Dan dalil mereka dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan Abu Dawud bahwa Nabi H bersabda,
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
“Orang yang berhijamah dan yang menghijamah telah berbuka.”([1])
Akan tetapi yang rajih adalah bahwa hadits ini telah dinasakh.
Dan dalil nasakhnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa`iy di dalam al-Kubra, dan al-Baihaqiy dari Abu Sa’iid al-Khudriy I, dia berkata,
أَرْخَصَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ
“Nabi H memberikan rukhshah (keringanan) pada hijamah bagi orang yang berpuasa.”([2])
Imam Ibnu Hazm V, di dalam al-Muhalla (VI/204) memberikan komentar terhadap hadits ini dengan berkata, ‘Sanadnya shahih, maka wajib mengambil pendapat dengan hadits tersebut. Dikarenakan keringanan tersebut ada setelah penegasan, maka hal itu menunjukkan akan dinasakhnya hukum batal puasa dengan berbekam, sama saja bagi yang membekam ataupun yang dibekam.’ Selesai.
Termasuk diantara hadits yang menunjukkan hal ini juga adalah riwayat yang dikeluarkan oleh ad-Daraquthni, dan dishahihkan oleh al-Albaniy V dari Abu Sa’id al-Khudriy I, dia berkata,
رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْقُبُلَّةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“Rasulullah H memberikan keringanan pada ciuman dan berbekam bagi orang yang berpuasa.”([3])
Dan keringanan tersebut ada setelah adanya larangan.
Yang menunjukkan makna ini adalah riwayat ad-Daraquthni dari hadits Anas I, dia berkata,
أَوَّلُ مَا كُرِهَتِ الْحِجَامَةُ لِلصَّائِمِ أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ فَمَرَّ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَفْطَرَ هَذَانِ ثُمَّ رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ
“Awal kali tidak disukainya berbekam bagi orang yang berpuasa adalah bahwa Ja’far bin Abi Thalib berbekam sementara dia dalam keadaan berpuasa. Lalu Rasulullah H melewatinya, lantas beliau bersabda, ‘Kedua orang ini telah berbuka (batal puasanya). Kemudian Nabi H memberikan keringanan untuk berbekam bagi orang yang berpuasa.”([4])
Ad-Daraquthniy V berkata, ‘Para perawinya adalah tsiqah, dan aku tidak mengetahui adanya cacad baginya.’([5])
Bahkan Nabi H telah berbekam saat beliau sedang berpuasa, sebagaimana telah datang riwayatnya di dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas L,
«احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ»
“Nabi i berbekam sementara beliau dalam keadaan berpuasa.”([6])
Catatan:
- Dimakruhkan berbekam pada diri orang yang menjadi lemah karenanya.
Yang menunjukkan hal ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh al-Bukhari, yaitu bahwa pernah dikatakan kepada Anas bin Malik I,
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ؟ قَالَ: «لاَ، إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ»
“Apakah kalian memakruhkan bekam bagi orang yang berpuasa (di zaman Rasulullah H)? Dia menjawab, ‘Tidak, kecuali karena lemah.’([7])
- Masuk di dalam makna berbekam adalah mengambil sampel darah untuk analisis.
Hal ini tidak membatalkan puasa. Ibnu Baz V berkata, ‘Menyedot darah dengan tujuan analisis tidaklah merusak puasa.’([8])
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan – al-Akhthaa` al-Khaashshah Fii as-Shiyaam, Syaikh Nada Abu Ahmad)
___________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Abu Dawud (2367), at-Tirmidzi (774), Ahmad (22436), Ibnu Majah (1680), lihat Shahiih al-Jaami’ (1136), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al Masaanid (13/224)-pent
([2]) HR. An-Nasa`iy, al-Kubra (3228), al-Baihaqiy, al-Kubra (8269) dengan lafazh,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي الْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ
“Bahwasannya Nabi H telah memberikan keringanan pada bekam bagi orang yang berpuasa.”-pent
([3]) HR. ad-Daraquthni (2268), an-Nasa`iy (3224), Ibnu Khuzaimah (1966, 1969), at-Thabraniy, al-Ausath (2725), al-Baihaqiy (8060), al-Irwa` (931), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al Masaanid (13/230)-pent
([4]) HR. ad-Daraquthni (2260), al-Baihaqiy (8086), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam al-Irwa` (931), dan beliau berkata, ‘Faidah, hadits Anas ini jelas dalam menasakh hadits-hadits yang terdahulu, (yang berbunyi), ‘Yang membekam dan yang dibekam telah berbuka (batal puasanya’, maka wajib berpendapat dengannya, sebagaimana telah terdahulu dari Ibnu Hazm selesai.
Al-Baihaqiy berkata, ‘Lafazh rukhshah (keringanan) telah menunjukkan pendapat (nasakh) ini, dikarenakan yang mayoritas adalah bahwa keringanan itu adalah setelah adanya larangan. Wallaahu a’lam. Selesai. lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al Masaanid (13/227)-pent
([5]) Sunan ad-Daraquthniy (III/149)-pent
([6]) HR. Al-Bukhari (1955)-pent
([7]) HR. al-Bukhari (1940)-pent
([8]) Fataawaa Islaamiyah (II/133)-pent