Berburuk Sangka Kepada Allah, & Hamba-Hamba Allah
al-‘Allaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Ba’alawiy rahimahullah berkata:
وَسُوْءُ الظَّنِّ بِاللهِ وَبِعِبَادِ اللهِ
“Berburuk Sangka Kepada Allah, dan Kepada Hamba-Hamba Allah, ”
Syarah:
Allah ﷻ berfirman:
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا 6
“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (QS. al-Fath: 6)
Dari Jâbir Ibnu ‘Abdillâh ﷻ, bahwasannya Rasûlullâh ﷺ bersabda –sebelum wafatnya kurang tiga hari-:
« لاَ يَمُوْتُنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ عزَّ وَجَلَّ »
“Jangan sekali-kali salah seorang kamu meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allâh ﷻ.”([1])
Dari Watsilah bin al-Asqa’ ﷻ, dia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bercerita hadits dari Allah jalla wa ‘ala, Dia berfirman,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِيْ فَلْيَظُنَّ بِيْ مَا شَاءَ
“Aku (ada) pada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, maka hendaknya dia berprasangka kepada-Ku sesukanya.”([2])
Nabi ﷺ pernah bersabda,
«قَالَ اللهُ جَلَّ وَعَلَا: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي إنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ»
“Allah ﷻ berfirman, ‘Aku (ada) pada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, jika dia berprasangka baik, maka baginya(lah kebaikan itu), dan jika dia berprasangka buruk, maka bagi(nyalah keburukan itu).”([3])
Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«أَكْبَرُ الْكَبَائِرِ سُوءُ الظَّنِّ بِاللهِ – عَزَّ وَجَلَّ -»
“Sebesar-besar dosa besar adalah berburuk sangka kepada Allah ﷻ.”([4])
Pernah diriwayatkan pula, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«أَمَرَ اللهُ ﷻ بِعَبْدٍ إلَى النَّارِ فَلَمَّا وَقَفَ عَلَى شَفِيرِهَا الْتَفَتَ فَقَالَ: أَمَا وَاللهِ يَا رَبِّ إنْ كَانَ ظَنِّي بِك لَحَسَنًا، فَقَالَ اللهُ ﷻ رُدُّوهُ، أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي»
“Allah ﷻ memerintahkan seorang hamba menuju neraka, maka tatkala dia berada di pinggir neraka, dia menoleh seraya berkata, ‘Adapun, demi Allah, wahai Rabb-ku, sesungguhnya persankaanku terhadap-Mu adalah benar-benar baik. Maka Allah ﷻ berfirman, ‘Kembalikan dia, aku berada pada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.”([5])
Adapun berburuk sangka kepada sesama hamba Allah ﷻ, maka Allah ﷻ berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al-Hujurat: 12)
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus. Tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللهِ إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”([6])
Amirul Mukminin Umar bin Khathab ﷻ, berkata,
وَلاَ تَظُنُّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ إِلاَّ خَيْراً، وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِيْ الْخَيْرِ مَحْمَلاً
“Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”([7])
Bakar bin Abdullah Al-Muzani rahimahullah berkata:
إِيَّاكَ مِنَ الْكَلاَمِ مَا إِنْ أَصَبْتَ فِيْهِ لَمْ تُؤْجَرْ، وَإِنْ أَخْطَأْتَ فِيْهِ أَثِمْتَ، وَهُوَ سُوْءُ الظَّنِّ بِأَخِيْكَ
“Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.([8])
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi rahimahullah berkata:
إِذَا بَلَغَكَ عَنْ أَخِيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ فَالْتَمِسْ لَهُ الْعُذْرَ جُهْدَكَ؛ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ لَهُ عُذْراً فَقُلْ فِيْ نَفْسِكَ: لَعَلِّ لِأَخِيْ عُذْراً لاَ أَعْلَمُهُ
“Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Sufyan bin Husain rahimahullah berkata,
ذَكَرْتُ رَجُلاً بِسُوْءٍ عِنْدَ إِيَاسٍ بْنِ مُعَاوِيَّةَ، فَنَظَرَ فِيْ وَجْهِيْ، وَقَالَ أَغَزَوْتَ الرُّوْمَ؟ قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَالسِّنْدُ وَالْهِنْدُ وَالتُّرْكُ؟ قُلْتُ: لاَ، قَالَ: أَفَتَسْلَمُ مِنْكَ الرُّوْمُ وَالسِّنْدُ وَالْهِنْدُ وَالتُّرْكُ، وَلَمْ يَسْلَمْ مِنْكَ أَخُوْكَ الْمُسْلِمُ؟! قَالَ: فَلَمْ أَعُدْ بَعْدَهَا
“Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu”([9])
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti rahimahullah bekata,
الْوَاجِبُ عَلىَ الْعَاقِلِ لُزُوْمُ السَّلاَمَةِ بِتَرْكِ التَّجَسُّسِ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ، مَعَ الاِشْتِغَالِ بِإِصْلاَحِ عُيُوْبِ نَفْسِهِ؛ فَإِنْ مَنْ اشْتَغَلَّ بِعُيُوْبِهِ عَنْ عُيُوْبِ غَيْرِهِ أَرَاحَ بَدَنُهُ وَلَمْ يُتْعِبْ قَلْبَهُ، فَكُلَّمَا اطَّلَعَ عَلىَ عَيْبٍ لِنَفْسِهِ هَانَ عَلَيْهِ مَا يَرَى مِثْلَهُ مِنْ أَخِيْهِ، وَإِنَّ مَنْ اشْتَغَلَّ بِعُيُوْبِ النَّاسِ عَنْ عُيُوْبِ نَفْسِهِ عَمِيَ قَلْبُهُ وَتَعِبَ بَدَنُهُ وَتَعَذَّرَ عَلَيْهِ تَرْكُ عُيُوْبِ نَفْسِهِ
“Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.([10])
(Makalah Kajian Syarah Sullamuttaufik, Ust. Muhammad Syahri)
_______________________
Footnote:
([1]) HR. Muslim (2877), Abu Dawud (3113)
([2]) Shahih, HR. Ibnu Hibban (634), Ahmad (16059), dishahihkan oleh al-Arnauth, lihat juga Shahiih al-Jaami’ (4316) al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (1/154)
([3]) Shahih, HR. Ahmad (III/491), Ibnu Hibban (II/639), al-Baihaqiy, Syu’ab (1005), al-Hakim (IV/240), as-Shahihah (1663)
([4]) Dha’if, HR. ad-Dailamiy dalam Musnad al-Firdaus (I/1472), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, Dha’if al-Jami’ (1088)
([5]) Dha’if, HR. al-Baihaqiy, Syu’ab (9236, 1015), ad-Dha’if (1255)
([6]) HR. Al-Bukhari (6064) Muslim (2563)
([7]) Disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullaah dalam tafsir surat Al-Hujurat
([8]) Tahdziib at-Tahdziib, 1/484
([9]) Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)
([10]) Raudhah Al-‘Uqala (hal.131)