Ini adalah sebuah kesalahan besar yang sebagian orang terjerumus di dalamnya. Dimana mereka tidak meniatkan puasa sejak malam hari (yaitu waktu antara terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar. Dan perbuatan ini bisa mencederai keabsahan puasa.
Yang demikian dikarenakan sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`iy dari hadits Hafshah J, bahwa Nabi H bersabda,
«مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ»
“Barangsiapa tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.”([1]) (Shahiihul Jaami’ (6538))
Di dalam riwayat yang lain,
لاَ صَوْمَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ
“Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa sejak malam hari.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Pada riwayat an-Nasa`iy dengan lafazh,
«مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ»
“Barangsiapa tidak meniatkan puasa sejak malam hari, maka tidak ada puasa baginya.”([2])
Catatan dan peringatan:
- Hadits yang terdahulu, tercacadkan dengan mauquf (ucapan sahabat), dan yang nampak adalah bahwa hadits tersebut termasuk diantara perkara yang tidak akan dikatakan dari arah pendapat, maka ia memiliki hukum marfu’ (diambil dari perkataan Rasulullah H).
- Peniatan puasa di malam hari dapat terealisasi bagi orang yang menyengajakan niatnya di waktu malam, dan menyantap makanan serta minuman (sahur) untuk berpuasa di keesokan harinya.
- Disyaratkan memperbaharui niat disetiap hari. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama; Abu Hanifah, as-Syafi’iy, dan satu riwayat dari Ahmad. Yang demikian itu berdasarkan hadits Hafshah J yang telah berlalu. Dan dikarenakan bahwa setiap hari puasa adalah satu ibadah yang berdiri sendiri, yang sebagiannya tidak terikat dengan sebagian yang lain. Dan tidak rusak dengan rusaknya sebagian yang lain.
Sementara Imam Malik, Zufar, dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat cukupnya sekali niat untuk keseluruhan bulan di awal bulan.
Namun pendapat pertama, yaitu pendapat jumhur adalah lebih rajih.
- Barangsiapa tidur sebelum rukyah hilal, lantas dia berkata, ‘Jika besok adalah bagian dari Ramadhan, maka saya berpuasa.’ Maka puasa orang ini sah. Dikarenakan hal ini bukanlah keragu-raguan di dalam niat puasa, namun ia hanyalah keraguan di dalam tetapnya bulan tersebut. Dan ini tidak mempengaruhi keabsahan puasa tersebut. (Ini adalah yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah V)
- Tidak disyaratkan meniatkan puasa sunnah di malam hari.
Yang demikian itu berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari ‘Aisyah J, dia berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ»
Nabi H masuk menemuiku di suatu hari. Lalu beliau bersabda, ‘Apakah kalian memiliki sesuatu?’ Maka kami menjawab, ‘Tidak.” Lantas beliau bersabda, ‘Maka sesungguhnya kalau demikian, aku berpuasa.’([3])
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah V berkata –sebagaimana disebutkan di dalam Syarhu al-‘Umdah (I/186), ‘Dan ini menunjukkan bahwa beliau menetapkan puasa di siang hari. Dikarenakan beliau bersabada fainnii shaa-imun (maka sesungguhnya aku berpuasa). Maka huruf fa` disini memberikan faidah sebab dan alasan. Maka jadilah maknanya, ‘Sesungguhnya aku berpuasa dikarenakan kalian tidak memiliki apa-apa (untuk dimakan)’. Dan sabda beliau fainni idzan shaa-imun, dan kata idzan, lebih terang lagi dalam penyebutan sebab daripada huruf fa`.’ Selesai.
Dan inilah yang difahami oleh para sahabat dari perbuatan Nabi H. Dan telah valid penetapan niat puasa sunnah di waktu siang dari Ibnu ‘Abbas L. Disebutkan di dalam Syarhu Ma’aaniy al-Aatsaar milik Imam at-Thahawiy dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Abbas L,
أَنَّهُ كَانَ يُصْبِحُ حَتَّى يُظْهِرَ ، ثُمَّ يَقُولُ وَاللهِ لَقَدْ أَصْبَحْتُ ، وَمَا أُرِيدُ الصَّوْمَ ، وَمَا أَكَلْتُ مِنْ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُنْذُ الْيَوْمِ ، وَلَأَصُومَنَّ يَوْمِي هَذَا
“Bahwa dia pernah ada di waktu subuh hingga zhuhur, kemudian dia berkata, ‘Demi Allah, sungguh di waktu pagi, aku tidak berkeinginan untuk puasa. Dan akupun tidak memakan makanan, tidak juga meminum minuman sejak awal hari ini, dan benar-benar aku akan berpuasa pada hariku ini.”([4])
Telah valid juga dari Abu ad-Darda` I. Imam al-Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq dengan bentuk jazm (memastikan) dan Imam ‘Abdurrazzaq telah memaushulkannya di dalam Mushannafnya dari Ummu ad-Darda` J, dia berkata,
أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ كَانَ يَجِيءُ بَعْدَمَا يُصْبِحُ، فَيَقُولُ: ” أَعِنْدَكُمْ غَدَاءٌ؟ فَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ، قَالَ: ” فَأَنَا إِذًا صَائِمٌ “
“Sesungguhnya Abu ad-Darda` biasa datang setelah subuh, lalu dia berkata, ‘Apakah kalian memiliki sarapan? Maka jika dia tidak mendapatkannya, dia berkata, ‘Jika demikian, maka aku berpuasa.”
Dan telah valid juga dari Ibnu Mas’ud, Abu Ayub, Hudzaifah, dan Abu Thalhah M.([5])
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan – al-Akhthaa` al-Khaashshah Fii as-Shiyaam, Syaikh Nada Abu Ahmad)
___________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Ibnu Khuzaimah (1933), Abu Dawud (2454), at-Tirmidzi (730), at-Thabraniy, al-Kabiir (337, 367), al-Baihaqiy, as-Shaghiir (1292) al-Kubra (7907), ad-Daraquthniy (2216)
[2] HR. An-Nasaiy (2334)-pent
([3]) HR. Muslim (1154), an-Nasa`iy (2330), Abu Dawud (2455), al-Hakim (25772)
([4]) Syarhu Ma’aaniy al-Aatsaar (3188)
([5]) HR. Al-Baihaqiy, al-Kubro (7919)