Termasuk diantara perkara yang tidak diragukan lagi adalah bahwa gangguan jin terhadap manusia, yaitu yang dikenal dengan kesurupan adalah perkara yang valid, lagi disaksikan, dan tidak ada yang menentangnya melainkan orang yang sombong, lagi penentang.
Dalil yang menunjukkannya adalah firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيطَٰنُ مِنَ ٱلمَسِّۚ
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba([1]) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila([2]).” (QS. al-Baqarah (2): 275)
Imam al-Qurthubiy rahimahullah berkata di dalam penafsiran ayat ini (III/355), ‘Di dalam ayat ini terdapat dalil rusaknya orang yang mengingkari “kesurupan” dari sisi jin, dan mengeklaim bahwa itu adalah termasuk faktor alam (kejiwaan), dan bahwa syetan tidak bisa berjalan pada tubuh manusia, dan tidak ada “kesurupan” darinya.” Selesai.
Dan silahkan merujuk juga kepada Tafsir at-Thabariy, Ibnu Katsir, dan al-Aluusiy pada ayat ini, agar Anda bisa mengetahui hakikat dari ucapan ini.
Dan telah shahih di dalam al-Bukhari dan Muslim dari ‘Atha` bin Abi Rabah, dia berkata,
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: أَلاَ أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ؟ قُلْتُ: بَلَى، قَالَ: هَذِهِ المَرْأَةُ السَّوْدَاءُ، أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللهَ لِي، قَالَ: «إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُعَافِيَكِ» فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا
“Ibnu ‘Abbas pernah berkata kepadaku, ‘Maukah Engkau kuberitahu tentang seorang wanita dari penghuni sorga?’ kukatakan, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Wanita hitam ini, dulu dia pernah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku terkena ayan (karena gangguan jin), dan sesungguhnya aku (jika penyakit itu datang) aku akan tersingkap (auratku). Maka berdo’alah kepada Allah untukku.’ Maka beliau bersabda, ‘Jika Engkau mau, Engkau bersabar, dan bagimu sorga (sebagai balasannya), dan jika Engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar menyembuhkanmu.’ Maka dia berkata, ‘Aku bersabar.’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya aku (jika penyakit itu datang) akan menyingkap aurat, maka berdo’alah kepada Allah untukku, agar aku (jika penyakit itu datang) tidak menyingkap aurat.’ Maka beliaupun berdo’a untuknya.”([3])
Al-Hafizh Ibnu Hajar (X/115) menyebutkan bahwa hadits ini memiliki jalur lain pada riwayat al-Bazzar, dari Ibnu ‘Abbas, dan di dalamnya terdapat keterangan bahwa wanita ini dipanggil dengan Ummu Zufar, dia berkata,
إِنِّيْ أَخَافُ الْخَبِيْثَ أَنْ يُجَرِّدَنِيْ
“Sesungguhnya aku khawatir syetan laki-laki akan menelanjangiku.”
Lalu al-Hafizh berkata, ‘Sesungguhnya yang ada pada Ummu Zufar adalah dari ayan yang diakibatkan oleh gangguan jin.
Telah shahih di dalam Musnad Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau telah masuk ke dalam shalat beliau membaca (setelah bertakbir dan membaca iftitah-pent),
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (godaan) syetan yang terkutuk, dari hamznya, nafkhnya, dan nafstnya.”
Hamznya, yaitu ketidak sadaran, satu jenis dari penyakit gila dan ayan yang menimpa manusia. Jika dia sadar, maka akalnyapun kembali kepadanya, sebagaimana orang tidur, dan mabuk. (Lisaanul ‘Arab (VI/3296))
Nafts, adalah syi’ir.
Nafkh, adalah kesombongan.
Ibnu Katsir berkata di dalam al-Bidayah wa an-Nihaayah (I/61), ‘Hamz adalah satu jenis dari penyakit gila, yaitu kesurupan (jin).’ Selesai.
Demikian juga, telah datang keterangannya di dalam Risaalah al-Jinn hal. 6, dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dia berkata, ‘Aku pernah berkata kepada bapakku, ‘Suatu kaum-kaum, mereka mengeklaim bahwa jin tidak bisa memasuki badan manusia.’ Maka dia berkata, ‘Wahai putraku, mereka dusta, jin itulah yang tengah berbicara melalui lisannya.’
Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dia berkata, sebagaimana disebutkan di dalam Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah hal. 84, ‘Keberadaan jin telah valid dengan al-Qur`an, sunnah, dan kesepakatan para salaf umat ini. Demikian juga masuknya jin ke dalam badan manusia, juga telah valid dengan kesepakatan para imam sunnah. Ia adalah perkara yang bisa disaksikan, dan dirasakan oleh orang yang mentadabburinya. Ia bisa masuk kedalam orang yang kesurupan, lalu berbicara dengan pembicaraan yang tidak dia ketahui, bahkan dia tidak tahu menahu terhadapnya. Bahkan dia bisa disiksa dengan satu pukulan yang seandainya seekor onta memukulnya maka pastilah dia akan mati, sementara orang yang kesurupan tidak merasakannya.’
Dan firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيطَٰنُ مِنَ ٱلمَسِّۚ
“… orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. al-Baqarah (2): 275)
Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Sesungguhnya syetan mengalir pada tubuh manusia pada tempat aliran darah.”([4])
Dan yang lainnya membenarkannya.” Selesai.
Kesimpulan dari apa yang telah berlalu, adalah bahwa kesurupan karena gangguan jin adalah valid dengan al-Qur`an, sunnah, dan ucapan para imam.
Dan bahwa sebabnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, ‘Mayoritas pasien penyakit karena roh-roh jahat adalah dari sisi sedikitnya agama mereka, rapuhnya hati mereka serta lisan mereka dari dzikir dan penjagaan nabawiy serta keimanan. Maka roh jahatpun mampu menjatuhkan laki-laki terkucil yang tak bersenjata tersebut.” Selesai.
Realitanya, sesungguhnya kita akan menemukan orang yang terkena penyakit kesurupan sebagai buah jauh dari Allah, serta lancang berani melanggar dosa-dosa. Namun, betapa cepatnya mereka mengupayakan pengobatan kepada cara-cara syetan, dan bukan melalui petunjuk sebaik-baik makhluk shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan diantaranya adalah melakukan zaar untuk mengeluarkan jin.
Zaar tiada lain adalah suatu ritual peribadatan paganisme yang sangat kuno di Afrika. Dilakukan diatas pemutaran musik-musik keras yang kadang terus berlangsung berjam-jam, dan dengan gerakan-gerakan histeris, dan tarian-tarian oleh si sakit, baik laki-laki maupun perempuan. Teman-teman dan orang-orang dekatnya akan menyertai pasien laki-laki dan perempuan tersebut, bersamaan dengan membumbungnya bau bukhur, menghadirkan jago mereka, atau menyembelih kambing putih, si sakit meminum darahnya serta mengempaskan diri di atas tanah setelah tarian.
Orang yang memperhatikan keadaan ini akan mendapati bahwa di dalamnya terdapat banyak sekali makna, diantaranya
Ia sangat jauh dari manhaj Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, dari jalan yang shahih untuk untuk mengobati penyakit semisal ini.
Di dalamnya terdapat tabdziir dan israaf.
Di dalamnya terdapat ikhthilath (campur baur) antara kaum laki-laki dan perempuan.
Penggunaan alat-alat musik, penyembelihan burung dan hewan-hewan, yang kadang disembelih diatas nama selain Allah, maka jadilah sembelihan itu adalah untuk jin sebagai bentuk taqarrub kepada selain Allah. Dan ini termasuk kesyirikan. Dan sungguh telah dikatakan pada masa lalu
ثَلاَثَةٌ تَشْقَي بِهِمُ الدَّارُ الْعَرْسُ وَالْمأتَمُ ثُمَّ الزَّارُ
Ada tiga perkara yang rumah itu akan menjadi sengsara dengan mereka
Pesta pernikahan, upacara pemakaman, kemudian zaar.
Maka khurafat zaar telah menyebar di dalam rumah-rumah kaum muslimah, maka tidak ada jalan melainkan dengan ruju’ kepada petunjuk Allah dan sunnah nabi kita shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk bebas dari kebodohan ini serta khurafat–khurafat ini yang rumah-rumah kaum muslimin telah penuh dengannya.
Barangkali ada yang bertanya, lalu dia berkata, ‘Sungguh kami telah tahu bahwa zaar adalah termasuk khurafat, akan tetapi apa obatnya?
Maka kami katakan bahwa pengobatan dari kesurupan diringkas sebagai berikut;
Merealisasikan peribadatan hanya untuk Allah ‘azza wa jalla, serta konsisten dengan al-Qur`an dan sunnah.
Memperbanyak ketaatan, dan menjaga wudhu`.
Membaca, dan mendengar surat al-Baqarah, memperbanyak membaca al-Qur`an, serta shalat di rumah (shalat-shalat sunnah untuk kaum laki-laki)
Dzikir-dzikir shabah dan masa`, serta menjaganya.
Menjaga anggota tubuh dari kemaksiatan dan dosa.
Berteman dengan orang-orang baik, dan menjauh dari orang-orang buruk.
Membersihkan rumah dari nyanyian, lonceng, anjing, gambar-gambar, patung-patung, alat-alat musik, serta menjadikan dzikir bagi lisan seperti air ludah bagi mulut.
Memperbanyak isti’adzah (permohonan perlindungan) dari syetan terhadap si sakit, serta meniupnya dengan ayat-ayat dan do’a-do’a syar’iy.
Berdasarkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
«… لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ»
“Tidak mengapa dengan ruqyah, selagi tidak ada kesyirikan di dalamnya.”
Dengan bacaan al-Qur`an, atau dzikir mengingat Allah ‘azza wa jalla, nama-nama-Nya yang baik, serta sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Maka semua ini boleh.
Adapun (bila ruqyah tersebut) adalah dengan kalimat yang tidak difahami, yaitu dengan selain lisan ‘Arab, atau berisi permintaan pertolongan kepada jin atau selainnya, maka tidak boleh.
(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)
([1]) Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. (Keterangan terjemah DEPAG RI)
([2]) Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. (Keterangan terjemah DEPAG RI)
([3]) HR. Al-Bukhari (5652), Muslim (2576)-pent
([4]) HR. Al-Bukhari (2039), Muslim (2175)-pent