- Keyakinan bahwa mengasapi rumah-rumah dengan bermacam-macam rerumputan akan bisa mengusir jin dan syetan, serta bisa menghilangkan ‘ain dan hasad.
Dan ini adalah sebuah keyakinan yang rusak.
Fadhilatussyaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang kebolehan pengasapan dengan tawas, rerumputan, atau dedaunan, yang semua itu dilakukan untuk orang yang tertima ‘ain.
Maka beliau rahimahullah menjawab, ‘Tidak boleh mengobati orang yang terkena ‘ain dengan apa yang telah disebutkan, dikarenakan ia bukanlah termasuk diantara sebab-sebab yang biasa dipakai untuk mengobatinya.
Dan kadang, tujuan dari pengasapan ini adalah untuk membuat syetan dan jin ridha, serta memohon bantuan mereka untuk penyembuhannya. Yang benar adalah bahwa ‘ain tersebut hanya diobati dengan ruqyah syar’iyyah dan semacamnya, dari perkara-perkara yang telah valid di dalam hadits-hadits yang shahih. (Fatawa 4393) selesai.
Terdapat juga orang yang datang kepada para dukun, kemudian dengannya mereka meminta pertolongan dalam mencari kesembuhan, atau untuk menolak ‘ain dan hasad, lalu sang dukun mendatangkan secarik kertas, lalu memintanya untuk membakarnya, kemudian menghirup asapnya.
Fadhilatussyaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya tentang ini, kemudian beliau menjawab, ‘Ini termasuk diantara khurafat-khurafat yang Allah tidak menurunkan pengaruh karenanya. Sementara kertas-kertas ini, kita tidak pernah tahu apa yang dituliskan padanya. Dan barangkali telah ditulis padanya kesyirikan dan kekufuran kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa oleh para dukun tersebut.
Maka diatas kondisi apapun, wajib bagi kalian untuk menjaga perkara semisal ini, dan wajib bagi kalian untuk bersandar kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Sebagaimana firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
وَإِن يَمسَسكَ ٱللهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يُرِدكَ بِخَيرٍ فَلَا رَآدَّ لِفَضلِهِۦۚ يُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَآءُ مِن عِبَادِهِۦۚ وَهُوَ ٱلغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ١٠٧
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yûnus (10): 107)
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
وَإِن يَمسَسكَ ٱللهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُۥٓ إِلَّا هُوَۖ وَإِن يَمسَسكَ بِخَيرٍ فَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيءٍ قَدِيرٌ ١٧
“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, Maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-An’am (6): 17)
Al-Khalil ‘alaihissalaam berkata, sebagaimana diceritakan oleh Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
وَإِذَا مَرِضتُ فَهُوَ يَشفِينِ ٨٠
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku.” (QS. as-Syu’araa` (26): 80)
Maka wajib bagi setiap muslim untuk bersandar kepada Allah di dalam mencari kesembuhan; dengan berdo’a, beribadah, serta bertadharru’ kepada Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Dia lah yang memiliki kesembuhan dan kesehatan. Adapun pergi kepada paranormal dan dukun, serta mengambil kertas-kertas dari mereka, lalu membakar dan menghirup asapnya, serta yang serupa dengan hal itu, maka ini adalah termasuk permainan-permainan syetan. Maka wajib bagi kalian untuk bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla, dan wajib bagi kalian untuk mengambil pengobatan yang dibolehkan oleh Allah subhaanahuu wa ta’aalaa. Dikarenakan,
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ دَوَاءً , عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ , وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Allah turunkan obat baginya; mengetahuinya orang yang mengetahuinya, dan bodoh tentangnya, orang yang bodoh tentangnya.” (al-Bukhari)([1])
(Diambil dari buku 117 Dosa Wanita Dalam Masalah Aqidah Dan Keyakinan Sesat, terjemahan kitab Silsilatu Akhthaainnisaa`; Akhtaaul Mar-ah al-Muta’alliqah bil ‘Aqiidah Wal I’tiqaadaat al-Faasidah, karya Syaikh Nada Abu Ahmad)
______________________
Footnote:
([1]) HR. Ahmad (3922), Ibnu Majah (3438), Ibnu Hibban (6062), Shahiih al-Jaami’ (1809), as-Shahiihah (452), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (3/464)-pent