Maksiat Lisan: Menceraikan Istri Dengan Talak Bid’ah

Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:

Menceraikan Istri Dengan Talak Bid’ah

وَالطَّلاَقُ الْبِدْعِىُّ.

“Dan Talak Bid’ah.”

 

Dalam hal menalak istri, wajib mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya . Yang disyariatkan dalam menalak istri adalah menalaknya selagi suci yang belum digauli atau menalaknya ketika dia hamil.

 

Dalilnya adalah sebagai berikut.

 

1). Allah berfirman:

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحصُواْ ٱلعِدَّةَۖ وَٱتَّقُواْ ٱللهَ رَبَّكُم لَا تُخرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخرُجنَ إِلَّآ أَن يَأتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللهِ فَقَد ظَلَمَ نَفسَهُۥۚ لَا تَدرِي لَعَلَّ ٱللهَ يُحدِثُ بَعدَ ذَٰلِكَ أَمرًا ١

 

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (ath-Thalaq: 1)

 

Maksud ayat ini adalah agar istri ditalak pada saat suci yang belum digauli atau pada saat hamil sehingga mereka dapat langsung ber-‘iddah, sebagaimana ditafsirkan pada hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma berikut.

 

  1. Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma menyebutkan bahwa ia menalak istrinya selagi haid. Umar radhiyallaahu ‘anhu pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah , lalu Rasulullah bersabda,

 

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِيْ أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلِّقَ لَهَا النِّسَاءُ.

 

“Perintahkan kepadanya agar merujuk istrinya kemudian membiarkannya bersamanya hingga suci, kemudian haidh lagi, kemudian suci. Lantas setelah itu terserah kepadanya, ia mempertahankannya jika mau dan ia bisa menalaknya jika mau. Itulah ‘iddah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.”([1])

 

Pada riwayat Muslim lainnya dengan lafadz:

 

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ ليُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أَو حَامِلاً

 

“Perintahkanlah kepadanya agar merujuk istrinya, kemudian menalaknya selagi suci atau hamil.”

 

Hadits ini menafsirkan ayat di atas. Artinya, istri yang ditalak pada masa suci yang belum digauli akan langsung menghadapi ‘iddahnya hingga tiga kali haid, sementara istri yang ditalak pada saat hamil akan langsung menghadapi ‘iddahnya hingga dia melahirkan.

 

Inilah talak yang dituntunkan Allah dan Rasul-Nya , yaitu:

 

  1. Menalak istri di masa suci yang belum digauli.

 

Maksudnya adalah setelah mandi suci, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, dirajihkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar.

 

Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma riwayat an-Nasa’i dengan lafadz:

 

مُرْ عَبْدَ اللهِ فَلْيُرَاجِعْهَا، فَإِذَا اغْتَسَلَتْ فَلْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَحِيض، فَإِذَا اغْتَسَلَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا الْأُخْرَى فَلاَ يَمَسَّهَا حَتَّى يُطَلِّقَهَا، فَإِنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَهَا فَلْيُمْسِكْهَا، فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

 

“Perintahkan Abdullah agar merujuk istrinya. Kemudian jika istrinya telah mandi, hendaklah ia membiarkannya sampai haid. Kemudian jika istrinya telah mandi dari haid berikutnya, janganlah ia menggaulinya sampai ia menalaknya. Jika ia ingin mempertahankannya, hendaklah ia melakukannya. Itulah ‘iddah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.” ([2])

 

Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan([3]), “Talak yang dibolehkan syariat menurut kesepakatan ulama adalah menalak istri dengan satu talak pada saat istri telah mandi suci dari haidnya sebelum digauli, kemudian membiarkannya tanpa menyusulnya dengan talak berikutnya hingga ‘iddahnya berakhir. Talak seperti ini disebut talak sunnah (yakni sesuai dengan tuntunan Nabi ).”

 

  1. Menalak istri di masa hamil.

 

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan -sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa-, “Apabila kehamilannya telah tampak jelas dan suaminya ingin menalaknya, diperbolehkan, baik disebut sebagai talak sunnah, bukan talak sunnah, maupun talak bid’ah. Perbedaan pendapat ini hanya dalam istilah, tidak dalam hal hukum (khilaf lafzhi).”

 

Talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan syariat adalah talak yang dianggap sah dan diperhitungkan. Wallahu a’lam.

 

Dikecualikan dari hukum ini adalah:

 

  1. Istri yang ber’iddah dengan tiga bulan (bukan dengan tiga kali haidh) boleh ditalak kapan saja.

 

 

Seperti istri yang belum terkena haid dan yang tidak haid lagi karena telah menopause, operasi angkat rahim, atau semisalnya boleh ditalak kapan saja.

 

  1. Istri yang tidak punya kewajiban ‘iddah boleh ditalak kapan saja, yaitu istri yang ditalak sebelum digauli.

 

Talak Bid’ah

 

Menalak istri selagi haid atau suci namun telah digauli, hukumnya haram. Talak seperti ini dinamakan talak bid’ah, karena menyelisihi apa yang disyariatkan Allah dalam menalak istri. Penjelasannya sebagai berikut.

 

  1. Istri yang ditalak selagi haidh maka haidnya yang sekarang tidak dihitung sebagai ‘iddah. Artinya, dia akan melewati haid tersebut hingga suci tanpa dihitung sebagai ‘iddah dan ini bermakna menalaknya bukan pada saat istri langsung menghadapi ‘iddahnya. Hal ini berakibat panjangnya masa penantian yang akan dijalaninya dan ini memudaratkan istri.
  2. Istri yang ditalak selagi suci yang telah digauli berarti ditalak untuk menghadapi ‘iddah yang tidak meyakinkan. Hal ini karena boleh jadi dia hamil sehingga ‘iddahnya adalah melahirkan, atau dia tidak hamil sehingga ‘iddahnya adalah tiga kali haidh. Benar, dia dapat langsung menghadapi ‘iddahnya salah satu dari dua kemungkinan tersebut, tetapi ‘iddah yang akan dihadapinya tidak menentu.

 

Namun, menurut pendapat yang rajih, talak yang dijatuhkan dalam kondisi ini sah sebagai talak yang dihitung atas pelakunya. Inilah pendapat empat imam mazhab yang masyhur (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad), al-Bukhari, dan jumhur (mayoritas) ulama, yang dirajihkan asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar dan al-Albani.

 

Berbeda halnya dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da’imah (yang diketuai oleh Ibnu Baz) bahwa yang seperti ini tidak sah.

 

Ibnul Qayyim secara panjang lebar mendiskusikan dalil-dalil kedua belah pihak dalam Zadul Ma’ad yang akan membuat pembacanya condong kepadanya.

 

Akan tetapi, al-Albani membantahnya dalam Irwa’ al-Ghalil([4]) dengan singkat dari segi ilmu hadits dan kandungan makna lafadz, yang menampakkan secara jelas bahwa yang benar talak tersebut sah.

 

Kesimpulannya, hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma yang shahih dan datang dari banyak jalan perawinya, mengalami kegoncangan dalam hal apakah dianggap sah atau tidak talak yang dia jatuhkan ketika istrinya sedang haid tersebut?

 

Ternyata riwayat bahwa talak tersebut dianggap sah lebih kuat ditinjau dari dua sisi.

 

  1. Telah tsabit (tetap) dua riwayat yang marfu’ (disandarkan sebagai sabda Nabi ) bahwa talak tersebut dihitung sebagai satu talak yang sah, yaitu:
  2. Riwayat yang dikeluarkan oleh ath-Thayalisi dan ad-Daraquthni, dari jalan Nafi’, dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dengan lafadz:

 

فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَجَعَلَهَا وَاحَدَةً.

 

“Umar kemudian mendatangi Nabi sawdan menceritakan peristiwa itu kepadanya, maka Nabi menjadikannya satu talak.”([5])

 

Al-Albani menshahihkannya menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.

 

  1. Riwayat yang dikeluarkan oleh ad-Daraquthni dan al-Baihaqi, dari jalan asy-Sya’bi, dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dengan lafadz:

 

فَانْطَلَقَ عُمَرُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ، فَأَخْبَرَهُ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا، ثُمَّ يَسْتَقْبِلَ الطَّلاَقَ فِيْ عِدَّتِهَا، وَتُحْتَسَبُ بِهَذِهِ التَّطْلِيْقَةِ الَّتِيْ طَلَّقَ أَوَّلَ مَرَّةٍ

 

“Umar pun menemui Rasulullah dan menceritakannya kepada beliau. Nabi pun memerintahkan agar Ibnu ‘Umar merujuk istrinya, kemudian melakukan talak pada waktu istrinya langsung menghadapi ‘iddahnya, dan talak yang pertama kali dijatuhkannya itu dihitung satu talak.”([6])

 

Al-Albani rahimahullah menshahihkannya menurut syarat al-Bukhari dan Muslim. Riwayat ini semakin kuat dengan adanya tiga jalan riwayat yang mauquf atas Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa hal itu dihitung sebagai satu talak atasnya.

 

Al-Albani rahimahullah berkata, “Riwayat ini memiliki hukum hadits yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi ), karena riwayat ini bermakna bahwa Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma mengamalkan hukum yang ditetapkan pada riwayat yang marfu’. Maka dari itu, tidak diragukan lagi bahwa riwayat mauquf ini menguatkan riwayat yang marfu’ sebagaimana hal ini tampak secara jelas.”

 

Riwayat ini lebih kuat daripada riwayat marfu’ lainnya yang dijadikan dalil akan ketidak absahan talak tersebut, yaitu:

 

  1. Riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya, dari jalan Abu az-Zubair, dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dengan lafadz,

 

فَرَدَّهَا عَلَىَّ وَلَمْ يَرَهَا شَيْئًا.

“Nabi mengembalikannya kepadaku dan tidak menganggapnya.”([7])

 

Riwayat ini disahihkan oleh Ibnu Hajar dan al-Albani.

 

  1. Riwayat yang dikeluarkan oleh an-Nasa’i, ath-Thahawi, ath-Thayalisi, dan lainnya dari jalan Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar d dengan lafadz,

 

فَرَدَّ النَّبِيُّ ﷺ ذَلِكَ عَلَيَّ حَتَّى طَلَّقْتُهَا وَهِيَ طَاهِرٌ

 

“Maka Nabi mengembalikan hal itu kepadaku sampai aku menalaknya di saat suci.”([8])

 

Riwayat ini dishahihkan oleh al-Albani menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim. Tidak ada riwayat mauquf yang menguatkan riwayat ini.

 

  1. Kuatnya dalil riwayat yang pertama terhadap kandungan maknanya, karena jelas menunjukkan maknanya tanpa bisa ditakwil lagi bahwa talak tersebut dianggap sah.

 

Jadi, riwayat ini adalah nash (dalil yang tidak bisa ditafsirkan lain) bahwa Nabi menghitungnya sebagai talak yang sah. Berbeda halnya dengan riwayat kedua yang tidak jelas penunjukannya dan bisa ditakwil ke makna lain. Seperti kata asy-Syafi’i, “Makna,

 

وَلَمْ يَرَهَا شَيْئًا

 

‘Nabi tidak menganggapnya benar.’

 

bukan nash (dalil yang tidak bisa ditafsirkan lain) bahwa Nabi tidak menganggapnya sebagai talak yang sah. Dengan demikian, riwayat pertama harus didahulukan daripada riwayat kedua.”

 

Al-Albani rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Ibnul Qayyim sendiri mengakui hal ini. Akan tetapi, ia meragukan keabsahan riwayat marfu’ yang jelas menunjukkan sahnya talak tersebut.”

Jumhur juga berhujjah dengan perintah Nabi kepada Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma agar merujuk istrinya, yang maksudnya adalah raj’ah syar’iyah (merujuk yang syar’i). Ini menunjukkan talak benar-benar jatuh, karena rujuk syar’i hanya dilakukan jika talak raj’i jatuh. Wallahu a’lam.

 

Masalah: Hukum menalak istri yang sedang nifas

 

Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama.

 

  1. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat haram seperti halnya menalak istri selagi haidh.

 

Dalilnya adalah keumuman hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma:

 

ثُمَّ لْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا أو حَامِلاً

 

“Kemudian menalaknya selagi suci atau hamil.”([9])

 

Wanita yang nifas tentu saja tidak suci. Pendapat ini yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah (yang diketuai oleh Ibnu Baaz) sebagaimana dalam Fatawa al-Lajnah.

 

  1. Sebagian ulama berpendapat boleh.

 

Alasannya, istri yang ditalak selagi nifas akan langsung menghadapi ‘iddahnya. Dia langsung menanti sampai mengalami haidh tiga kali, karena nifas itu sendiri tidak diperhitungkan dalam ‘iddah. Adapun perintah Nabi kepada Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma agar menalak istrinya saat suci maksudnya adalah suci dari haidh, karena ia telah menalaknya selagi haidh.

 

Ibnu ‘Utsaimin menyatakan dalam Fath Dzil Jalal wal Ikram, pendapat ini lebih tampak kebenarannya. Sepertinya, inilah yang rajih (kuat), mengingat ‘illah (faktor) dilarangnya menalak istri selagi haidh tidak ada pada istri yang ditalak selagi nifas. Wallahu a’lam.([10])

 

 

(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) HR. al-Bukhari (5251), Muslim (1471)

([2]) HR. an-Nasa’i (3389, 3396), dishahihkan oleh al-Albani, Lihat kitab Shahih Sunan an-Nasa’i no. 3396

([3]) Sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa

([4]) Lihat kitab Irwa’ al-Ghalil (7/124—136)

([5]) HR. at-Thayalisiy (68), al-Baihaqiy dalam al-Kubra (14705), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (35/213)

([6]) HR. ad-Daraquthni (4/11, no. 30), al-Baihaqiy dalam al-Kubra (14703), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (24/111)

([7]) HR. Muslim (1471), Abu Dawud (2185), as-Syafi’iy (1242-1243)

([8]) HR. Ibnu Hibban (4264), at-Thayalisiy (1871), Abu Ya’la (5650), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (24/112)

([9]) HR. Muslim (1471)

([10]) http://asysyariah.com/talak-sunnah-dan-talak-bidah/

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *