Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:
وَالنَّذْرُ بِقَصْدِ إِحْرَامِ الْوَارِثِ وَتَرْكُ الْوَصِيَّةِ بِدَيْنٍ أَوْ عَيْنٍ لاَ يَعْلَمُهَا غَيْرُهُ
“Dan bernadzar dengan maksud menharamkan (meniadakan warisan bagi) ahli waris, dan meninggalkan wasiat (untuk ditunaikan) dengan (adanya tanggungan) hutang, atau (wasiat terhadap) orang tertentu yang tidak (ada seorangpun) yang mengetahuinya selain dia.”
Yaitu dengan membuat nadzar yang merugikan dan menyakiti ahli waris; misal dengan mengatakan aku bernadzar jika aku mati, maka seluruh rumah dan tanahku ku shadaqahkan. Atau dia membuat wasiat sementara dia masih memiliki hutang. Atau juga dia membuat wasiat yang diberikan kepada seseorang yang tidak dikenali oleh ahli waris dimana hal itu akan memberatkan ahli waris, ditambah lagi jika ahli waris lebih membutuhkan kepada harta warisan tersebut.
Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitsamiy di dalam kitab beliau az-Zawajir ‘An Iqtiraafil Kaba`ir membuat bab Wasiat, Dosa Besar ke-237, al-Idhraar Fil Washiah([1]) menjelaskan;
Allah ﷻ berfirman:
مِن بَعدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَآ أَو دَينٍ غَيرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ ١٢ تِلكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يُطِعِ ٱللهَ وَرَسُولَهُۥ يُدخِلهُ جَنَّٰتٍ تَجرِي مِن تَحتِهَا ٱلأَنهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ وَذَٰلِكَ ٱلفَوزُ ٱلعَظِيمُ ١٣ وَمَن يَعصِ ٱللهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدخِلهُ نَارًا خَٰلِدًا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَابٌ مُّهِينٌ ١٤
“… sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)([2]). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. an-Nisa`: 12-14)
Dari ayat ini, Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma mengambil (kesimpulan) bahwa mendatangkan madharat di dalam wasiat adalah termasuk dosa-dosa besar. Dikarenakan Allah ﷻ mengiringinya dengan ancaman yang keras.
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma telah meriwayatkan yang demikian dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda,
« الْإِضْرَارُ فِي الْوَصِيَّةِ مِنْ الْكَبَائِرِ»
“Mendatangkan madharat di dalam wasiat termasuk dosa besar.”([3])
Kemudian beliau membaca [تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ]. Maka sungguh Rasulullah ﷺ telah menjelaskan dengan terang-terangan bahwa mendatangkan madharat dalam wasiat adalah termasuk dosa-dosa besar. Dan bentuk ayat tersebut menguatkan yang demikian. Dan lebih dari itu sejumlah para imam kami dan selain mereka telah menjelaskan bahwa itu termasuk dosa-dosa besar.
Ibnu ‘Adil berkata dalam tafsirnya, ‘Ketahuilah bahwa mendatangkan madharat di dalam wasiat itu akan terjadi pada beberapa bentuk; diantaranya adalah memberikan wasiat lebih banyak dari sepertiga; atau menetapkan bahwa keseluruhan harta atau sebagiannya diberikan kepada seorang asing (yang dikenal oleh ahli waris); atau menetapkan atas dirinya terhadap suatu hutang yang tidak ada hakikat baginya, demi menolak harta waris dari ahli waris; atau mengakui bahwa hutang miliknya atas si Fulan telah dilunasi; atau menjual sesuatu dengan harga yang murah, dan membeli sesuatu dengan harga yang mahal; semua itu dengan tujuan agar harta waris tidak sampai kepada ahli waris; atau dia memberikan wasiat sepertiga bukan karena wajah Allah, akan tetapi karena tujuan mengurangi harta waris, maka itu semua adalah mendatangkan madharat di dalam wasiat.
‘Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
«لَوْ أَنَّ الرَّجُلَ يَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ سَبْعِينَ سَنَةً وَحَافَ فِي وَصِيَّتِهِ خُتِمَ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ فَيَدْخُلُ النَّارَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ سَبْعِينَ سَنَةً فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ فَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ»
“Seandainya ada seorang laki-laki mengamalkan amal penghuni sorga selama tujuh puluh tahun, lalu dia berbuat aniaya di dalam wasiatnya, maka ditutuplah baginya (akhir kehidupannya) dengan seburuk-buruk amalnya, lalu dia masuk neraka. Dan sesungguhnya ada seseorang benar-benar dia beramal dengan amal penghuni neraka selama tujuh puluh tahun, lalu dia adil di dalam wasiatnya, maka ditutuplah baginya (akhir kehidupannya) dengan sebaik-baik amalnya, lalu dia masuk sorga.”([4])
Nabi ﷺ bersabda,
«مَنْ قَطَعَ مِيرَاثًا فَرَضَهُ اللهُ قَطَعَ اللهُ مِيرَاثَهُ مِنْ الْجَنَّةِ»
“Barangsiapa memotong warisan yang Allah telah wajibkan kepadanya, maka Allah akan memutuskan warisannya dari warisan sorga.”([5])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Az-Zawajir ‘An Iqtiraafil Kabair, Imam Ibu Hajar al-Haitsamiy (II/509-511)
([2]) Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
([3]) HR. ad-Daraquthniy (IV/151), Ibnu Jarir dalam Tafsirnya, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqiy dalan Sunan-Nya (VI/271), an-Nasa`iy dalam at-Tafsir, dari ‘Aliy bin Masyhur dari Dawud bin Abi Hind secara mauquf, demikian juga oleh al-Baihaqiy, dan dia berkata, ‘Dia shahih, dan rafa’nya adalah dha’if.’
([4]) Syaikh Hazim al-Qadhi berkata, ‘Dha’if, HR. Ahmad (II/278), Ibnu Majah (2704).’
([5]) Syaikh Hazim al-Qadhi berkata, ‘Dha’if Jiddan, HR. Ibnu Majah (2703), dengan lafadz, ‘Barangsiapa lari dari warisannya…”, dan di dalam snadnya terdapat ‘Abdurrahiim bin Zaid al-‘Ama, dan dia matruk, dan bapaknya dha’if.’