al-‘Allaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Ba’alawiy rahimahullah berkata:
وَالْإِصْرَارُ عَلىَ الذَّنْبِ.
“Dan terus menerus diatas (perbuatan) dosa”
Syarah:
Yang dimaksud dengan terus menerus (ishrar) adalah niat untuk tidak bertaubat, dan menunda-nundanya, dengan mengatakan, ‘Besok aku akan bertaubat.’ Padahal dia tahu bahwa dia tidak berkuasa atas hari esok, dan tidak tahu akan hidup hingga esok. Serta terus menerus diatas dosa kecil akan menjadikannya sebagai dosa besar.
Al’Izz bin ‘Abdissalam rahimahullah berkata,
الإِصْرَارُ عَلىَ الذُّنُوْبِ يَجْعَلُ صَغِيْرَهَا كَبِيْرًا فِيْ الْحُكْمِ وَالْإِثْمِ فَمَا الظَّنُّ بِالْإِصْرَارِ عَلىَ كَبِيْرِهَا
‘Terus menerus diatas dosa-dosa akan menjadikan dosa kecilnya sebagai dosa besar, maka apakah anggapan(mu) dengan terus menerus pada dosa besar?’ ([1])
Dan pernah dikatakan juga,
الْإِصْرَارُ هُوَ أَنْ يَنْوِيَ أَلاَّ يَتُوْبَ
‘Yang dikatakan ishrar itu adalah berniat untuk tidak bertaubat.’([2])
Sebagaimana bahwa orang terus menerus diatas dosa jiwanya akan menjadi senang dengan kemaksiatan, lalu bergeserlah darinya kewibawaan Allah, lalu diapun menjadi berani untuk melakukan dosa-dosa besar. Adapun orang-orang yang bertakwa, maka sesungguhnya mereka tidak akan terus menerus diatas dosa-dosa, sementara mereka mengetahui akan keburukannya, dan larangan darinya, serta ancaman atasnya. Dan mereka mengetahui bahwa mereka memiliki Rabb yang akan mengampuni dosa-dosa.’
Sahl bin ‘Abdillah rahimahullah berkata,
الْجَاهِلُ مَيِّتٌ، وَالنَّاسِيْ نَائِمٌ، وَالْعَاصِيْ سَكْرَانُ، وَالْمُصِرُّ هَالِكٌ
‘Orang bodoh itu mati, orang lupa itu tidur, pelaku maksiat itu mabuk, dan yang terus menerus (diatas dosa) binasa.’([3])
Al-Jirjani rahimahullah berkata,
الإِصْرَارُ: الْإِقَامَةُ عَلىَ الذَّنْبِ وَالْعَزْمُ عَلىَ فِعْلِ مِثْلِهِ
‘Ishrar (terus menerus diatas dosa): berdiri diatas dosa, dan bertekad untuk melakukan yang semisalnya.’([4])
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma dari Nabi ﷺ, bahwasannya beliau ﷺ pernah bersabda diatas mimbar,
«… وَيْلٌ لِلْمُصِرِّينَ، الَّذِينَ يُصِرُّونَ عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ»
“Celaka bagi orang-orang yang terus menerus diatas dosa, yang terus menerus diatas (dosa) yang mereka lakukan, sementara mereka mengetahui (dosa tersebut).”([5])
Imam al-Ghazaliy rahimahullah berkata,
اعْلَمْ أَنَّ الصَّغِيْرَةَ تَكْبُرُ بِأَسْبَابٍ مِنْهَا: الْإِصْرَارُ وَالْمُوَاظَبَةُ، وَلِذَلِكَ قِيْلَ: لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ إِصْرَارٍ، وَلاَ كَبِيْرَةَ مَعَ اسْتِغْفَارٍ، فَقَطَرَاتٌ مِنَ الْمَاءِ تَقَعُ عَلىَ الْحَجَرِ عَلىَ تَوَالٍ فَتُؤَثِّرُ فِيْهِ، فَكَذَلِكَ الْقَلِيْلُ مِنَ السَّيِّئَاتِ إِذَا دَامَ عَظُمَ تَأْثِيْرُهُ فِيْ إِظْلاَمِ الْقَلْبِ
‘Ketahuilah, bahwa dosa kecil akan menjadi besar dengan beberapa sebab; diantaranya; ishrar (terus menerus) dan rajin (melakukannya). Oleh karena itulah dikatakan, ‘Tidak ada dosa kecil bersamaan dengan pelaksanaan terus menerus, dan tidak ada dosa besar dengan disertai istighfar’. Maka tetesan-tetesan air yang mengenai (permukaan) batu secara terus menerus akan membekas padanya. Demikian juga yang sedikit dari berbagai dosa, jika terus (dilakukan) maka akan menjadi besar pengaruhnya di dalam menggelapkan hati.’([6])
Telah datang dari sebagian salaf,
وَمِنَ الْإِصْرَارِ: السُّرُوْرُ بِالصَّغِيْرَةِ، وَالْفَرَحُ وَالتَّبَجُّحُ بِهَا، فَكُلَّمَا غَلَبَتْ حَلاَوَةُ الصَّغِيْرَةِ عِنْدَ الْعَبْدِ كَبُرَتْ الصَّغِيْرَةُ، وَعَظُمَ أَثَرُهَا فِيْ تَسْوِيْدِ قَلْبِهِ، حَتَّى إِنَّ مِنَ الْمُذْنِبِيْنَ مَنْ يَتَمَدَّحُ بِذَنْبِهِ، وَيَتَبَجَّحُ بِهِ لِشِدَّةِ فَرْحِهِ بِمُقَارَفَتِهِ إِيَّاهُ
“Termasuk bentuk ishrar, adalah senang dengan dosa kecil, bahagia, dan berbangga dengannya. Maka setiap kali manisnya dosa kecil itu mendominasi pada diri seorang hamba, maka menjadi besarlah dosa kecil itu, dan besar pula pengaruhnya dalam menghitamkan hatinya, hingga ada diantara orang-orang yang berbuat dosa itu yang mencari pujian dengan dosanya, dan berbangga dengannya karena sangat bahagianya dia dengan dekatnya dia dengan maksiat itu.” ([7])
Dan termasuk ishrar juga adalah meremehkannya pelaku maksiat tersebut dengan tirai Allah ﷻ atasnya, dan juga kelembutan-Nya. Dia tidak mengetahui bahwa Allah ﷻ menangguhkannya karena murka agar dengan peremehannya itu dia menambah dosa. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ ١٧٨
“Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Ali ‘Imran: 178)
Al-Auza’iy rahimahullah berkata,
الْإِصْرَارُ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ الذَّنْبَ فَيَحْتَقِرُهُ
“Ishrar adalah seseorang melakukan suatu dosa lalu meremehkannya.’([8])
Maka berhati-hatilah dari terus menerus diatas kemaksiatan, dan menganggap kecil dosa-dosa, atau terang-terangan dengannya. Dan janganlah engkau melihat –mudah-mudahan Allah menjagamu- kepada kecilnya maksiat, akan tetapi lihatlah kepada keagungan Dzat yang engkau maksiati. Dan selamatkanlah dirimu, maka dirimu akan diberkahi dan diberi petunjuk. Serta tinggalkan darimu penghinaan dosa-dosa bagi ucapan ataupun perbuatan. Dan janganlah tertipu dengan orang-orang di zaman kita, dari golongan orang-orang yang menganggap kecil dosa-dosa dan menggampangkannya, bahkan barangkali mereka mengumumkan dan terang-terangan dengannya.
Sungguh Nabi ﷺ telah bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan dimaafkan, kecuali mujahir (orang-orang yang terang-terangan di dalam melakukan maksiat. Dan sesungguhnya termasuk perbuatan mujaharah adalah seseorang melakukan (dosa) di malam hari, kemudian di pagi hari Allah telah menutupi dosa atasnya, dia berkata, ‘Wahai Fulan, tadi malam aku telah mengamalkan demikian dan demikian. Maka sungguh dia telah menginap di malam hari, sementara Rabnya telah menutupinya dan di pagi hari dia menyingkap tabir Allah darinya.”([9])
Al-‘Izz bin ‘Abdissalam rahimahullah berkata,
الذُّنُوْبُ أَعْظَمُ الْعَوْرَاتِ، وَأَقْبَحُ السَّوْءَاتِ، وَالْمُجَاهِرُ بِهَا مُجَاهِرٌ بِأَسْمَجِ الْعَوْرَاتِ، وَأَشْنَعِ السَّوْءَاتِ، وَهُوَ دَلِيْلُ الْقَحَّةِ، وَقِلَّةُ الْمُبَالاَةِ
‘Dosa-dosa itu adalah sebesar-besarnya aib, seburuk-buruknya aurat, dan orang yang terang-terangan dengannya, maka dia telah terang-terangan dengan sejijik-jijiknya aurat, seburuk-buruknya aurat, dan itu adalah bukti keras(nya hati), dan sedikitnya kepedulian (terhadap hak-hak Allah).’([10])
Perhatikanlah keadaan para salaf kita, mudah-mudahan Allah merahmati mereka, dari golongan orang-orang yang menemani Rasulullah ﷺ. Inilah dia seorang sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu , beliau mendapati generasi para tabi’in, yang itu merupakan generasi Qur`aniy yang mengambil petunjuk dengan petunjuk para sahabat Rasulullah ﷺ. Sekalipun demikian beliau memberikan peringatan kepada mereka dari sikap meremehkan dosa-dosa serta memberikan gambaran kepada mereka akan keadaan para sahabat dan bagaimana rasa takut mereka terhadap dosa-dosa. Seraya dia berkata kepada para tabi’in,
«إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا، هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المُوبِقَاتِ»
“Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan amalan-amalan yang amalan itu di mata-mata kalian lebih lembut daripada rambut, sementara dulu kami menghitungnya di zaman Rasulullah ﷺ termasuk perkara-perkara yang membinasakan.”([11])
Berkata al-Auza’iy rahimahullah,
كَانَ يُقَالُ مِنَ الْكَبَائِرِ: أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ الذَّنْبَ وَيَحْتَقِرَهُ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ مَتَى اسْتَصْغَرَ الْمَعْصِيَةَ وَاسْتَقَلَّهَا هَانَ عَلَيْهِ أَمْرُهَا، وَعَظُمَتْ عِنْدَ اللهِ، وَهُنَا يَكُوْنُ الْهَلَاكُ وَالْخُسْرَانُ
‘Pernah dikatakan, termasuk dosa-dosa besar, seseorang melakukan dosa lalu dia meremehkannya. Dikarenakan seorang hamba, kapan saja dia menganggap remeh sebuah maksiat, dan menganggapnya kecil, maka menjadi ringanlah atasnya perkaranya, dan menjadi besar di sisi Allah. Dan disinilah ada kebinasaan dan kerugian.’([12])
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata,
«إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ»
“Berhati-hatilah kalian dari meremehkan dosa-dosa, dikarenakan dosa-dosa itu akan terkumpul pada seseorang hingga kemudian dia akan benar-benar membinasakannya.”([13])
Adapun jika suatu dosa itu menjadi besar di sisi seorang hamba, maka itu menjadi kecil disisi Allah ﷻ, dikarenakan yang demikian itu menunjukkan kejujuran keimanan dan kehidupan hati seorang hamba.
Al-Fudhail bin ‘Iyad rahimahullah berkata,
«بِقَدْرِ مَا يَصْغُرُ الذَّنْبُ عِنْدَك: يَعْظُمُ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلّ، وَبِقَدْرِ مَا يَعْظُمُ عِنْدَك: يَصغُرُ عِنْدَ الله عَزَّ وَجَلّ»
“Dengan kadar yang membuat kecil suatu dosa disisimu, maka dosa itu akan menjadi besar di sisi Allah, dan dengan kadar yang membuat besar dosa itu di sisimu, maka dosa itu akan menjadi kecil di sisi Allah.”([14])
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata,
«إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ» فَقَالَ بِهِ هَكَذَا فَطَارَ
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seakan-akan dia duduk di bawah sebuah gunung, lalu dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Dan sesungguhnya seorang fajir, dia akan melihat dosa-dosanya seperti lalat, yang lewat diatas hidungnya, lalu dia menepisnya dengan tangannya, lalu lalatpun kabur darinya.”([15])
Dikatakan:
خَلِّ الذُّنُوْبَ صَغِيْرَهَا وَكَبِيْرَهَا ذَاكَ التُّقَى
وَاصْنَعْ كَمَاشٍ فَوْقَ أَرْضِ الشَّوْكِ يَحْذَرُ مَا يَرَى
لاَ تَحْقِرَنَّ صَغِيْرَةً إِنَّ الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَى
Tinggalkanlah dosa-dosa; kecil dan besarnya; itulah ketakwaan
Berbuatlah seperti orang yang berjalan diatas tanah yang berduri; dia akan waspada terhadap apa yang dia lihat
Janganlah sekali-kali meremehkan yang kecil; karena sesungguhnya gunung itu dari kerikil-kerikil kecil.([16])
Inilah keadaan seorang mukmin yang telah terealisasi pengenalannya terhadap Allah, dan terhadap dosa, dan telah tertanam di dalam hatinya rasa takut terhadap Allah. Lalu yang demikian itu mendorongnya untuk lepas dari dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan, lalu kembali kepada Allah dengan penuh cinta kepada-Nya, penuh harap akan rahmat dan ampunan-Nya, serta sebagai bentuk ketaatan, dan pemenuhan perintah-perintah-Nya dan bentuk pendekatan diri kepada-Nya.
Banyak sekali al-Qur`an membuka pintu-pintu rahmat bagi orang-orang yang berbuat dosa, serta mengajak mereka untuk bersegera menuju sorga yang luasnya seluas langit dan bumi. Allah ﷻ berfirman,
۞ وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ١٣٣ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ١٣٤ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ ١٣٥
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran: 133-136)
Maka di dalam ayat ini terdapat isyarat-isyarat, dan berita-berita gembira yang lembut;
Pertama, penyebutan maghfirah (ampunan) datang lebih dulu sebelum datangnya penyebutan sorga; dikarenakan ampunan adalah jalan menuju sorga, dan taubat adalah sebesar-besar sebab untuk mendapatkan ampunan, dan sampainya ketaqwaan.
Kedua, sekalipun bahwa orang-orang yang bertakwa berada pada kedudukan orang-orang mukmin yang tertinggi, di sisi Rabbul ‘Alamiin, bersenang-senang dengan sorga dan ampunan-Nya, namun toleransi dan kasih sayang agama ini terhadap manusia dia meletakkan pada salah satu kelompok orang-orang yang bertakwa golongan orang-orang yang berbuat dosa, yang melakukan perbuatan keji –yang itu merupakan seburuk-buruk dosa dan sebesar-besarnya-, selagi dia telah lepas dari dosanya dan terjaga dari kelalaian, dan kezhalimannya terhadap diri sendiri, lalu mengingat Allah, beristighfar dan bertaubat.
Maka cukuplah bagi seorang hamba yang bertaubat, bahwa cahaya keimanan masih tetap pada rohnya, dan tidak padam; embun keimanan belum kering di dalam hatinya; serta hubungannya dengan Allah masih hidup dan belum layu, dan bahwa dia mengetahui dan mengakui bahwa dia adalah seorang hamba yang berbuat salah dan bahwa dia punya Rabb yang mengampuni.
Dia mengingat Allah, dan tidak melupakannya, serta tidak terus menerus diatas dosa, tidak berbangga dengan maksiat tanpa kebebasan dan tanpa malu. Sesungguhnya itulah seorang hamba yang bertakwa yang di dalam hatinya terdapat petunjuk, embun dalam benaknya, serta tidaklah gelap rohnya.
Sementara Allah mengetahui kelemahan hamba-Nya, maka Diapun tidak akan menutup pintu taubat di hadapan wajahnya, lalu meninggalkannya dalam keadaan terlempar dari rahmat-Nya. Bahkan orang yang berbuat dosa itu senantiasa di sisi Allah, terliputi oleh maaf, rahmat dan karunia-Nya. Maka selagi senantiasa demikian keadaan orang-orang mukmin, maka mereka akan mendapati rahmat Allah, dan mereka mengetahui bahwa dosa-dosa tidak akan ada yang akan menutupinya, dan mengampuninya selain Dzat yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللهُ
“… dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?…” (QS. Ali ‘Imran: 133-136)
Tidak ada seorangpun yang mengampuni dosa dan memaafkannya kecuali Allah. Maka tidak ada tempat tempat bersandar dan selamat dari Allah melainkan kepada-Nya. Dialah yang berbuat lembut kepada hamba-Nya, dan mengangkatnya dari tangga bawah keburukan-keburukan, terutama saat tidak terus menerus diatas dosa.
وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ ١٣٥
“… Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui…” (QS. Ali ‘Imran: 133-136)
Mereka sama sekali tidak terus menerus diatas dosa… mereka berbuat salah lalu mengakui… mereka berbuat dosa lalu beristighfar… mereka berbuat buruk lalu menyesal, lalu Allah ﷻ mengampuni mereka. Maka hasil akhirnya adalah,
أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُم مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ ١٣٦
“Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (136)” (QS. Ali ‘Imran: 133-136)
Berkata al-Imam an-Nawawi al-Bantaniy rahimahullah, ‘Berkata Syu’aib al-Huraifiisy, ‘Telah diceritakan dari Sufyan at-Tsauriy rahimahullah bahwa dia pernah keluar menuju Makkah untuk berhaji. Maka adalah dia menangis terus sejak awal malam hingga akhirnya di tandu. Maka berkatalah Syaiban ar-Ra’iy kepadanya, ‘Wahai Sufyan, apa yang membuatmu menangis. Jika hal itu karena maksiat, maka janganlah berbuat maksiat.’ Maka berkatalah Sufyan, ‘Adapun dosa-dosa, maka tidak pernah terbersit di dalam batinku sama sekali; baik kecil maupun besarnya. Bukanlah tangisanku wahai Syaiban, karena maksiat, akan tetapi karena takut terhadap akhir kehidupan. Dikarenakan aku melihat seorang syaikh yang lanjut, yang kita telah menulis ilmu darinya, dan dia telah mengajari manusia selama empat puluh tahun, dan bersebelahan dengan baitullah al-Haram selama bertahun-tahun, dan dia biasa diambil keberkahannya, dan dengannya air hujan diminta. Maka tatkala dia mati, wajahnya berpindah dari qiblat, dan mati diatas kesyirikan. Maka aku ketakutan akan su`ul khatimah.’ Maka Syaiban berkata kepadanya, ‘Itu adalah akibat buruk maksiat, dan terus menerus diatas dosa, maka janganlah berbuat maksiat kepada Rabb-mu sekejap mata.’ Selesai([17]).
(Makalah Kajian Syarah Sullamuttaufik, Ust. Muhammad Syahri)
_______________________
Footnote:
([1]) Syajaratul Ma’arif wa al-Ahwaal (110), dinukil dari Nadhratunna’iim Fii Makaarimi Akhlaaqi ar-Rasuul al-Kariim, 9/3897
([2]) Tafsir al-Qurthubiy, 4/211
([3]) Al-Jaami’ li Ahkaami Qur-aan, al-Qurthubi, (IV/211)
([4]) At-Ta’riifaat, al-Jirjaaniy (I/44)
([5]) Hasan, HR. Ahmad (6541, 7041) dihasankan oleh para pentahqiiq Musnad Ahmad seraya berkata, ‘Dikeluarkan juga oleh al-Baihaqiy dalam as-Syu’ab (7236), al-Khathiib dalam Taariikh Baghdaad (8/265) dari jalur al-Hasan bin Musa, dengan sanad ini.’
([6]) Ihyaa`u ‘Uluumiddiin, al-Ghazzaaliy, (IV/32)
([7]) Ihyaa`u ‘Uluumiddiin, al-Ghazzaaliy, (IV/32)
([8]) al-Baihaqiy, Syu’ab (6753)
([9]) HR. al-Bukhari (6069), Muslim (2990)
([13]) Hasan lighairihi, HR. Ahmad (3818), at-Thabrani, al-Kabir (5872), al-Baihaqiy, Syu’ab (6881)
([15]) HR. al-Bukhari (6308), Ahmad (3629), at-Turmudzi (2497) dan lainnya
([16]) Jaami’ al-‘Uluum wa al-Hikam, 1/402