Tidak pernah dinukil dari Nabi ﷺ, tidak juga dari seorangpun dari para sahabat beliau radhiyallaahu ‘anhum, -sepengetahuan saya- bernyanyi (bernada) dalam do’a; tidak pada do’a qunut, dan tidak juga pada selainnya. Saya khawatir apa yang dianggap baik oleh mayoritas para imam di masa belakangan ini sebagai sebuah perkara baru yang di ada-adakan (muhdast)!!⁽[1]⁾

Ibnu al-Hamaam rahimahullah berkata, “… saya tidak berpandangan konsep bernada di dalam do’a -sebagaimana yang dilakukan olah para qari’ di zaman ini- bersumber dari orang yang memahami makna do’a memohon. Dan tidaklah nada (nyanyian) dalam berdo’a itu melainkan semacam permainan. Dikarenakan seandainya pada realita kehidupan ditakdirkan ada orang yang meminta hajat kebutuhannya kepada seorang raja, lalu dia tunaikan permohonan dan permintaannya dengan konsep nada (nyanyian) padanya, dengan nada tinggi, rendah, taqriib, dan rujuu’ seperti nyanyian, maka pastilah permohonannya itu dinisbahkan kepada pengolok-olokan dan mempermainkan. Dimana  posisi memohon hajat keperluan adalah posisi mengiba bukan menyanyi.” Selesai. ⁽[2]⁾

Dia juga berkata di kitab yang sama, “Apa yang telah dikenal oleh manusia pada zaman ini, berupa mengalun-alunkan suara, dan berlebihan dalam teriakan, dan menyibukkan diri dengan konsep nada -yaitu pada do’a-  dengan menampakkan seni lantunan suara bukan dalam rangka menegakkan peribadatan, maka sesungguhnya hal itu tidak akan mengharapkan pengkabulan do’a, bahkan hal itu termasuk di antara perkara yang mengharuskan penolakan (doá).” Selesai. ⁽[3]⁾

(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)

_____________________________________________________________

Footnote:

^([1]) Shahiihu Fiqhi as-Sunnah, (1/392)

^([2]) Fathu al-Qadiir (1/370)

^([3]) Fathu al-Qadiir (1/261-263)