Maksiat Perut: Memakan Harta Anak Yatim

 

Memakan Harta Anak Yatim([1])

وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ أَوْ الْأَوْقَافِ عَلىَ خِلاَفِ مَا شَرَّطَ الْوَاقِفِ وَالْمَأْخُوْذُ بِوَجْهِ الْحَيَاءِ.

“Dan memakan harta anak yatim, atau memakan harta waqaf dengan cara yang menyelesihi syarat pewaqaf, dan (apa) yang diambil dengan wajah malu.”

 

Ancaman Bagi yang Memakan Harta Anak Yatim

 

Allah ﷻ berfirman:

 

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا ١٠

 

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. an-Nisa`: 10)

 

Allah ﷻ berfirman:

 

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ

 

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa…” (QS. al an’am 152)

 

Dari Abu Hurairah ﷻ, dari Nabi ﷺ beliau bersabda,

 

«اجْتَنِبُوا السَّبْعَ المُوبِقَاتِ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: «الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ المُحْصَنَاتِ المُؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ»

 

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.’ Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara itu?’ Maka Nabi menjawab, ‘Syirik (mensekutukan) Allah; sihir; membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan yang haq; memakan riba; memakan harta anak yatim; lari dari hari medan peperangan; menuduh (zina) wanita yang menjaga diri, mukmin, lagi lalai dari kemaksiatan.”([2])

 

Dari Abu Hurairah ﷻ, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«أَرْبَعٌ حَقَّ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُدْخِلَهُمُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُذِيقُهُمْ نَعِيمًا: مُدْمِنُ خَمْرٍ، وَآكِلُ رَبًا، وَآكِلُ مَالِ الْيَتِيمِ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَالْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ»

 

“Ada empat (golongan orang) berhak atas Allah untuk tidak memasukkan mereka ke dalam sorga, dan tidak merasakan kepada mereka sebuah nikmat; pecandu khomer; pemakan riba, pemakan harta anak yatim tanpa hak dan orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.” ([3])

 

Disebutkan di dalam sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudriy ﷻ, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang mi’raj,

 

فَإِذَا أَنَا بِرِجَالٍ وَقَدْ وُكِلَ بِهِمْ رِجَالٌ يَفُكُّوْنَ لِحَاهُمْ وَآخَرُوْنَ يَجِيْئُوْنَ بِالصُّخُوْرِ مِنَ النَّارِ فَيَقْذِفُوْنَهَا بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَخْرُجُ مِنْ أَدْبَارِهِمْ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلَاءِ قَالَ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا

“Maka tiba-tiba aku mendapati kaum laki-laki yang ditugaskan dengan mereka kaum laki-laki (lain) yang membuka rahang-rahang mereka, kemudian (laki-laki) yang lain datang dengan membawa bebatuan cadas dari api (neraka) lalu memasukkannya ke mulut-mulut mereka, kemudian keluar dari dubur-dubur mereka.’ Maka akupun bertanya, ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ Dia menjawab, ‘Orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.’ ([4])

 

Diriwayatkan juga di dalam sebuah riwayat dari Abu Barzah ﷻ, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«يَبْعَثُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ قَوْماً مِنْ قُبُوْرِهِمْ تَخْرُجُ النَّارُ مِنْ بُطُوْنِهِمْ تَأَجَّجَ أَفْوَاهُهُمْ نَارًا» فَقِيْلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ «أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ {إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ}»

 

“Allah ﷻ akan membangkitkan satu kaum dari kuburan mereka. (Sementara) api keluar dari perut-perut mereka (dengan) mulut-mulut mereka menyemburkan api.” Maka dikatakan, ‘Siapakah mereka Wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Bukankah kalian mengetahui bahwa Allah ﷻ telah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya..” ([5])

 

As-Suddiy rahimahullah berkata,

 

يُحْشَرُ آكِلُ مَالِ الْيَتِيمِ ظُلْماً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَهَبُ النَّارِ يَخْرُجُ مِنْ فِيْهِ وَمِنْ مَسَامِعِهِ وَأَنْفِهِ وَعَيْنِهِ كُلُّ مَنْ رَآهُ يَعْرِفُهُ أَنَّهُ آكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ

 

‘Pemakan harta anak yatim dengan zhalim akan dibangkitkan pada hari kiamat sementara jilatan api keluar dari mulutnya, pendengarannya, hidung, dan kedua matanya. Setiap orang yang melihatnya mengetahui bahwa dia pemakan harta anak yatim.’([6])

 

Para ulama berkata, ‘Maka setiap wali bagi anak yatim, jika dia adalah seorang faqir, lalu dia memakan bagian dari harta anak yatim itu dengan ma’ruf, sesuai dengan kadar kepengurusannya atas anak yatim itu dalam segala kemashlahatannya, dan pengembangan hartanya, maka tidak apa-apa. Dan apa yang melebihi perkara yang ma’ruf (dalam penggunaannya) maka itu adalah harta haram, karena firman Allah ﷻ,

 

وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ

 

“Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut…” (QS, an-Nisa`: 6)([7])

 

Imam adz-Dzahabiy rahimahullah berkata, ‘Tentang memakan harta anak yatim dengan cara ma’ruf, terdapat empat pendapat;

 

Pertama, mengambilnya sebagai hutang;

 

Kedua, memakannya sesuai dengan kadar kebutuhan tanpa israf (berlebih-lebihan);

 

Ketiga, mengambilnya dengan ukuran jika dia bekerja untuk si yatim satu pekerjaan;

 

Keempat, mengambilnya pada saat terpaksa, jika dia mendapatkan kemudahan untuk mengembalikan, maka dia mengambalikannya, dan jika dia tidak mendapatkan kemudahan, maka dia pada yang halal. Dan keempat pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam tafsirnya.([8])

 

(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) Materi ini banyak mengambil faidah dari kitab al-Kaba`ir milik al-Imam adz-Dzahabiy, cetakan Dar Ibnu al-Haitsam dengan tahqiq dan takhrij oleh Sayyid ibn Ibrahim al-Huwaithiy rahimahullaah, dan az-Zawajir ‘An Iqtiraafil Kaba`ir, al-Imam Ibnu Hajar al-Haitsamiy, tahqiq Hazim al-Qadhiy, cet Nizar Musthafa al-Baz.

([2]) HR. al-Bukhari (2766), Muslim (145)

([3]) HR. al-Hakim (II/37) dan dia menshahihkannya; al-Baihaqiy dalam Syu’ab (5142), didha’ifkan oleh al-Albaniy dalam Dha’iful Jami’ (748)

([4]) Dha’if Jiddan, HR. Ibnu Jarir dari jalur ‘Abdurrazzaq, dan Ma’mar dari Harun al-‘Abdiy dari Abu Sa’id radhiyallaahu ‘anhu secara marfu’ dengan sanad dha’if jiddan (sangat lemah). Dan bahwa Harun adalah seorang pemalsu hadits dan dituduh dusta. Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabiy dalam al-Kaba`ir dan menisbahkannya kepada Imam Muslim, dan hadits ini sama sekali tidak terdapat di dalam shahih Muslim

([5]) Dha’if, HR. Ibnu Hibban, at-Thabraniy, Abu Ya’la (7440), disebutkan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’ (VII/2), dan dia berkata, ‘Diriwayatkan oeh Abu Ya’la dan at-Thabraniy, dan didalamnya terdapat Ziyad bin al-Mundzir, dan dia adalah seorang pendusta.

([6]) al-Kaba`ir, 70

([7]) al-Kaba`ir, 70

([8]) al-Kaba`ir, 70

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *