6. Keyakinan bahwa tidak ada shalat witir kecuali di akhir malam.
Yang benar adalah bahwa kita boleh shalat witir di waktu yang mana saja dari waktu-waktu malam; dari sejak setelah shalat ‘Isyak hingga shalat fajar. Dan yang demikian itu berdasarkan hadits yang telah valid bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلَاةٍ، وَهِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ، وَهِيَ الْوِتْرُ، فَجَعَلَهَا لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ الْعِشَاءِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ»
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla telah menyediakan untuk kalian satu shalat, yang ia lebih baik bagi kalian daripada onta merah, ia adalah shalat witir, maka Dia menjadikann untuk kalian (pelaksanaannya) antara shalat isya’ hingga terbitnya fajar.” (HR. Abu Dawud dan a-Tirmidzi) ([1])
Al-Albaniy rahimahullah berkata di dalam al-Irwa` (423), ‘Shahih tanpa sabda beliau, ‘Ia lebih baik untuk kalian daripada onta merah.’
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata,
«مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ، وَأَوْسَطِهِ، وَآخِرِهِ، فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ»
“Dari setiap malam, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berwitir; dari awal malam, pertengahan malam, dan akhir malam, maka berhentilah witir beliau hingga waktu sahur.” (al-Bukhari Muslim) ([2])
Akan tetapi yang paling utama adalah di akhirkannya shalat witir hingga di akhir malam (yaitu pada sepertiga malam yang terakhir dari waktu malam) dan yang demikian berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha yang telah berlalu.
Dan juga telah valid di dalam Shahiih Muslim dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
«أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ، ثُمَّ لِيَرْقُدْ، وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ، فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ»
“Siapa saja di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaknya dia berwitir kemudian hendaknya dia tidur. Dan barangsiapa yakin dengan bangun malam maka hendaknya dia berwitir di akhir malam. Dikarenakan bacaan di akhir malam dihadiri, dan yang demikian itu lebih utama.” ([3])
Dan di dalam sebuah riwayat:
«مَنْ خَافَ مِنْكُمْ أَنْ لَا يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ، فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِهِ، وَلْيَرْقُدْ، وَمَنْ طَمِعَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَيْقِظَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ؛ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ، فَذَلِكَ أَفْضَلُ»
“Barangsiapa di antara kalian khawatir tidak bisa terjaga di akhir malam, maka hendaknya dia witir di awal malam, lalu hendaknya dia tidur. Dan barangsiapa di antara kalian berharap kuat bisa terjaga di akhir malam, maka hendaknya dia witir di akhir malam, dikarenakan shalat di akhir malam dihadiri, dan yang demikian itu lebih utama.” ([4])
Dari Abu Qatadah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu,
«مَتَى تُوتِرُ؟» قَالَ: أُوتِرُ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ، وَقَالَ لِعُمَرَ: «مَتَى تُوتِرُ؟» قَالَ: أَنَامُ ثُمَّ أُوتِرُ، فَقَالَ لِأَبِي بَكْرٍ: «أَخَذْتَ بِالْجَزْمِ» أَوْ بِالْوَثِيقَةِ، وَقَالَ لِعُمَرَ: «أَخَذْتَ بِالْقُوَّةِ»
“Kapankah engkau shalat witir?” Abu Bakar berkata, ‘Saya shalat witir sebelum tidur.” Lalu beliau bersabda kepada ‘Umar, “Kapankah engkau shalat witir?” Maka ‘Umar berkata, “Saya tidur, kemudian saya shalat witir.” Maka beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Engkau telah mengambil dengan kepastian atau dengan yang kokoh.” Dan beliau bersabda kepada ‘Umar, “Engkau telah mengambil dengan kekuatan.” (HR. Abu Dawud) ([5])
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)
_____________________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Abu Dawud (1418), at-Tirmidzi (452) dinyatakan shahiih lighairihi oleh al-Arnauth. Lihat Sunan Abu Dawud tahqiq al-Arnauth (2/558)-pent
([2]) HR. Al-Bukhari (951), Muslim (754), ‘Abdurrazzaq (4624), Ahmad (653) lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/104)-pent
([4]) HR. Ibnu Khuzaimah (1086), lihat al-Musnad al-Maudhu’iy al-Jaami’ Li al-Kutub al-‘Asyrah (12/101)-pent
([5]) HR. Ibnu Khuzaimah (1084), Abu Dawud (1434) dishahihkan oleh al-Albaniy . lihat al-Musnad al-Maudhuu’iy al-Jaami’ li al-Kutub al-‘Ashrah (12/102)-pent