Sorga dan Neraka telah ditampakkan kepadanya lebih dekat dari tali sandalnya. Dia mengamalkan sabda Rasulullah ﷺ,
«صَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ كُنْتَ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“Shalatlah (seperti) shalatnya orang yang hendak berpamitan, seakan-akan engkau melihat-Nya. Maka jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” ([2])
Untuk menegakkan urusan shalat, maka harus menghadirkan perasaan senantiasa diawasi oleh Allah ﷻ. Kita harus meletakkan dunia di balik punggung kita. Maka bagaimana jika seseorang mengetahui bahwa ucapannya itu di dengar dan ucapannya tersebut akan sampai kepada seorang pemimpin, tidak bisa tidak, maka apa yang akan dia katakan? Bagaimana dia berbicara? Bukankah dia akan menghiasi huruf dan perkataannya?
Maka bagaimana pula dengan seseorang yang berdiri di hadapan Dzat Yang Maha Mendengar, Maha Melihat, lagi Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya?
Sungguh, Rasulullah ﷺ shalat, sementara di dada beliau ada gemuruh seperti gemuruhnya periuk yang airnya mendidih karena memuliakan Allah dan mengagungkan-Nya ﷻ.
Dari ‘Abdullah bin as-Syikhkhiir radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُصَلِّي بِنَا، وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الْمِرْجَلِ مِنَ الْبُكَاءِ»
“Aku telah melihat Rasulullah ﷺ shalat dengan kami, sementara di dalam dada beliau ada gemuruh (suara tangisan) seperti gemuruhnya periuk yang mendidih airnya karena tangisan.” ([3])
Sungguh, tangisan ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu terdengar dari barisan terkahir sebagaimana terdapat dalam Shahiih al-Bukhari. Hal tersebut berdasarkan riwayat ‘Abdullah bin Syaddad. Dia berkata,
سَمِعْتُ نَشِيجَ عُمَرَ، وَأَنَا فِي آخِرِ الصُّفُوفِ يَقْرَأُ: {إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ} [يوسف: 86]
‘Aku mendengar tangisan ‘Umar sementara aku berada di barisan paling akhir. ‘Umar membaca, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf (12): 86)
Adapun Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu, maka sesungguhnya dia tidak memperdengarkan bacaannya di dalam shalat kepada manusia karena menangis. Sebagaimana ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha telah mengabarkan hal tersebut. Dia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda ketika beliau dalam kondisi sakit,
«مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ»
“Perintahkanlah Abu Bakar untuk (memimpin) shalat bersama manusia.”
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, ‘Maka aku berkata, ‘Sesungguhnya jika Abu Bakar menggantikan Anda sebagai imam, maka dia tidak akan memperdengarkan bacaannya karena menangis. Perintahkanlah ‘Umar agar shalat (memimpin manusia).” Maka beliau ﷺ bersabda,
« مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ»
“Perintahkanlah Abu Bakar untuk (memimpin) shalat bagi manusia.”
Maka berkatalah ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, kepada Hafshah radhiyallaahu ‘anha, “Katakanlah kepada beliau, ‘Sesungguhnya jika Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu menggantikan Anda sebagai imam, maka dia tidak akam memperdengarkan bacaannya karena mennagis. Maka perintahkanlah ‘Umar agar shalat (memimpin) manusia.” Hafshah radhiyallaahu ‘anha pun melakukannya.
Rasulullah ﷺ bersabda,
«مَهْ إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ، مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ»
“Mah! Sesungguhnya kalian itu benar-benar (seperti) para wanita (di sekitar)) Yusuf([4]). Perintahkanlah Abu Bakar untuk shalat memimpin manusia.”
Berkatalah Hafshah radhiyallaahu ‘anha kepada ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ‘Tidaklah aku tertimpa kebaikan karenamu.” ([5])
Dan di dalam riwayat lain,
إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ
‘Sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang mudah bersedih. Jika dia berdiri di tempat Anda (menggantikan imam shalat), maka dia tidak akan mampu untuk shalat dengan manusia (karena banyak menangis).” ([6])
(bersambung)
(Dialih bahasakan oleh Muhammad Syahri dari kitab as-Shalaat Wa Atsaruhaa Fi Ziyaadatil Iimaan Wa Tahdziibin Nafsi, Syaikh Husain al-‘Awayisyah)
_____________________
Footnote:
([1]) Dihasankan oleh guru kami Syaikh al-Albaniy rahimahullaah dalam Shahih al-Jami’ (862)
([2]) Shahiih al-Jaami’ (3670)
([3]) HR. Abu Dawud, an-Nasa-iy dan at-Tirmidzi dalam al-Syamaa-il. Al-Hafizh (Ibnu Hajar) rahimahullaah berkata dalam Fathul Baariy, ‘Sanadnya kuat, dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim.”
([4]) al-Hafizh berkata di dalam Fathul Baariy, ‘Dan segi perumpamaan keduanya dalam hal tersebut, bahwa Zulaikha mengundang para wanita (terhormat) dan memuliakan mereka dengan menjamu mereka. Sementara ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha menampakkan bahwa sebab keinginannya untuk memalingkan kepemimpinan dari bapaknya, karena Abu Bakar tidak bisa memperdengarkan suara bacaannya kepada makmum sebab tangisannya. Dan keinginannya lebih dari itu, yaitu agar manusia tidak merasa sial dengannya.
Imam al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah telah meriwayatkan dalam Fathul Bariy, Kitab Peperangan-Peperangan dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, bahwa dia berkata, ‘Sungguh aku telah memberikan pertimbangan kepada Rasulullah ﷺ dalam masalah tersebut, dan tidak ada yang membawaku untuk banyak memberikan pertimbangan kepada beliau, kecuali bahwa tidak terbersit dalam hatiku kalau manusia akan mencintai seseorang setelah beliau yang berdiri di tempat beliau selamanya. Dan tidak pula aku beranggapan bahwa tidak akan ada seorangpun yang berdiri di tempat beliau, kecuali manusia itu akan merasa sial dengannya. Maka aku menginginkan agar Rasulullah ﷺ mejauhkan hal tersebut dari Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu. Juga ada dalam Shahiih Muslim, Bab Penggantian Imam Jika Datang Udzur Untuknya, Kitab Shalat.
([5]) Shahiih al-Bukhari, Bab Jika Imam Menangis Di Dalam Shalat
([6]) Shahiih al-Bukhari, Bab Batasan Orang Sakit Untuk Mengikuti Shalat Berjama’ah. Kata al-asiif berwazan fa’iil yang bermakna faa-‘il dari kata al-asfu, yaitu beratnya kesedihan. Maksudnya, dia adalah seorang laki-laki yang sangat lembut hatinya. Fathul Baariy.