Berkata al-Állaamah Ábdullah bin Thahir Baálawiy rohimahullah
وَمَطْلُ الْغَنِيِّ
“Dan menunda pembayaran hutang oleh orang yang kaya (mampu membayar hutang).”
Apabila kita mampu untuk segera melunasinya, maka bergegaslah melunasinya.., dan wajib dibayar jika hutang tersebut telah jatuh tempo, Jika tidak maka anda akan berDOSA. Karena,
– Orang yang mampu membayar utang namun menunda-nundanya disebut sebagai pelaku kezaliman;
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ»
“Menunda pembayaran hutang dalam kondisi mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan (hutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya”([1])
– Orang yang sengaja menolak melunasi utang kelak berjumpa dengan Allah sebagai pencuri.
Rasulullah ﷺ bersabda,
«أَيُّمَا رَجُلٍ تَدَيَّنَ دَيْنًا، وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ، لَقِيَ اللهَ سَارِقًا»
“Siapa saja yang berutang dengan niat tidak akan melunasinya, niscaya dia akan bertemu Allah (pada hari Kiamat) dalam keadaan sebagai pencuri”([2])
– Jiwa orang yang berutang dan belum melunasinya tertahan.
Rasulullah ﷺ bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tertahan oleh utangnya hingga utang tersebut terlunasi”([3])
– Rasulullah ﷺ enggan menshalatkan Jenazah orang yang mempunyai utang hingga utangnya dilunasi atau adanya seseorang yang menjamin untuk melunasinya.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّي عَلَى رَجُلٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ، فَأُتِيَ بِمَيِّتٍ، فَسَأَلَ: «هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟» قَالُوا: نَعَمْ، دِينَارَانِ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ» ، فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، فَلَمَّا فَتَحَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، فَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ، وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ»
‘Rasulullah ﷺ biasanya menolak menshalatkan seseorang yang wafat dalam keadaan masih memiliki utang. Suatu ketika dihadirkan ke hadapan beliau mayat seseorang, lalu beliau bertanya, ‘Apakah dia mempunyai utang?’ Para sahabat menjawab, ‘Ya, dua dinar.’ Beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) shalatkanlah saudara kalian ini.’ Maka Abu Qatadah berkata, ‘Wahai Rasulullah, biarlah aku yang menanggung dua dinar itu.’ Maka beliau pun menshalatkannya. Maka tatkala Allah memenangkan Rasul-Nya ﷺ, beliau bersabda, ‘Aku lebih berhak terhadap setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Maka barangsiapa meninggalkan hutang, maka itu menjadi tanggunganku, dan barangsiapa meninggalkan harta, maka ia untuk ahli warisnya.”([4])
– Dosa menanggung (tidak membayar) utang tidak akan diampuni sekalipun pelakunya mati syahid.
Rasulullah ﷺ bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.”([5])
– Amal kebaikan orang yang mempunyai utang akan digunakan untuk melunasi utangnya kelak di akherat.
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa mati dalam keadaan menanggung utang satu Dinar atau satu Dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, karena di sana tidak ada lagi Dinar maupun Dirham.”([6])
Sungguh sangat memprihatinkan sikap sebagian orang yang menganggap remeh kewajiban untuk menunaikan hak orang lain, khususnya dalam masalah utang piutang. Padahal begitu besar ancaman bagi orang yang menyepelekan masalah ini. Karena itu hendaknya orang yang berutang berupaya keras untuk melunasi utangnya dan segera menyelesaikan kewajibannya begitu ada kemampuan untuk itu. Barangsiapa memiliki kesungguhan untuk melunasi utangnya niscaya Allah akan membantunya.
Ibnu Majah dalam sunannya membawakan dalam Bab “Siapa saja yang memiliki hutang dan dia berniat melunasinya.” Lalu beliau membawakan hadits dari Ummul Mukminin Maimunah radhiyallaahu ‘anha
كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى ﷺ يَقُولُ «مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا»
Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku ﷺ bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”([7])
Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.
Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.”([8])
Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar hutang. Ketika dia mampu, dia langsung melunasinya atau melunasi sebagiannya jika dia tidak mampu melunasi seluruhnya. Sikap seperti inilah yang akan menimbulkan hubungan baik antara orang yang berhutang dan yang memberi hutangan.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.”([9])
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.”([10])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) HR. Al-Bukhari (2166, 2167), Muslim (1564)
([2]) HR. Ibnu Majah (2410), Ahmad (18952), lihat Shahiih al-Jaami’ (1/2720), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (1802), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (4/302)
([3]) HR. at-Tirmidzi (1078), Ibnu Majah (2413), Ahmad (9677), Ibnu Hibban (3061), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (28/322)
([4]) HR. Ahmad (14159), Syaikh al-Arnauth rahimahullaah berkata, ‘Sanadnya shahih sesuai syarat Syaikhain.’ Ia ada pada Mushannaf ‘Abduurrazzaq (15257), Ibnu Humaid (1081), Abu Dawud (3343), an-Nasa`iy (4/65-66), Ibnu al-Jaaruud (1111), Ibnu Hibban (3046)
([6]) HR. Ibnu Majah (2414), Ahmad (5385), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (3/150)
([7]) HR. Ibnu Majah (2408). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih kecuali kalimat fid dunya -di dunia-. Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Shahih dengan penguat-penguatnya, kecuali fiddunya.’ (Sunan Ibnu Majah (3/484)
([8]) HR. Ibnu Majah (2409), ad-Darimiy (2637), al-Baihaqiy (10742), al-Hakim (2205), lihat Shahiih al-Jaami’ (1825), as-Shahiihah (1000), lihat juga al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (34/10)
([9]) HR. Bukhari (2260), Muslim (1600), at-Tirmidzi (1317), an-Nasa-iy (4617), Abu Dawud (3346), Ahmad (9379), lihat juga al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (11/407)