Maksiat Lisan: Meratapi Mayat

 

Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:

 

وَالنَّدْبُ وَالنِّيَاحَةُ

“Meratapi (mayat) mengeraskan suara (dalam meratap).”

 

Imam Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata, ‘an-Nadb adalah menyebut kebaikan-kebaikan si mayit seakan-akan ia mendengarnya, seperti dikatakan duhai goa perlindungan; duhai gunung naungan, duhai sandaran. Dan niyahah adalah mengangkat suara ratapan.”

 

Rasulullah ﷺ bersabda,

 

أَبْغَضُ الْأَصْوَاتِ إِلىَ اللهِ صَوْتَانِ؛ صَوْتُ نَائِحَةِ مُصِيْبَةٍ؛ وَصَوْتُ مِزْمَارٍ عِنْدَ فَرْحٍ

 

“Suara-suara yang paling dibenci oleh Allah ada dua suara; suara wanita yang meratapi musibah, dan suara seruling disaat bahagia.”

 

Rasulullah ﷺ bersabda,

 

تُجْعَلُ النَّوَائِحُ صَفَّيْنِ فِي النَّارِ؛ صَفًّا عَنْ يَمِيْنِ أَهْلِ النَّارِ وَصَفًّا عَنْ شِمَالِهِمْ، يَنْبَحُوْنَ عَلَيْهِمْ كَمَا تَنْبَحُ الْكِلاَبُ

 

“Wanita-wanita yang meratap akan dijadikan dua barisan di neraka; satu barisan di sisi kanan penghuni neraka; dan satu barisan di sisi kiri mereka. Mereka akan melolong sebagaimana anjing melolong.” Disebutkan oleh as-Samarqandiy dalam al-Jawahir.([1])

 

Ada banyak hadits dengan makna serupa dengan dua hadits diatas, dengan lafazh yang berbeda dari yang disebutkan oleh Imam Nawawi al-Bantaniy rahimahullah, yang semua saling menguatkan, diantaranya adalah;

 

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: أَخَذَ النَّبِيُّ ﷺ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ، فَوَجَدَهُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ، فَأَخَذَهُ النَّبِيُّ ﷺ، فَوَضَعَهُ فِي حِجْرِهِ فَبَكَى، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَتَبْكِي؟ أَوَلَمْ تَكُنْ نَهَيْتَ عَنِ البُكَاءِ؟ قَالَ: ” لَا، وَلَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ، خَمْشِ وُجُوهٍ، وَشَقِّ جُيُوبٍ، وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ “

 

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Nabi ﷺ menggandeng tangan ‘Abdurrahman bin ‘Auf, lalu pergi dengannya menuju putra beliau. Maka beliau mendapati putranya tengah meregang nyawanya. Lalu Nabi ﷺ mengambilnya, kemudian meletakkannya di pangkuan beliau, seraya menangis. Maka berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf kepada beliau, ‘Apakah Anda menangis? Bukankah Anda telah melarang tangisan? Maka beliau ﷺ menjawab, ‘Tidak, akan tetapi aku dilarang dari dua suara dungu lagi fajir; suara pada saat musibah; menampar pipi, dan menyobek baju, serta dengungan syaitan.”([2])

 

Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari ﷻ bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

 

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ ” وَقَالَ: «النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ»

 

“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal.”([3])

 

Rasulullah ﷺ bersabda,

 

” اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ “

 

“Dua hal, jika ada pada manusia, maka akan menyebabkan kekufuran; yaitu; menghina nasab, dan meratapi mayat.”([4])

 

Rasulullah ﷺ juga bersabda,

 

«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ»

 

“Bukan termasuk golonganku, orang yang menampir pipi, merobek pakaian dan memanggil-manggil dengan panggilan jahiliyah.”([5])

 

Nabi ﷺ juga bersabda,

 

«المَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ»

 

“Sesungguhnya seorang mayit, akan disiksa di dalam kuburnya disebabkan ratapan untuknya.”([6])

 

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

 

إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

 

“Sesungguhnya mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya padanya.”([7])

 

Dalam hadits lain dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

 

إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

 

“Sesungguhnya mayit disiksa karena sebagian tangisan keluarganya padanya.”([8])

 

Beberapa pemahaman terhadap dalil-dalil di atas:

 

1- Mayit itu disiksa karena tangisan yang dinilai terlarang (haram) yang dilakukan oleh keluarganya, seperti dengan menampar pipi, merobek saku baju dan serasa menentang (ketentuan) Allah ﷻ. Sedangkan jika tangisannya bukan tangisan haram, maka mayit tidaklah disiksa.

 

2- Jumhur (mayoritas) ulama memaknai bahwa yang dimaksud mendapatkan siksa adalah jika mayit berwasiat agar ia ditangisi setelah mati.

 

3- Yang dimaksud mayit disiksa adalah mayit dijelekkan oleh malaikat.

 

4- Yang dimaksud mendapat siksa adalah jika mayit terlalu sedih sampai melakukan niyahah.

 

5- Yang dipilih Ibnu Hazm, tangisan tersebut dimaksud karena kekuasaan dan kebanggaan si mayit di mana dimanfaatkan bukan dalam jalan ketaatan pada Allah.

 

Yang lebih tepat dalam memahami hal ini, kita pilih pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa mayit itu disiksa karena tangisan keluarganya. Tangisan yang dimaksud adalah tangisan yang haram. Dan pemahaman seperti ini tidaklah bertentangan dengan ayat yang disebutkan di awal yang menunjukkan asalnya mayit itu tidak disiksa.([9])

 

(Diambil dari buku Kumpulan Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) al-Mirqah, 71

([2]) at-Tirmidzi (1005), dihasankan oleh al-Albaniy, lihat Shahiih al-Jaami’ (5194), as-Shahiihah (2157), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (6/2)

([3]) HR. Muslim (934)

([4]) HR. Muslim (67)

([5]) HR. Al-Bukhari (1297), Muslim (103)

([6]) HR. al-Bukhari (1292), Muslim (927)

([7]) HR. al-Bukhari (1286), Muslim (927)

([8]) HR. Al-Bukhari (1287)

([9]) Ahkamul Janaiz Fiqhu Tajhizul Mayyit ‘ala Tafshilil Madzahib, Kholid Hannu, terbitan Dar Al ‘Alamiyah, cetakan pertama, tahun 1432 H.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *