Termasuk perkara yang menyebar diantara manusia adalah melafazhkan niat puasa. Ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi H, para sahabat beliau, para Tabi’in, tidak juga dilakukan oleh seorangpun dari Imam Empat, ataupun para salaf yang lain. Perbuatan tersebut adalah perkara baru, lagi bid’ah. Sementara tempat niat adalah di dalam hati, dan ia adalah maksud (tujuan untuk) beribadah.
Dan telah valid di dalam beberapa hadits bahwa Nabi H mensyaratkan peniatan puasa fardhu sebelum fajar. Dan makna tabyiit adalah mensengaja puasa, dan meniatkannya dengan hati bahwa dia akan berpuasa keesokan hari. Sebagaimana telah shahih dari Ummul Mukminiin Hafshah J, bahwa dia berkata, ‘Nabi H bersabda,
«مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ»
“Barangsiapa tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”([1]) (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ashhaabu as-Sunan)
Di dalam hadits tersebut terdapat lafazh tabyiitu as-shiyaam, dan maknanya adalah maksud hati, sebagaimana hal itu adalah zhahir makna yubayyitu. Wallaahu a’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah V berkata –sebagaimana disebutkan di dalam Majmuu’ah ar-Rasaa`il al-Kubra (I/243), ‘Tempat niat adalah hati, bukan lisan berdasarkan kesepakatan para imam kaum muslimin di dalam keseluruhan ibadah-ibadah; bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad,… dan selainnya.’ Selesai.
Ibnu al-Qayyim V berkata –sebagaimana disebutkan di dalam Ighaatsatu al-Lahfaan (I/137), ‘Maka setiap orang yang bertekad bulat untuk melakukan sesuatu, maka sungguh dia telah meniatkannya. Tidak mungkin bisa digambarkan dipisahkannya yang demikian dari niat. Karena sesungguhnya ia –yaitu tekad bulat- adalah hakikat niat. Maka tidak mungkin peniadaannya pada kondisi keberadaannya. Barangsiapa duduk untuk berwudhu`, maka dia telah berniat wudhu`. Atas dasar inilah, tidak disyari’atkan mengeraskan niat, dan orang yang mengeraskan niat adalah orang yang berbuat buruk. Dan seandainya dia meyakininya sebagai agama, dan beribadah kepada Allah dengan melafazhkannya, maka sungguh dia telah berbuat bid’ah.
Dikarenakan Nabi H dan para sahabat beliau belum pernah melafazhkan niat secara mutlak, dan yang demikian itu tidak pernah dihafal dari mereka. Dan seandainya hal itu disyariatkan, maka pastilah Allah akan menjelaskannya melalui lisan Rasul-Nya H. Kemudian, tidak ada disana kebutuhan untuk melafazhkan niat, dikarenakan Allah mengetahuinya.” (Lihat Zaad al-Ma’aad (I/196), Badaai’ al-Fawaa`id (III/186), as-Syarh al-Mumti’ (I/159)
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan – al-Akhthaa` al-Khaashshah Fii as-Shiyaam, Syaikh Nada Abu Ahmad)
___________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. An-Nasa`iy (2331, 2332), at-Thahawiy (3171), ad-Darimiy (1740), al-Baihaqiy (7988)-pent