وَنَظْرُ الْعَوْرَاتِ فَيَحْرُمُ نَظْرُ الرُّجُلِ إِلىَ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِ الْمَرْأَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ غَيْرِ الْحَلِيْلَةِ. وَيَحْرُمُ عَلَيْهَا كَشْفُ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا بِحَضْرَةِ مَنْ يَحْرُمُ نَظْرُهُ إِلَيْهَا.
“Dan (termasuk maksiat mata adalah) melihat aurat; maka haram pandangan laki-laki kepada satu (bagian) dari tubuh wanita asing selain yang halal (baginya; seperti istri dan budak wanita), dan haram bagi wanita menyingkap sesuatu dari tubuhnya dengan hadirnya orang yang haram melihat kepadanya.”
Batasan Aurat Laki-Laki
Aurat Sesama Lelaki
Aurat sesama lelaki –baik dengan kerabat atau orang lain- adalah mulai dari pusar hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi ﷺ,
فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.”([1])
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat. Mereka berdalil dengan riwayat bahwa Al Hasan bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhuma pernah menampakkan auratnya lalu Abu Hurairah ﷻ menciumnya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ,
الرُّكْبَةُ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Lutut termasuk ‘aurat.”([2]) Namun hadits ini adalah hadits yang dho’if.
Dan apa saja yang boleh dilihat oleh laki-laki sesama lelaki, maka itu boleh disentuh.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa lutut dan pusar bukanlah aurat. Yang termasuk aurat hanyalah daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub Al-Anshari ﷻ, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا فَوْقَ الرُّكْبَتَيْنِ مِنَ الْعَوْرَةِ ، وَمَا أَسْفَلَ السُّرَّةِ وَفَوْقَ الرُّكْبَتَيْنِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Apa saja yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa saja yang di bawah pusar dan di atas lutut adalah aurat.”([3]) Namun riwayat ini dho’if.
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa aurat lelaki sesama lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.
Apakah Benar Paha Termasuk Aurat?
Sebagian ulama memang berpendapat bahwa paha tidak termasuk aurat, artinya boleh ditampakkan. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, pendapat ulama Malikiyah, dan pendapat ulama Zhahiriyah (Ibnu Hazm, cs).([4]) Di antara dalil yang menjadi pendukung adalah berikut ini:
Anas bin Malik ﷻ berkata,
وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللهِ ﷺ ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللهِ ﷺ
“Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi ﷺ. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi ﷺ yang putih.”([5])
Syaikh Abu Malik menyanggah alasan dari Ibnu Hazm dengan hadits di atas, beliau hafizhohullah berkata, “Hadits di atas dimaksudkan bahwa sarung Nabi ﷺ tersingkap dengan sendirinya, bukan Nabi ﷺ yang menyingkapnya sendiri dan beliau juga tidak menyengajainya. Hal ini didukung dengan riwayat dalam Shahihain yang menyatakan [فَانْحَسَرَ الإِزَارُ], artinya sarung tersebut tersingkap dengan sendirinya.”([6])
Dalil lain yang menjadi pendukung pendapat ini adalah,
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ …
(‘Aisyah berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah ﷺ sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau ….”
Syaikh Abu Malik menyanggah pendapat yang berdalil bahwa paha bukan termasuk aurat berdalil dengan hadits di atas, di mana beliau berkata,
Tidak bisa kita mempertentangkan hadits yang jelas-jelas mengatakan batasan aurat bagi pria dengan hadits-hadits umum yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan semakin penguat lemahnya pendapat ini, yaitu terdapat dalam riwayat Muslim suatu pertentangan, di mana perowi mengatakan paha dan betisnya. Di riwayat lain dikatakan dengan lafazh [كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ], beliau menyingkap paha atau betisnya. Dan betis sama sekali bukanlah aurat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.([7])
Kesimpulannya, yang lebih tepat dan lebih hati-hati dalam masalah ini, paha adalah aurat. Itulah yang lebih rajih (kuat) berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas.
Batasan Aurat Wanita
Allah ﷻ berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka” (QS. an-Nuur (24): 31).
Allah ﷻ juga berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Ahzab (33): 59)
Allah ﷻ juga berfirman:
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ
“dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau berkata,
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah ﷺ dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah ﷺ pun berpaling darinya dan bersabda, “wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haidh (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.”([8])
Berdasarkan dalil-dalil di atas dan dalil-dalil lainnya, ulama berbeda pendapat mengenai batasan aurat bagi wanita. Ulama Hanafi, Maliki dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan ulama Hambali salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk wajah dan telapak tangan, sebagaimana nanti akan dibahas, insyaallah.
Haram bagi kaum laki-laki melihat bagian tubuh wanita bukan mahram
Imam Nawawi al-Bantaniy rahimahullah berkata,
لِأَنَّ النَّظَرَ مَظِنَّةُ الْفِتْنَةِ وَهُوَ مُحَرِّكٌ لِلشَّهْوَةِ فَاللَّائِقُ بِمَحَاسِنِ الشَّرْعِ سَدُّ بَابِ النَّظَرِ وَالْإِعْرَاضُ عَنْ تَفَاصِيْلِ الْأَحْوَالِ مِنَ الشَّهْوَةِ وَالْفِتْنَةِ وَعَدَمِهَا وَالْعَدَالَةِ وَعَدَمِهَا كَمَا تَحْرُمُ الْخَلْوَةُ بِالْأَجْنَبِيَّةِ
“Dikarenakan pandangan adalah tempat persangkaan fitnah, dan pandangan adalah penggerak bagi syahwat. Maka yang layak dengan segala kebaikan-kebaikan syariat adalah menutup segala pintu pandangan dan berpaling dari segala rincian kondisi baik berupa ada tidaknya syahwat dan fitnah, dan dari ada tidaknya keadilan. Sebagaimana diharamkannya berdua-duaan dengan yang bukan mahram.”([9])
وَيَجُوْزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَىٰ جَمِيْعِ بَدَنِ زَوْجَتِهِ لِأَنَّهُ يَجُوْزُ لَهُ الْإِسْتِمْتَاعُ بِهَا
“Dan boleh bagi seorang laki-laki untuk melihat keseluruhan tubuh istrinya, dikarenakan boleh baginya untuk bersenang-senang dengan (menikmati tubuh)nya.” ([10])
Adapun hadits
النَّظَرُ فِي الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ
“Melihat kepada kemaluan itu akan mewariskan kebutaan.” Maka hadits ini maudhu’ (palsu)([11])
Termasuk hadits
«إذَا جَامَعَ الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ فَلَا يَنْظُرْ إلَى فَرْجِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يُورِثُ الْعَمَى»
“Jika seorang laki-laki menggauli istrinya, maka janganlah dia melihat kepada kemaluannya, karena itu akan mewariskan kebutaan.”([12])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan
([2]) HR. Ad Daruquthni 1/506. Dalam hadits ini terdapat Abul Janub dan dia termasuk perowi yang dha’if.
([3]) HR. Al-Baihaqi 2/229 dan Al-Jaami’ Ash-Shaghir 7951. Dalam hadits ini terdapat Sa’id bin Abi Rosyid Al Bashri dan ia termasuk perowi yang dha’if.
([4]) Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah, 3/7.
([5]) HR. Bukhari (371) dan Muslim (1365)
([6]) Shahih Fiqh Sunnah, 3/7.
([7]) Shahih Fiqh Sunnah, 3/8.
([8]) HR. Abu Daud 4140, dalam Al-Irwa [6/203] Al Albani berkata: “hasan dengan keseluruhan jalannya”
([11]) Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam al-Majruuhin (I/202), Ibnu ‘Adiy dalam al-Kamil (II/507), Ibnul Jauziy dalam al-Maudhu’at (II/271)
([12]) Maudhu’, disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam al-Maudhu’at (II/271)