Tidaklah shalat itu semata-mata sebuah ibadah yang hanya mengharap akhirat. Akan tetapi shalat itu berhubungan erat dengan kehidupan seorang muslim. Yaitu, menahannya dari kekejian dan kemungkaran, -sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-, serta mempengaruhi perjalanan hidupnya. Shalat adalah cerminan alam perbuatannya, jika baik atau rusak. Shalat memiliki dampak yang sangat besar bagi seorang muslim dalam kejujuran bermuamalah, menunaikan amanah, berbuat baik kepada tetangga, akhlak keseharian, mementingkan orang lain, dan menahan gangguan. Sehingga kebahagiaan, keserasian, serta kerukunan, bisa terwujud dalam rumah, keluarga, di jalan, masyarakat, bahkan pada tingkatan negara.
Jika seorang muslim berkeinginan kuat terhadap sebuah perkara yang penting, maka dia menyandarkannya pada shalat istikharah. Dia shalat dua rakaat, kemudian berdo’a kepada Rabb-nya agar mengilhaminya kebenaran, memudahkannya untuk melakukan kebiakan dalam agama, kehidupan dan hasil akhir urusannya. Juga meminta agar dihindarkan dari keburukan dalam urusan agama dan dunianya. Hal tersebut berdasarkan apa yang telah tetap dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu. Dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ – وَتُسَمِّيهِ بِاسْمِهِ – خَيْرًا لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي وَعَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ»
“Apabila salah seorang dari kamu bermaksud dalam satu urusan, maka hendaklah melakukan shalat sunnah dua rkaat. Kemudian berdo’a, ‘Ya Allah, sesungguhnya ku mohon petunjuk dengan pengetahuan-Mu, dan aku mohon kekuatan dengan kekuasaan-Mu, aku memohon kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui, serta Engkaulah Yang mengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa perkara ini –menyebutkan perkaranya- adalah baik untukku, dalam agamaku, kehidupanku dan akhir perkaraku, dalam urusanku yang dekat maupun di kemudian hari, maka takdirkanlah dan mudahkanlah perkara itu untukku, kemudian berkahilah ia untukku. Namun apabila Engkau mengetahui bahwa perkara ini adalah buruk bagiku, bagi kehidupanku dan dalam akhir urusanku, dalam urusanku yang dekat maupun yang di kemudian hari, maka palingkanlah ia dariku, serta palingkanlah diriku daripadanya. Dan takdirkanlah yang baik untukku di manapun ia berada, kemudian jadikanlah aku ridha terhadapnya.” ([1])
Jika terjadi gerhana, baik matahari maupun bulan, maka seorang muslim akan berlindung kepada Rabb-nya dengan cara mendirikan shalat dan berdo’a hingga gerhana tersebut sirna. Karena sesungguhnya Allah ﷻ sedang menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ,
«إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، وَلَكِنَّهُمَا آيَاتٌ مِنْ آيَاتِ اللهِ، يُخَوِّفُ بِهِمَا عِبَادَهُ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ، فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى يَنْكَشِفَ مَا بِكُمْ»
“Sesungguhnya matahari dan rembulan tidaklah gerhana karena kematian seseorang atau karena hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah sebagian tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Dengannya Allah menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Maka jika kalian melihat hal tersebut, shalatlah dan berdo’alah hingga sirna apa yang ada pada kalian.” ([2])
Dalam sebuah riwayat,
«فَادْعُوا اللهَ، وَكَبِّرُوا، وَصَلُّوا، وَتَصَدَّقُوا»
“Maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bershadaqahlah.” ([3])
Begitu pula, jika seorang muslim meninggal. Sanak saudara, orang-orang yang dicintai, dan orang-orang yang mencari pahala bersegeralah untuk melakukan apa yang wajib dilakukan atas saudaranya yang meninggal tersebut, dan di antaranya adalah dengan shalat jenazah.
Dan seorang hamba dalam keadaan seperti ini sangat membutuhkan rahmat dari Rabb-nya. Jika ia dishalati oleh empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka Allah akan memberikan syafaat-Nya kepada mereka di dalamnya. Hal tersebut terdapat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
«مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ»
“Tidaklah seorang muslim meninggal, kemudian berdiri shalat atas jenazahnya empat puluh orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, melainkan mereka akan diberikan syafaat (mereka) padanya (muslim yang meninggal).” ([4])
Dan dalam sebuah riwayat,
«مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، يَبْلُغُونَ أَنْ يَكُونُوا مِائَةً، فَيَشْفَعُونَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوا فِيْهِ»
“Tidak ada satu mayatpun yang shalat untuknya satu kelompok dari kaum muslimin, yang jumlah mereka mencapai seratus, kemudian mereka memberikan syafaat mereka kepada mayat tersebut, kecuali diberikan syafaat (mereka) padanya (si mayit).” ([5])
Kemudian di dalam shalat dua hari raya, penduduk negeri berkumpul untuk menunaikan shalat. Maka pada saat itu terdapat sebuah kesempatan untuk bertemu dan saling mengenal, menambah ikatan hati dan kecintaan, hingga Nabi ﷺ memilah-milah para mujahidin (untuk berperang) dari mushalla (lapangan shalat ‘ied). Hal ini berdasarkan riwayat Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu. Dia berkata,
«كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى المُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ، وَيُوصِيهِمْ، وَيَأْمُرُهُمْ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ» قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: «فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ … »
“Adalah Rasulullah ﷺ keluar pada hari raya Fithri dan Adhha menuju mushalla (lapangan shalat ‘ied). Dan yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, kemudian beliau berpaling dan berdiri menghadap manusia, sementara manusia duduk di barisan mereka masing-masing. Kemudian beliau menasihati mereka, mewasiati mereka, dan memerintah mereka. Maka jika beliau berkehendak untuk memilah pasukan, beliaupun memilahnya.([6]) Atau beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahnya. Kemudian beliau berpaling. Abu Sa’id berkata, “Dan orang-orangpun tetap dalam keadaan demikian (mengikuti petunjuk beliau dalam mengakhirkan khutbah setelah shalat)….”([7])
Akan tetapi (kita sekarang) sungguh sanat disayangkan tidaklah shalat ‘Ied itu menambah kepada kita kecuali permainan demi permainan dan kelalaian demi kelalaian.
Lalu jika hujan terputus, hewan-hewan sudah binasa dan jalan-jalan terputus, maka seorang muslim akan menyandarkannya kepada Rabb-nya dengan shalat dan do’a. Maka turunlah rahmat, dan manusiapun diberi minum.
Dari ‘Ibad bin Tamim dari pamannya radhiyallaahu ‘anhu,
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَقَلَبَ رِدَاءَ»
“Bahwa Nabi ﷺ pernah meminta hujan. Beliau shalat dua rakaat dan membalik selendangnya.” ([8])
Jika seorang hamba berbuat dosa, lalu dia pergi berwudhu’, memperbaiki wudhu’nya, kemudian berdiri lalu shalat dua rakaat. Dia beristighfar karena dosanya dari hati yang jujur, niscaya Allah ﷻ pun mengampuni dosanya.
Dari Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«مَا مِنْ عَبْدٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا فَيَتَوَضَّأُ، فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ يَسْتَغْفِرُ اللهَ لِذَلِكَ الذَّنْبِ إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُ»
“Tidak ada seorang hambapun yang berbuat sebuah dosa kemudian dia berwudhu’, lalu memperbaiki wudhu’nya, kemudian dia shalat dua rakaat. Dia memohon ampun kepada Allah bagi dosa-dosanya, kecuali Allah mengampunianya.” ([9])
(Dialih bahasakan oleh Muhammad Syahri dari kitab as-Shalaat Wa Atsaruhaa Fi Ziyaadatil Iimaan Wa Tahdziibin Nafsi, Syaikh Husain al-‘Awayisyah)
_____________________
Footnote:
([1]) HR. Al-Bukhari dan lainnya dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu.
([2]) HR. Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya.
([3]) Dari Shahiih al-Bukhari, Bab Shadaqah Saat Gerhana
([4]) HR. Imam Muslim, Ahmad dalam Musnadnya dan selain keduanya. Hadits dari Shahiih al-Jaami’, no. 5647.
([5]) HR. Imam Muslim, Ahmad dalam Musnadnya dan selain keduanya. Hadits dari Shahiih al-Jaami’, no. 5662.
([6]) Maksudnya, mengeluarkan satu kelompok pasukan menuju satu arah sebagaimana dalam Fathul Baariy.
([7]) HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan selain mereka. Lihat kitab Shalaatul ‘Iidain Fil Mushalla Khaarijal Balad Hiya as-Sunnah, karya guru kami Syaikh al-Albaniy rahimahullaah, hal 18, cetakan kedua Maktab al-Islamiy. Di dalam kitab tersebut beliau berkata, ‘Dan di dalamnya terdapat isyarat yang kuat, bahwa sahnya khutbah ‘Ied tidaklah terbatas pada nasihat dan petunjuk saja, akan tetapi berisikan pengingatan dan arahan kepada segala sesuatu yang di dalamnya terdapat realisasi kebaikan ummat.”
([8]) Dari Shahiih al-Bukhari, Bab Shalat Istisqa` Dua Rakaat.
([9]) HR. Ahmad dalam Musnadnya, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, Hadits dari Shahiihul Jaami’, no. 5614.