Maksiat Perut : Pungutan (Pajak)

 

Berkata al’Allaamah Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawiy rohimahullah:

وَالْمَكْسُ وَالْغَصْبُ وَالسَّرِقَةُ وَكُلُّ مَأْخُوْذٍ بِمُعَامَلَةٍ حَرَّمَهَا الشَّرْعُ.

“Dan pungutan (pajak), ghashab, mencuri dan segala (harta) yang diambil dengan mu’amalah yang diharamkan oleh syari’at.”

Penjelasan ([1]):

Definisi Pajak

 

Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ (Al-Usyr)[[2]] atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga disebut الضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”[[3]]. Atau suatu ketika bisa disebutالْخَرَاجُ  (Al-Kharaj), akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.[[4]]

 

Sedangkan para pemungutnya disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ (Shahibul Maks) atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar).

 

Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah: “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”[[5]]

 

Macam-Macam Pajak

 

Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :

 

  1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhadap tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
  2. Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  4. Pajak Barang dan Jasa
  5. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
  6. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
  7. Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

Adakah pajak bumi/kharaj (الْخَرَاجُ) dalam islam?

 

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam.

 

  1. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja.
  2. Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.

 

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak pada zaman Rasulullah ﷺ tidak pernah diwajibkan atas kaum muslimin, dan pajak hanya diwajibkan atas orang-orang kafir saja.

Hukum Pajak Dan Pemungutnya Menurut Islam

 

Dalam Islam telah dijelaskan keharaman pajak dengan dalil-dalil yang jelas, baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri.

 

Adapun dalil secara umum, semisal firman Allah ,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

 

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa: 29]

 

Dalam ayat diatas Allah ﷻ melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

 

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah ﷺ bersabda,

 

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

 

“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya” ([6])

 

Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

 

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ

 

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka”([7])

 

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti,

 

“Dari Abu Khair ﷻ beliau berkata; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit ﷻ, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

 

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ

 

‘Para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka”([8])

 

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid ﷻ menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah ﷺ bersabda,

 

مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ

 

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi ﷺ menshalatinya, lalu dikuburkan” ([9])

 

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah:

 

فِيهِ أَنَّ الْمَكْسَ مِنْ أَقْبَحِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبِ الْمُوبِقَاتِ وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَاتِ النَّاسِ لَهُ

 

“Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti”([10])

 

Nabi ﷺ bersabda,

 

«تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ نِصْفَ اللَّيْلِ فَيُنَادِي مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَهُ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى؟ هَلْ مِنْ مَكْرُوبٍ فَيُفَرَّجُ عَنْهُ؟ فَلَا يَبْقَى مُسْلِمٌ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ إلَّا اسْتَجَابَ اللهُ U لَهُ إلَّا زَانِيَةً تَسْعَى بِفَرْجِهَا أَوْ عَشَّارًا» . وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ فِي الْكَبِيرِ أَيْضًا: سَمِعْت رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ: «إنَّ اللهَ يَدْنُو مِنْ خَلْقِهِ أَيْ بِرَحْمَتِهِ وُجُودِهِ وَفَضْلِهِ فَيَغْفِرُ لِمَنْ اسْتَغْفَرَ إلَّا لِبَغِيَّةٍ بِفَرْجِهَا أَوْ عَشَّارٍ»

 

“Dibukakan pintu-pintu langit pada separuh malam, maka menyerulah seorang penyeru, ‘Apakah ada orang yang berdo’a lalu dikabulkan do’a untuknya? Adakah yang meminta lalu diberikan permintaannya? Adakah orang yang kesusahan lalu diberikan jalan keluar baginya? Maka tidaklah tersisa seorang muslimpun yang berdo’a dengan suatu do’a melainkan Allah ﷻ akan mengabulkan untuknya (doanya), kecuali seorang wanita pezina yang bekerja dengan kemaluannya, atau ‘asy-syaar (orang yang memungut pajak).’ ([11])

Kesepakatan Ulama Atas Haramnya Pajak

 

Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam rahimahullah:

 

وَاتَّفَقُوا أَنَّ الْمَرَاصِدَ الْمَوْضُوعَةَ لِلْمَغَارِمِ عَلىَ الطُّرُقِ وَعِنْدَ أَبْوَابِ الْمُدُنِ وَمَا يُؤْخَذُ فِي الاَسْوَاقِ مِن الْمُكُوْسِ عَلىَ السِّلَعِ الْمَجْلُوْبَةِ مِنَ الْمَارَّةِ وَالتُّجَّارِ ظُلْمٌ عَظِيمٌ وَحرَامٌ وَفِسْقٌ حَاشَا مَا أَخَذَ عَلىَ حُكْمِ الزَّكَاةِ وَبِاسْمِهَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ حَوْلٍ إِلىَ حَوْلٍ مِمَّا يَتَّجِرُوْنَ بِهِ وَحَاشَا مَا يُؤْخَذُ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ وَأَهْلِ الذِّمَّة مِمَّا يَتَّجِرُوْنَ بِهِ مِنْ عُشُرٍ أَوْ نِصْفِ عُشُرٍ فَاِنَّهُمْ اخْتُلفُوا فِي كُلِّ ذَلِك فَمَنْ مُوجِبُ أَخْذِ كُلِّ ذَلِك وَمَنْ مَانِعٌ مِنْ أَخْذِ شَيْءٍ مِنْهُ اِلاَّ مَا كَانَ فِي عَهْدِ صُلْحِ أَهْلِ الذِّمَّةِ مَذْكُوْرًا مُشْتَرَطًا عَلَيْهِمْ فَقَطْ

 

“Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja” ([12])

Pajak Bukan Zakat

 

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata,

 

أَنَّ الْعُشْرَ الَّذِي كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ رَفَعَهُ عَنِ الْمُسْلِمِينَ، هُوَ الْعَشْرُ الَّذِي كَانَ يُؤْخَذُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَهُوَ خِلَافُ الزَّكَاةِ، وَكَانُوا يُسَمُّونَهُ الْمَكْسَ

 

bahwa Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah ﷺ atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan: “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat, dan dulu mereka memberinya nama al-Maks.”([13])

 

Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.

 

  1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai nishabnya([14]). Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
  2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan kepada orang kafir([15]) karena orang kafir tidak akan menjadi suci malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin
  3. Yang dihapus oleh Rasulullah ﷺ tentang penarikan sepersepuluh dari harta manusia adalah pajak yang biasa ditarik oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, maka ia bukanlah pajak, karena zakat termasuk bagian dari harta yang wajib ditarik oleh imam/pemimpin dan dikembalikan/diberikan kepada orang-orang yang berhak.([16])
  4. Zakat adalah salah satu bentuk syari’at Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ, Sedangkan pajak merupakan sunnahnya orang-orang jahiliyah yang asal-usulnya biasa dipungut oleh para raja Arab atau non Arab, dan diantara kebiasaan mereka ialah menarik pajak sepersepuluh dari barang dagangan manusia yang melalui/melewati daerah kekuasannya.([17])

Persaksian Para Salafush Shalih Tentang Pajak

 

  1. Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma pernah ditanya

 

أَكَانَ عُمَرُ يُعَشِّرُ الْمُسْلِمِينَ؟ قَالَ: «لَا»

 

‘Apakah Umar bin Khaththab ﷻ pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak.”([18])

 

  1. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata: “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah ﷻ,

 

وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

 

“…Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [Hud: 85]

 

Kemudian beliau melanjutkan: “Maka barangsiapa yang menyerahkan zakatnya (kepada kita), terimalah ia, dan barangsiapa yang tidak menunaikannya, maka cukuplah Allah yang akan membuat perhitungan dengannya”([19])

 

  1. Imam Ahmad rahimahullah juga mengharamkan pungutan pajak dari kaum muslimin, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Jami’ul Ulum wal Hikam.([20])
  2. Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata dalam kitabnya Ahkamul Qur’an (4/366): “Yang ditiadakan/dihapus oleh Rasulullah ﷺ dari pungutan sepersepuluh adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah. Adapun zakat, sesungguhnya ia bukanlah pajak. Zakat termasuk bagian dari harta yang wajib (untuk dikeluarkan) diambil oleh imam/pemimpin (dikembalikan untuk orang-orang yang berhak)”
  3. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/61) :” Yang dimaksud dengan sebutan (صَاحِبُ الْمَكْسِ) Shahibul Maks, adalah mereka yang biasa memungut pajak dari para pedagang yang berlalu di wilayah mereka dengan memberi nama Al-Usyr (الْعَشَّارُ). Adapun para petugas yang bertugas mengumpulkan shadaqah-shadaqah atau yang bertugas memungut upeti dari para ahli dzimmah atau yang telah mempunyai perjanjian (dengan pemerintah Islam), maka hal ini memang ada dalam syari’at Islam selama mereka tidak melampaui batas dalam hal itu. Apabila mereka melampaui batas maka mereka juga berdosa dan berbuat zhalim. Wallahu a’lam.
  4. Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Nailul Authar (4/279) mengatakan: “Kata Shahibul Maks (صَاحِبُ الْمَكْسِ) adalah para pemungut pajak dari manusia tanpa haq”.
  5. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan: “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.

Pemerintah Berhak Atas Rakyatnya

 

Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281); “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat kepada fakir-miskin..”

 

Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah ﷻ,

 

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ

 

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [QS. Al-Isra: 26]

 

Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa; 36, Muhammad: 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa: “Siapa yang tidak mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah”([21]), semuanya menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan dikasihi oleh Allah: ([22])

Bagaimana sikap kaum muslimin terhadap pajak?

 

Setelah jelas bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata, timbul pertanyaan: “Apakah seorang muslim menolak dan menghindar dari praktek pajak yang sedang berjalan atau sebaliknya?”

 

Jawabnya:

 

Setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan. Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan.

 

Rasulullah ﷺ menerangkan kepada para sahabatnya radhiyallaahu ‘anhum dalam hadits ‘Auf bin Malik ﷻ,

 

«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ»، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: «لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ، فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ، وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ»

 

‘Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan merekapun mencintai kalian, yang mereka mendoakan kalian, dan kalianpun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka, dan merekapun membenci kalian, dan yang kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian.’ Kemudian dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami melawan/memberontak mereka dengan pedang?”. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab; “Tidak boleh! Selagi mereka masih mendirikan shalat ditengah kalian, dan jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya, dan jangan kalian mencabut tangan kalian dari mentaatinya.”([23])

 

Bahkan kezhaliman pemimpin terhadap rakyatnya dalam masalah harta telah dijelaskan oleh Nabi ﷺ bagaimana seharusnya rakyat menyikapinya. Dalam sebuah hadits yang shahih, setelah berwasiat kepada kaum muslimin agar selalu taat kepada Allah, Rasulullah ﷺ berpesan kepada kaum muslimin supaya selalu mendengar dan mentaati pemimpin walaupun seandainya pemimpin itu seorang hamba sahaya (selagi dia muslim).([24])

 

Dijelaskan lagi dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah ﷺ menjelaskan akan datangnya pemimin yang zahlim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman ﷻ bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini. Lalu Rasulullah ﷺ menjawab,

 

اِسْمَعْ وَأطِعْ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ ؤَأَخَذَ مَالَكَ

 

“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu.”([25])

 

Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan: “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).([26])

Diantara Sumber Pemasukan Negara

 

Di antara sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah ﷺ ialah:

 

  1. Zakat, yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah: 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah ﷺ ataupun generasi berikutnya.
  2. Harta warisan yang tidak habis terbagi. Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal. ([27])
  3. Jizyah, adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya.([28])
  4. Ghanimah dan fai’. Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan. Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal: 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. Sedangkan fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr: 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya (juga) melalui mal.
  5. Kharaj, hal ini telah kami jelaskan dalam point: Adakah Pajak Bumi Dalam Islam?”, diatas.
  6. Shadaqah tathawwu, yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama.
  7. Hasil tambang dan semisalnya.

 

Atau dari pemasukan-pemasukan lain yang dapat menopang anggaran kebutuhan pemerintah, selain pemasukan dengan cara kezhaliman semisal badan usaha milik negara.

Penutup

 

Sebelum kami mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya; di antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum: 41]

 

Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.

 

Maka hal ini dapat kita jawab: Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya), mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak, sebagaimana Allah ﷻ berfirman,

 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 

“Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya Kami limpahkan kepada merka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi, tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [QS. Al-A’raf: 96]

 

Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran lain, baik yang nampak atau yang samara.

 

Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah (di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.

 

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A’lam.

 

(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) Bab ini banyak mengambil faidah dari tulisan al-Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali dengan judul Pajak Dalam Islam, Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya’ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat: Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim.

([2]) Lihat Lisanul Arab 9/217-218, Al-Mu’jam Al-Wasith hal. 602, Cet. Al-Maktabah Al-Islamiyyah dan Mukhtar Ash-Shihah hal. 182

([3]) Lihat Lisanul Arab 9/217-218 dan 13/160 Cet Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi 11/202, dan Nailul Authar 4/559 Cet Darul Kitab Al-Arabi

([4]) Lihat Al-Mughni 4/186-203

([5]) Dinukil definisi pajak ini dari buku Nasehat Bijak Tuk Para Pemungut Pajak oleh Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, dan sebagai amanah ilmiah kami katakan bahwa tulisan ini banyak mengambil faedah dari buku tersebut.

([6]) Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir 7662, dan dalam Irwa’al Ghalil 1761 dan 1459.

([7]) HR. Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah: 7, Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullaah dan beliau berkata: “Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”.

([8]) HR. Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930, Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullaah: “Karena telah jelas keabsahan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dari Qutaibah) maka aku tetapkan untuk memindahkan hadits ini dari kitab Dha’if Al-Jami’ah Ash-Shaghir kepada kitab Shahih Al-Jami, dan dari kitab Dha’if At-Targhib kepada kitab Shahih At-Targhib”. Lihat Silsilah Ash-Shahihah jilid 7 bagian ke-2 hal. 1198-1199 oleh Al-Albani. Hadits-hadits yang semakna juga dishahihkan oleh Dr. Rabi Al-Madkhali hafidzahulllah dalam kitabnya, Al-Awashim wal Qawashim hal. 45.

([9]) HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716

([10]) Lihat: Syarah Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi

([11]) Shahih, HR. at-Thabraniy dalam al-Kabir (VIII/7713, 7719), as-Shahihah (1073)

([12]) Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.

([13]) Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini

([14]) Lihat At-Taubah : 60

([15]) Lihat Al-Mughni 4/200

([16]) Asal perkataan ini diucapkan oleh Al-Jashshah dalam Ahkamul Qur’an 4/366

([17]) Lihat Al-Amwal oleh Abu Ubaid Al-Qasim

([18]) Syarh Ma’anil Atsar 2/31

([19]) Ahkam Ahli Dzimmah 1/331

([20]) Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157

([21]) HR Muslim (66)

([22]) Asal perkataan ini dinukil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullaah, dengan penyesuaian. (Lihat. Al-Muhalla bil-Atsar dengan tahqiq Dr Abdul Ghaffar Sulaiman Al-Bandari 4/281-282

([23]) HR Muslim (1855) dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallaahu ‘anhu

([24]) Hadits no. 28 dalam kitab Al-Arbaun An-Nawawi diriwayatkan oleh Abu Dawud (2676), dan Ahmad 4/126.

([25]) HR Muslim kitab Al-Imarah (1847)

([26]) Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qadhaayaa Al-Ashriyyah halaman.93

([27]) Lihat Al-Khulashah Fi Ilmi Al-Fara’idh hal. 375-385

([28]) Lihat Lisan Al-Arab 2/280/281 cetakan Dar Ihya At-Turots

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *