Maksiat Hati: Riya’ (bag 3)

Maksiat Hati

Disebutkan dalam sebuah hadits, dari Abu Musa al-Asy’ariy I, dikatakan Rasulullah bersabda,

«أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الشِّرْكَ فَإِنَّهُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ، قَالُوا: وَكَيْفَ نَتَّقِيهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: قُولُوا: اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوذُ بِك أَنْ نُشْرِكَ بِك شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا نَعْلَمُهُ»

“Wahai manusia, takutlah kalian dari kesyirikan, karena kesyirikan itu lebih samar dari rambatan semut.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana kami menjaga diri darinya wahai Rasulullah?’ beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, ‘Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung dengan-Mu dari kami mensekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampun kepada-Mu dari apa yang kami tidak ketahui.” (1)

Dari Abu Hurairah I, Rasulullah bersabda,

«مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

“Barangsiapa mempelajari ilmu dari perkara yang dengannya dicari wajah Allah , dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan bagian dari dunia dengannya, maka dia tidak akan mendapatkan baunya sorga pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Ahmad (II/338), Abu Dawud (3664), Ibnu Majah (252))

‘Umar I pernah berkata kepada orang yang menekuk lehernya,

يَا صَاحِبَ الرَّقَبَةِ ارْفَعْ رَقَبَتَك، لَيْسَ الْخُشُوعُ فِي الرِّقَابِ وَإِنَّمَا الْخُشُوعُ فِي الْقَلْبِ

‘Wahai pemilik leher, angkat lehermu, tidaklah khusyu’ itu di leher, khusyu’ itu tiada lain di dalam hati.’

Abu Umamah al-Bahiliy pernah melihat seorang laki-laki menangis di dalam masjid, di dalam sujudnya, maka dia berkata,

أَنْتَ أَنْتَ لَوْ كَانَ هَذَا فِي بَيْتِك

‘Engkau-engkau, seandainya saja ini di dalam rumahmu.’

‘Aliy berkata,

لِلْمُرَائِي ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ: يَكْسَلُ إذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَطُ إذَا كَانَ فِي النَّاسِ، وَيَزِيدُ فِي الْعَمَلِ إذَا أُثْنِيَ عَلَيْهِ وَيَنْقُصُ إذَا ذُمَّ

‘Orang yang riya’ itu memiliki tiga tanda; malas jika dia sendirian; rajin jika dia berada di tengah manusia; dia menambah amal jika dipuji, dan berkurang jika dicela.’

Beliau juga berkata,

يُعْطَى الْعَبْدُ عَلَى نِيَّتِهِ مَا لَا يُعْطَى عَلَى عَمَلِهِ لِأَنَّ النِّيَّةَ لَا رِيَاءَ فِيهَا

‘Seorang hamba diberi pada niatnya apa yang tidak diberikan pada amalnya, dikarenakan niat itu tidak ada riya’ padanya.’

Fudhail bin ‘Iyadh I berkata,

تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ، وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يُعَافِيَك اللَّهُ مِنْهُمَا.

“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusi adalah syirik, dan ikhlash itu adalah Allah menyelamatkanmu dari keduanya.”

Sebagian ahli hikmah berkata,

مَثَلُ مَنْ يَعْمَلُ رِيَاءً وَسُمْعَةً كَمَثَلِ مَنْ مَلَأَ كِيسَهُ حَصًى ثُمَّ دَخَلَ السُّوقَ لِيَشْتَرِيَ بِهِ، فَإِذَا فَتَحَهُ بَيْنَ يَدَيْ الْبَائِعِ افْتَضَحَ، وَضَرَبَ بِهِ وَجْهَهُ فَلَمْ يَحْصُلْ لَهُ بِهِ مَنْفَعَةٌ سِوَى قَوْلِ النَّاسِ: مَا أَمْلَأَ كِيسَهُ وَلَا يُعْطَى بِهِ شَيْئًا، فَكَذَلِكَ مَنْ عَمِلَ لِلرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ لَا مَنْفَعَةَ لَهُ فِي عَمَلِهِ سِوَى مَقَالَةِ النَّاسِ وَلَا ثَوَابَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ.

‘Perumpamaan orang yang beramal karena riya’ dan sum’ah, seperti perumpamaan orang yang memenuhi kantongnya dengan kerikil, kemudian dia masuk pasar untuk membeli dengannya. Maka jika dia membukanya dihadapan penjual, maka penjual itu akan mencelanya, kemudian memukul wajahnya dengannya. Maka dia tidak akan meraih kemanfaatanpun denganya kecuali ucapan manusia, ‘Dia tidak memenuhi kantongnya, dan tidak akan diberi dengannya sesuatupun, demikian juga orang yang beramal untuk riya’ dan sum’ah, maka tidak ada manfaat baginya, di dalam amalnya selain perkataan manusia, dan tidak ada pahala baginya pada hari akhirat.’

Allah berfirman,

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا ٢٣

Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. al-Furqan: 23)

(Makalah Kajian Syarah Sulamuttaufiq bersama Ustadz Muhammad Syahri di Jawi Prigen Pasuruan)

______________________________________________________

Footnote:

1() HR. Ahmad (IV/403), at-Thabraniy, al-Ausath, al-Haitsamiy berkata dalam al-Majma’ (X/223), ‘Dan para perawi Ahmad adalah perawi shahih, selain Abu ‘Aliy, dan dia ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban.’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *