7. Kesalahan sebagian para pemalas
Dimana mereka duduk-duduk di dalam masjid, menyibukkan diri dari shalat tarawih dengan berbicara atau duduk, hingga jika imam ruku’, maka mereka masuk bersamanya di dalam shalat. Maka perbuatan ini, di dalamnya terdapat perbuatan meninggalkan ikut imam, serta ketinggalan takbiratul ihram dan bacaaan al-Fatihah. Maka dimanakah mereka dengan sabda Nabi ﷺ yang telah valid di dalam as-Shahiihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu,
«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
“Barangsiapa mendirikan (shalat malam pada) bulan Ramadhan karena iman dan berharap pahala, maka akan diampuni untuknya apa yang telah berlalu dari dosanya.”([1])
Maka perbuatan tersebut tidak layak bagi orang yang ingin kebebasan dari api neraka di bulan pilihan ini. Dan janganlah pemalas ini melupakan sabda al-Habiib al-‘Adnaan ﷺ,
وَإِنَّ الرَّجُلَ يَخْرُجُ مِنْ صَلَاتِهِ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا النِّصْفُ أَوِ الرُّبُعُ حَتَّى عَدَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِلَى الْعُشُرِ
“Dan sesungguhnya seseorang keluar dari shalatnya sementara tidak ditulis baginya (bagian pahala dari shalatnya) melainkan separuh, atau seperempat, hingga Nabi ﷺ menghitungnya sampai sepersepuluh.”([2])
Maka hendaknya setiap orang dari kita sangat memperhatikan takbiratul ihram, menjaga pelaksanaan shalat di shaf yang pertama, memperbagusi shalatnya, hingga keluar dengan pahala yang sempurna insyaallaah.
8. Melihat mushaf di dalam shalat saat bacaan imam di dalam shalat tarawih.
Ini banyak terjadi di Masjidil Haram dan masjid-masjid besar juga. Tujuan dari perbuatan tersebut adalah mengikuti (menyimak) imam.
Maka pada perbuatan, terdapat sejumlah kesalahan; diantaranya banyak bergerak dengan kedua tangan dan dengan pandangan mata; diantaranya adalah meninggalkan sunnah menggenggam(kan tangan kanan di atas tangan kiri), serta meletakkan tangan di atas dada; diantaranya tidak melihat tempat sujud. Dan perbuatan ini, dengan perannya, bisa menghantarkan kepada ketidak khusyu’an di dalam shalat yang kekhusyu’an itu adalah tujuan dan roh shalat.
Ia juga bertentangan dengan firman Allah subhaanahu wata’aalaa,
وَقُومُواْ لِلهِ قَانِتِينَ
“… dan berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. al-Baqarah (2): 238)
Dan bertentangan dengan sabda ar-Rasuul al-Amiin ﷺ,
«إِنَّ فِي الصَّلَاةِ لَشُغْلًا»
“Sesungguhnya di dalam shalat benar-benar ada kesibukan.” (HR. al-Bukhari, Muslim)([3])
Peringatan:
Pertama, jika salah seorang makmum membawa mushaf di belakang imam, dan tujuannya adalah untuk mengingatkan imam jika dia salah, maka yang demikian itu dibolehkan. Adapun selainnya, maka tidak boleh baginya membawa mushhaf di dalam shalat. Bahkan seharusnya dia diam mendengarkan bacaan imam.
Kedua, Tidak mengapa bagi imam untuk membaca al-Qur`an dari mushhaf di dalam Ramadhan. Dalil yang demikian adalah riwayat yang dikeluarkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq, dan as-Syafi’iy memaushulkannya di dalam Musnadnya,
كَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذِكْوَانُ مِنَ الْمُصْحَفِ
“Adalah ‘Aisyah, diimamami oleh budaknya, Dzikwan, (dengan membaca) dari mushhaf.”
Sekalipun atsar ini shahih, hanya saja tidak boleh dijadikan sebagai sunnah, lalu ia menjadi pokok. Tidak, bahkan ini ada pada tidak adanya itqan hafalan imam, atau saat tidak hadirnya imam yang hafizh… Dan juga udzur-udzur lain yang membolehkan membaca dari mushhaf, bersamaan dengan mengambil pelajaran bahwa hukum asal membaca al-Qur`an di dalam shalat adalah dari (hafalan yang tersimpan di dalam) dada.
9. Sebagian orang melakukan perekaman suara imam saat shalat tarawih.
Maka Anda akan mendapati salah seorang dari mereka jika ruku’ dia mematikan alat perekam. Dan jika dia bangkit dari sujud, dia mengawali pembukaannya. Maka pekerjaan ini bukanlah termasuk kemashlahatan shalat, atau termasuk amal-amal shalat. Dan jadilah pikiran dia, dan anggota tubuhnya tersibukkan dengan alat perekam. Lalu dia tidak perhatian terhadap shalatnya, tidak juga kepada bacaan imam sedikitpun.
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthoo-unaa Fii Ramadhaan, Syaikh Nada Abu Ahmad)
___________________________________
Footnote:
([1]) HR. al-Bukhari dan Muslim
([2]) Diriwayatkan oleh Abu Dawud (796), dan dihasankan oleh al-Albaniy dalam Shahiih al-Jaami’ (1626) dengan lafazh:
«إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا»
“Sesungguhnya seorang laki-laki, benar-benar dia selesai (dari shalatnya) sementara tidak dituliskan untuknya (bagian dari pahala shalatnya) melainkan sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya.”-pent
([3]) HR. Al-Bukhari (1158), Muslim (538), Abu Dawud (923), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (18/66)-pent