Berkata al’Allaamah Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawiy rohimahullah:
وَالْغَدَرُ وَلَوْ بِكَافِرٍ.
“Dan Pengkhianatan, Sekalipun Terhadap Seorang Kafir.”
Penjelasan:
Allâh ﷻ berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوفُواْ بِالعُقُودِۚ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS al-Maa’idah: 1)
Dan Allâh ﷻ berfirman juga:
وَأَوفُواْ بِالعَهدِۖ إِنَّ ٱلعَهدَ كَانَ مَسؤُولًا ٣٤
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa’:34)
Berkhianat adalah ciri orang-orang munafiq
Dari ‘Abdullâh Ibnu ‘Amr Ibnu `l-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasûlullâh ﷺ bersabda:
«أرْبعٌ مَنْ كُنَّ فيهِ، كانَ مُنَافِقاً خالصاً، وَمَنْ كانتْ فيه خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ، كانَ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حتَّى يدعها: إذا أؤتمِنَ خانَ، وإذا حدَّثَ كَذَب، وإذا عاهَدَ غَدَر، وإذا خَاصَم فَجر»
“Ada empat perkara, barang siapa pada dirinya terdapat empat perkara itu maka ia adalah seorang munafik tulen, dan apabila ada padanya beberapa di antara perkara itu, maka ada padanya sebagian sifat munafik sampai ia meninggalkannya; jika dipercaya ia khianat, dan jika berbicara ia bohong, dan jika ia berjanji ia ingkari, serta jika berselisih ia curang.”([1])
Pengkhianat Akan Membawa Bendara Para Pengkhianat Pada Hari Kiamat
Dari Ibnu Mas’ûd, dan Ibnu ‘Umar, serta Anas radhiyallaahu ‘anhum mereka berkata: “Nabi ﷺ bersabda:
«لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يوْمَ القِيامةِ، يُقَالُ: هذِهِ غَدْرَةُ فُلانٍ»
“Setiap pengkhianat nanti akan memiliki sebuah bendera([2]) di hari kiamat, dikatakan: “Ini adalah pengkhianatan si Fulân.”([3])
Dari Abû Sa’id al-Khudriy ﷻ, sesungguhnya Nabi ﷺ bersabda:
«لِكُلِّ غَادِرٍ لِواءٌ عِندَ إسْتِه يَوْمَ القِيامةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقدْرِ غدْرِهِ، ألا ولا غَادر أعْظمُ غَدْراً مِنْ أمير عامَّةٍ»
“Setiap pengkhianat memiliki bendera pada bagian belakangnya([4]) nanti pada hari kiamat, yang akan ditinggikan (bendera tersebut) sesuai dengan kadar pengkhianatan yang dilakukan, Ingatlah tiada seorang pengkhianat melebihi pengkhianatan seorang pemimpin masyarakat.”([5])
Pengkhianat Akan Menjadi Musuh Allah Pada Hari Kiamat
Dari Abû Hurairah ﷻ, dari Nabi ﷺ beliau bersabda:
« قَالَ اللهُ تعالى ثَلاثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يوْمَ القِيَامَةِ: رَجُلٌ أعطَى بي ثُمْ غَدَرَ، وَرجُلٌ باع حُراً فأَكل ثمنَهُ، ورجُلٌ استَأجرَ أجِيراً، فَاسْتَوْفي مِنهُ، ولَمْ يُعْطِهِ أجْرَهُ»
“Allâh berfirman: “Tiga orang yang menjadi musuh-Ku nanti pada hari kiamat; seorang yang berjanji kepada-Ku tetapi ia berkhianat (ia ingkari), dan seorang yang menjual orang merdeka, kemudian ia makan hasilnya, dan seorang yang memperkerjakan seorang buruh, tetapi ketika buruh itu meminta haknya ia menolak memberikan upahnya.” ([6])
Pengkhianat Mendapatkan Laknat Allah ﷻ
Nabi ﷺ bersabda,
«ذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا – أَيْ غَدَرَهُ وَنَقَضَ عَهْدَهُ – فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَدْلًا وَلَا صَرْفًا»
“Perlindungan (suaka) kaum muslimin itu satu, (dimana) orang-orang rendahan mereka (bisa) berupaya dengannya. Maka barangsiapa mengkhianati seorang muslim (mengkhianati dan melanggar perjanjiannya) maka wajib atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya ganti dan tebusan pada hari kiamat.”([7])
Adapun pengkhianatan terhadap orang kafir,
Maka Nabi ﷺ bersabda,
«مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Barangsiapa menzhalimi (kafir) mu’ahad([8]) atau mencelanya, atau membebaninya diatas kemampuannya, atau mengambil darinya sesuatu tanpa kerelaan jiwanya, maka aku adalah penuntutnya pada hari kiamat.”([9])
Nabi ﷺ bersabda,
«أَيُّمَا رَجُلٍ أَمَّنَ رَجُلًا عَلَى دَمِهِ ثُمَّ قَتَلَهُ فَأَنَا مِنْ الْقَاتِلِ بَرِيءٌ وَإِنْ كَانَ الْمَقْتُولُ كَافِرًا»
“Laki-laki mana saja memberikan (jaminan) keamanan terhadap seorang laki-laki atas darahnya, kemudian dia membunuhnya, maka aku berlepas diri dari sang pembunuh, sekalipun yang dibunuh adalah seorang kafir.” ([10])
Nabi ﷺ bersabda,
«مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهِدَةً بِغَيْرِ حَقٍّ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَ الْجَنَّةِ لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ مِائَةِ عَامٍ»
“Barangsiapa membunuh satu jiwa mu’ahid tanpa haq, maka dia tidak akan mencium aroma sorga, dan sesungguhnya aroma sorga benar-benar bisa di dapat dari jarak (perjalanan) seratus tahun.”([11])
Nabi ﷺ bersabda,
«مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا فِي عَهْدِهِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ»
“Barangsiapa membunuh kafir mu’ahid dalam perjanjiannya, maka dia tidak akan mencium aroma sorga, dan sesungguhnya aromanya benar-benar didapat dari perjalanan lima ratus tahun.”([12])
Nabi ﷺ bersabda,
«أَلَا مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدَةً لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللهِ فَلَا يَرِيحُ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ خَرِيفًا»
“Ketahuilah, barangsiapa membunuh satu jiwa mu’ahad, yang dia memiliki jaminan Allah, dan jaminan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah berkhianat terhadap jaminan Allah, maka dia tidak akan mencium baunya sorga, dan bahwa baunya benar-benar didapat dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun.”([13])
(Makalah Kajian Syarah Sullamuttaufik, Ust. Muhammad Syahri)
_______________________
Footnote:
([1]) HR. Al-Bukhârî (34) Muslim (58)
([2]) Ghadir dalah orang yang tidak menepati perjanjian. Liwa’ adalah bendera besar yang hanya dipegang oleh panglima perang, sedang para pasukan berada dibelakangya. Artinya: “Settiap pengkhianat itu memiliki tanda yang dikenali oleh setiap manusia.
([3]) HR. Muslim (1736) Al-Bukhârî (5823)
([7]) HR. al-Bukhari (6755), Muslim (470)
([8]) Yang mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin
([9]) Shahih, HR. Abu Dawud (3052), Ghayatul Maram (471)
([10]) Hasan, HR. Ibnu Hibban (5982), at-Thabraniy (I/210), Abu Nu’aim (al-Hilyah) (IX/24), al-Bukhari (at-Tarikh), at-Thahawi dalam al-Musykil (I/78), as-Shahihah (I/626)
([11]) Shahih, HR. Abu Dawud (2760), an-Nasa`iy (VIII/24), Ibnu Hibban (4881)
([12]) Shahih, HR. Ibnu Hibban (II/488), Abu Dawud (2760), an-Nasa`iy, Ghayatul Maram (449)
([13]) Shahih, HR. at-Turmudzi (1403), Ibnu Majah (2687), as-Shahihah (2356)