7. Mengulangi shalat witir dalam satu malam
Dan di antara manusia ada yang shalat witir lebih dari sekali dalam satu malam… dia shalat bersama imam dan witir bersamanya, kemudian dia shalat sendirian setelah itu, lalu witir sekali lagi setelah shalat; dan ini adalah sebuah kesalahan.
Dan yang benar adalah tidak shalat witir dalam satu malam kecuali sekali.
Dari Thalq bin ‘Aliy radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا وِتْرَانِ فِيْ لَيْلَةٍ»
“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-iy) ([1])
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata dalam Ma’aalimu as-Sunan (2/141), “Makna hadits adalah bahwa barangsiapa telah shalat witir, kemudian tampak baginya bahwa dia akan shalat lagi setelah itu, maka dia tidak mengulang shalat witir, dan ia adalah pendapat jumhur ulama.”
Al-‘Iraqiy rahimahullah berkata, “Kepada pendapat yang demikianlah mayoritas para ulama berpendapat, lalu mereka berkata, ‘Sesungguhnya barangsiapa telah shalat witir, lalu dia ingin shalat setelah itu, maka dia tidak membatalkan witirnya, kemudian dia shalat genap-genap hingga subuh.” ([2])
Peringatan:
1) Disunnahkan dengan sepakat untuk menjadikan witir di akhir shalat sunnah yang dilakukan di malam hari.
Dan yang demikian itu berdasarkan hadits yang telah dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا»
“Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat witir.” ([3])
Akan tetapi barangsiapa khawatir tidak bisa terjaga untuk shalat witir di akhir malam, maka disunnahkan baginya untuk shalat witir sebelum tidur sebagaimana telah berlalu bersama kita pembahasannya.
2) Yang paling utama bagi orang yang shalat tarawih bersama imam adalah shalat witir bersamanya.
Yang demikian itu berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan selainnya dari Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا، حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنَ الشَّهْرِ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ، وَقَامَ بِنَا فِي الخَامِسَةِ، حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ، فَقُلْنَا لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ؟ فَقَالَ: «إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ»
“Kami dulu berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak shalat (tarawih) bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan (Ramadhan). Lalu beliau berdiri shalat (tarawih) bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Kemudian beliau tidak shalat bersama kami pada hari yang keenam (dari sisa Ramadhan). Kemudian beliau berdiri shalat bersama kami pada hari yang kelima (dari sisa Ramadhan) hingga berlalu separuh malam. Lalu kami katakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, andaikan saja Anda menambahkan untuk kami (shalat sunnah) pada sisa malam kita ini? Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya barangsiapa shalat bersama imam hingga imam berpaling (selesai dari shalat) maka ditulis untuknya shalat sepanjang malam.” (al-Albaniy berkata, ‘Shahih) ([4])
Dan barangsiapa telah shalat witir lalu dia ingin shalat di akhir malam, maka hendaknya dia shalat genap-genap tanpa witir karena larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari yang demikian, sebagaimana telah berlalu pada poin yang terdahulu.
Dan sebagaimana telah datang di dalam hadits Thalq radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لَا وِتْرَانِ فِيْ لَيْلَةٍ»
“Tidak ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi seraya berkata, “Hadits Hasan.”) ([5])
Telah diriwayatkan dari Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu, bahwa dia pernah berkata:
أَمَّا أَنَا فَإِنِّيْ أَنَامُ عَلَى فِرَاشِيْ، فَإِنْ اسْتَيْقَظْتُ صَلَّيْتُ شَفْعًا حَتَّى الصَّبَاحِ.
“Adapun aku, maka aku tidur di atas ranjangku, maka jika aku terjaga, akupun shalat genap hingga subuh.” ([6])
Dan adalah Sa’iid bin al-Musayyab biasa melakukannya.
Dan barangsiapa telah shalat bersama imam shalat tarawih dan witir, lalu dia suka untuk witir di akhir malam, maka jika Imam salam, dia tidak ikut salam bersama imam, kemudian dia berdiri untuk mendatangkan satu rakaat yang lain, yang akan mengenapkan shalatnya bersama imam dengan satu rakaat tersebut. Yang demikian telah diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu.
Telah datang di dalam kitab al-Mughniy (2/164) tentang witir, “Jika dia telah shalat bersama imam, dan ingin mengikutinya di dalam witir, lalu dia ingin witir di akhir malam, maka jika imam salam, dia tidak salam bersama imam, kemudian berdiri satu rakaat yang dengannya dia menggenapkan shalatnya bersama imam. Dia menentukannya kemudian berkata dari Imam Ahmad, “Menggenapkan shalat bersama imam dengan satu rakaat lebih kusukai.” Selesai.
Dengan cara ini, makmum mendapatkan shalat bersama imam hingga selesai sekaligus dia menjadikan witir pada akhir shalatnya di malam hari.
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)
_____________________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. An-Nasa-iy (1679), Abu Dawud (1439), Ahmad (16339), at-Tarmidzi (470), lhat Shahiih al-Jaami’ (7567), al-Arnauth berkata, “Sanadnya hasan.” Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/156)-pent
([3]) HR. Al-Bukhari (953), Muslim (751), Abu Dawud (1438), Ahmad (4710), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/108)-pent
([4]) HR. At-Tirmidzi (806), Ibnu Majah (1327), Abu Dawud (1375), an-Nasa-iy (1364), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (37/8)-pent
([5]) HR. An-Nasa-iy (1679), Abu Dawud (1439), Ahmad (16339), at-Tarmidzi (470), lhat Shahiih al-Jaami’ (7567), al-Arnauth berkata, “Sanadnya hasan.” Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/156)-pent
([6]) HR. Abdurrazzaaq dalam al-Mushannaf (4615) dengan redaksi:
أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ عَلَى وِتْرٍ، فَإِنِ اسْتَيْقَظْتُ صَلَّيْتُ شَفْعًا حَتَّى الصَّبَاحِ
“Adapun aku, maka aku tidur di atas shalat witir (shalat witir kemudian tidur), maka jika aku terjaga, akupun shalat genap-genap hingga subuh.”