Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:
وَالظِّهَارُ وَفِيْهِ كَفَّارَةٌ إِنْ لَمْ يُطَلِّقْهَا بَعْدَهُ فَوْرًا وَهِيَ عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ سَلِيْمَةٍ فَإِنْ عَجَزَ صَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ عَجَزَ أَطْعَمَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا سِتِّيْنَ مُدًّا.
“Dan Zhihar; dan didalamnya terdapat (kewajiban membayar) kaffarah jika dia tidak segera menceraikannya; yaitu (dengan) memerdekakan seorang budak mukminah yang selamat (dari aib, cela). Jika dia tidak mampu, maka dia berpuasa dua bulan berturut-turut; dan jika dia tidak bisa, maka dia memberi makan enam puluh orang miskin (sejumlah) enam puluh mud (untuk mereka semua).”
Zhihar menurut bahasa berarti punggung. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata zhihar berarti pernyataan suami kepada istrinya, “Bagiku engkau seperti punggung Ibuku,’ di mana suami memaksudkan perkataannya itu dengan mengharamkan istrinya bagi dirinya. Para “ulama sepakat untuk mengharamkan perbuatan ini dan pelakunya dianggap telah melakukan perbuatan dosa.([1])
Imam Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata,
تَشْبِيْهُ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ فِيْ الْحُرْمَةِ بِمَحْرَمِهِ
‘Zhihar adalah suami menyerupakan istrinya dalam keharaman dengan mahramnya.’([2])
Sehingga apabila suami mengatakan, “Bagiku kamu seperti punggung Ibuku,” atau ungkapan penyerupaan istri dengan anggota tubuh Ibunya yang lain, maka istrinya menjadi haram untuknya. Suami diharamkan untuk menggauli atau mencumbu istrinya, hingga suami membayar kaffarat atas ucapannya tersebut.
Allah ﷻ berfirman:
ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِم إِنۡ أُمَّهَٰتُهُم إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدنَهُمۡۚ وَإِنَّهُم لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ ٱلقَولِ وَزُورًاۚ وَإِنَّ ٱللهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ ٢ وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِم ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُم تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللهُ بِمَا تَعمَلُونَ خَبِيرٌ ٣ فَمَن لَّم يَجِد فَصِيَامُ شَهرَيۡنِ مُتَتَابِعَينِ مِن قَبلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّم يَستَطِع فَإِطعَامُ سِتِّينَ مِسكِينًاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤمِنُواْ بِٱللهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤
“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. al-Mujaadilah: 2-4)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat diatas dengan mengetengahkan sabab nuzul ayat tersebut, yaitu hadits dari Khaulah binti Tsa’labah, dia berkata, “Demi Allah, dalam (permasalahan)ku dan Aus bin ash Shamit, Allah ﷻ telah menurunkan awal ayat surat al-Mujadilah. Kala itu, statusku adalah isterinya. Ia seorang laki-laki yang telah renta, perangainya telah berubah menjadi kasar dan suka membentak. Suatu hari, ia menemuiku. Kala itu aku membantahnya dengan sesuatu. Ia pun marah, lantas berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku,”([3]) lalu ia keluar dan duduk-duduk di tempat berkumpul kaumnya.
Beberapa saat kemudian ia masuk menemuiku, dan saat itu ia menginginkan diriku. Kukatakan kepadanya,”Sekali-kali tidak. Demi Dzat Yang jiwa Khaulah berada dalam genggamanNya. Janganlah engkau mendekatiku. Engkau telah mengucapkan apa yang telah kau ucapkan, sampai Allah memutuskan hukum-Nya dalam permasalahan kita,” lantas ia melompat hendak menangkapku. Aku pun menghindar darinya dan berusaha melawan dengan kekuatan seorang wanita menghadapi lelaki tua lagi lemah. Aku berhasil mendorong tubuhnya dariku. Kemudian aku keluar menemui tetangga wanitaku dan meminjam bajunya. Aku pergi menemui Rasulullah, lalu duduk di hadapannya. Aku ceritakan apa yang aku hadapai dengan suamiku, mengeluh kepada beliau tentang perilaku kasar suamiku.([4])
Rasulullah ﷺ berkata,
«يَا خُوَيْلَةُ ، ابنُ عَمِّكِ شَيْخٌ كَبِيرٌ، فَاتَّقِي اللهَ فِيهِ»
“Wahai Khuwailah, anak pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang telah tua, maka bertaqwalah engkau kepada Allah terhadap suamimu.”
Aku berkata,”Demi Allah, aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai turun al Qur`an. Ketika itu Rasulullah ﷺ diliputi sesuatu dan diwahyukan kepada beliau. Lalu beliau berkata kepadaku,”Wahai, Khuwailah. Allah telah menurunkan firmanNya tentang permasalahanmu dan suamimu.” Beliau ﷺ membaca ayat … -yaitu surat al-Mujadalah (58) ayat 1-4,.
Beliau ﷺ berkata kepadaku,
مُريه فَلْيُعْتِقْ رَقَبَةً”. قَالَتْ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، مَا عِنْدَهُ مَا يُعْتِقُ. قَالَ: “فَلْيَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ”. قَالَتْ: فَقُلْتُ: وَاللهِ إِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيرٌ، مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ. قَالَ: “فَلْيُطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا وَسْقًا مِنْ تَمر”. قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا ذَاكَ عِنْدَهُ. قَالَتْ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: “فَإِنَّا سَنُعِينُهُ بعَرَقٍ مِنْ تَمْرٍ”. قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَأَنَا سَأُعِينُهُ بعَرَقٍ آخَرَ، قَالَ: “فَقَدْ أَصَبْتِ وأحسَنْت، فَاذْهَبِي فَتَصَدَّقِي بِهِ عَنْهُ، ثُمَّ اسْتَوْصِي بِابْنِ عَمِّكِ خَيْرًا”. قَالَتْ: فَفَعَلْتُ.
“Perintahkan kepadanya, agar ia membebaskan seorang budak”.
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memilki seorang budak”.
Beliau ﷺ berkata,”Kalau begitu, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia adalah seorang lelaki tua yang tidak sanggup lagi berpuasa.”
Beliau ﷺ kembali berkata,”Jika demikian, hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq kurma.”
Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memiliki kurma sebanyak itu.”
Akhirnya beliau ﷺ berkata,”Maka kami akan membantunya dengan sekeranjang kurma.”
Aku berkata,”Aku juga, wahai Rasulullah. Aku akan membantunya dengan sekeranjang lagi.”
Beliau ﷺ berkata,”Perbuatanmu benar dan bagus. Pergilah dan bersedekahlah untuk suamimu. Dan berwasiatlah dengan anak pamanmu dengan baik,” maka aku pun melakukan perintah Beliau ﷺ.([5])
Apakah panggilan suami istri dengan Abi dan Ummi termasuk zhihar?
Maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama;
Penulis kitab ar-Raudh al-Murbi’, sebuah buku fiqh mazhab Hambali mengatakan:
وَيُكْرَهُ نِدَاءُ أَحِدْ الزَّوْجَيْنِ الآخَرَ بِمَا يُخْتَصُ بِذِيْ رَحِمٍ مَحْرَمٍ كَأَبِيْ وَأُمِّيْ
“Dan makruh hukumnya jika salah seorang dari suami atau isteri memanggil pasangannya dengan panggilan yang hanya digunakan untuk memanggil kerabat yang masih mahram semisal abi atau ummi”.
Sedangkan di Hasyiah ar Raudh al Murbi’ dijelaskan sebagai berikut:
لِخَبَرٍ: أَنَّ رَجُلا قَالَ لِامْرَأِتِهِ يَا أُخْتِيْ، فَقَالَ ﷺ «أُخْتُكَ هِيَ؟» رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ، فَكَرِهَ ذَلِكَ، وَنَهَى عَنْهُ،
“Dimakruhkannya hal di atas karena beberapa alasan: Yang Pertama, terdapat dalam sebuah hadits bahwa ada seorang suami yang memanggil isterinya “Wahai ukhti!”. Mendengar hal tersebut Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Apakah dia memang saudarimu?!”. Nabi membenci hal tersebut dan melarangnya.([6])
وَلِأَنَّهُ لَفْظٌ يُشْبِهُ لَفْظَ الظِّهَارِ،
Kedua, kata-kata tersebut menyerupai kata-kata zhihar (mengatakan pada istri: Engkau seperti punggung ibuku)
وَلاَ تُحْرَمُ بِهِ، وَلاَ يَثْبُتُ بِهِ حُكْمُ الظِّهَارِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ بِصَرِيْحٍ فِيْهِ، وَلاَ نَوَاهُ فَلاَ يَثْبُتُ بِهِ التَّحْرِيْمُ، وَجَاءَ أَنَّ الْخَلِيْلَ قَالَ: إِنَّهَا أُخْتِيْ، وَلَمْ يُعَدْ ظِهَارًا.
Namun menggunakan kata-kata di atas tidaklah sampai derajat haram dan tidak menyebabkan terjadinya zhihar karena dua alasan.
Pertama, kata-kata tersebut bukanlah kata-kata yang tegas menunjukkan makna zhihar dan orang yang mengucapkannya juga tidak meniatkan zhihar dengan kata-kata tersebut. Oleh karena itu hukumnya tidak haram.
Kedua, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi Ibrahim al-Khalil berkata mengenai isterinya, “Dia adalah ukhti” dan tidak dinilai sebagai zhihar”.([7])
Sedangkan syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, maka telah disebutkan di dalam sebagian fatwa beliau:
Pertanyaan: Bolehkah suami memanggil isterinya “Ya Ukhti” (wahai saudariku) atau “Ya Ummi” (wahai ibuku) karena dorongan kecintaan saja?.
Beliau menjawab: Ya, dibolehkan bagi suami untuk memanggil isterinya dengan panggilan “Ya Ukhti”, atau “Ya Ummi“, atau panggilan-panggilan lain yang dapat mendatangkan rasa sayang dan cinta.
Walaupun sebagian ulama me-makruh-kan bila seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan-panggilan yang seperti ini, namun hukum makruh ini tidaklah tepat, karena setiap amalan itu tergantung niatnya, dan orang ini tidaklah meniatkan deng panggilan-panggilan itu, bahwa istrinya adalah saudarinya yang diharamkan atau mahram-nya. Tidak lain ia hanya bermaksud menampakkan rasa sayang dan cintanya, dan setiap sesuatu yang menjadikan/mendatangkan rasa sayang antara dua mempelai, baik dilakukan oleh suami atau istri, maka hal itu adalah sesuatu yg dianjurkan.([8])
Dalam kitabnya Syarhul Mumti’, beliau juga mengatakan:
فَإِذَا قَالَ: يَا أُمِّيْ تَعَالَيْ، أَصْلِحِيْ الْغَدَاءَ فَلَيْسَ بِظِهَارٍ، لَكِنْ ذَكَرَ الْفُقَهَاءُ -رَحِمَهُمُ اللهُ- أَنَّهُ يُكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُنَادِيَ زَوْجَتَهُ بِاسْمِ مَحَارِمِهِ، فَلاَ يَقُوْلُ: يَا أُخْتِيْ، يَا أُمِّيْ، يَا بِنْتِيْ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، وَقَوْلُهُمْ لَيْسَ بِصَوَابٍ؛ لِأَنَّ الْمَعْنَى مَعْلُوْمٌ أَنَّهُ أَرَادَ الْكَرَامَةَ، فَهَذَا لَيْسَ فِيْهِ شَيْءٌ، بَلْ هَذَا مِنَ الْعِبَارَاتِ الَّتِيْ تُوْجِبُ الْمَوَدَّةَ وَالْمَحَبَّةَ وَالْأُلْفَةَ.
Jika seorang suami mengatakan kepada isterinya: “ya Ummi! Kemarilah, siapkan makan siang”, ini bukanlah “zhihar“.
Namun para ahli fikih –rohimahumulloh– menyebutkan bahwa: di-makruh-kan bagi seorang suami memanggil isterinya dengan sebutan mahram–mahramnya, sehingga tidak boleh baginya memanggil istrinya: “ya Ukhti”, “ya ummi“, “ya binti”, dan yang semisalnya. Perkataan mereka ini tidaklah benar, karena makna dari panggilan itu sudah maklum, bahwa si suami bermaksud memuliakan istrinya, maka ini tidaklah mengapa, bahkan panggilan-panggilan seperti ini dapat mendatangkan rasa sayang, cinta, dan keakaraban.([9])
Wallahu a’lam.
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 622), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/439-440), dan Terj. Subulus Salam (III/70-73)
([3]) Pada masa jahiliyah, azh-zhihar merupakan salah satu bentuk thalaq.
([4]) Dalam sebagian jalan hadits ini, bahwa ia (Khaulah) berkata,”Wahai Rasulullah, ia telah menikmati masa mudaku, aku pun telah memberinya anak. Lalu ketika usiaku telah tua dan aku sudah tidak bisa lagi memberikan anak untuknya, ia menzhiharku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepadaMu. Aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai Jibril datang membawa wahyu 🙁 قَدْ سَمِعَ اللَّه…)”.
Dan dalam sebuah riwayat: … Maka ia (Aus bin ash Ashamit) berkata,”Engkau ibarat punggung ibuku bagiku”. Dan ilaa’ serta zhihar termasuk thalaq pada masa jahiliyah. Khaulah bertanya kepada Nabi ﷺ , beliau ﷺ berkata kepadanya,”Engkau telah haram bagi suamimu”. Khaulah berkata,”Demi Allah, ia tidak menyebutkan kata thalaq,” kemudian Khaulah berkata,”Aku mengadu kepada Allah tentang kesendirianku dan perpisahan yang dilakukan suamiku, padahal aku telah memberinya anak”. Beliau ﷺ berkata,”Engkau telah haram bagi suamimu.” Mereka berdua terus berdiskusi sampai akhirnya turun wahyu kepada beliau ﷺ.
([5]) Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam kitab at-Tauhid bab (Wa Kaanallaahu Samii’an Bashairan) secara mu’allaq, dan dikeluarkan pula oleh an-Nasaa-i dalam kitab ath-Thalaq (3460), dan Ibnu Majah (188). Ketiga-tiganya dari ‘Aisyah secara ringkas. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Majah dalam kitab ath-Thalaq (2063) dengan menyebutkan diskusi Khaulah dengan Nabi. Dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah (1678), dan dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (6/410, 411) dengan lafazh seperti ini.
([6]) HR. Abu Daud (2210, 2211) namun al-Albani menilainya sebagai hadits yang lemah
([7]) Kutipan di atas bisa dibaca di kitab Hasyiah ar-Raudh al-Murbi’ jilid 7 hal 8 karya Syeikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim al ‘Ashimi an-Nadi cetakan pertama tahun 1397 H, tanpa penerbit.
Sedangkan ar-Raudh al-Murbi’ adalah buku karya Manshur bin Yunus bin Idris al Bahuti, seorang ulama mazhab Hambali yang meninggal pada tahun 1051H.
([8]) Lihat Fatawa Nurun Alad Darb hal: 19
([9]) Lihat Syarhul Mumti’ 13/236