Sebagian wanita, jika haid di dalam bulan Ramadhan, dia berpuasa sepanjang hari hingga beberapa saat sebelum maghrib, lalu mereka minum seteguk air, atau memakan satu suapan (mereka melukai puasa mereka, sebagaimana yang mereka katakan), dan ini adalah bid’ah. Maka wanita haidh tidak boleh berpuasa, dan jika dia berpuasa, maka dia berdosa, dan tidak diberi pahala. Akan tetapi boleh baginya untuk makan, minum, lalu mengqadha’ apa yang dia tinggalkan setelah bulan Ramadhan. Dan inilah kesepakatan kaum muslimin.
Al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan hadits dari Abu Sa’ide al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا»
“Bukankah jika dia haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa? Maka itulah kekurangan agamanya.” ([1])
Dan barangkali wanita tersebut haidh, kemudian dia suci di tengah hari, lalu dia menahan diri (dari pembatal puasa) di sisa hari tersebut; dan ini juga tidak boleh.
‘Abdurrazzaaq di dalam Mushannafnya telah mengeluarkan hadits dari Ibnu Juraij rahimahullah, dia berkata:
قُلْتُ لِعَطَاءٍ: الْمَرْأَةُ تُصْبِحُ حَائِضًا، ثُمَّ تَطْهُرُ فِي بَعْضِ النَّهَارِ أَتُتِمُّهُ؟ قَالَ: «لَا هِيَ قَاضِيَةٌ»
“Kukatakan kepada ‘Atha`, “Seorang wanita di pagi hari dalam keadaan haidh, kemudian dia suci di sebagian siang hari, maka apakah dia menyempurnakan puasanya?” Dia berkata, “Tidak, dia nanti akan mengqadha’.” ([2])
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah bi an-Nisaa`, Syaikh Nada Abu Ahmad)
_____________________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Al-Bukhari (298), Muslim (79), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (24/89)-pent
([2]) HR. ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (1292)-pent