Keberatannya sebagian orang sakit, dan yang dalam bepergian untuk berbuka.
Termasuk diantara bentuk kesalahan adalah terus berpuasa pada kondisi safar atau sakit; terutama bersamaan dengan adanya kesulitan, atau adanya bahaya. Sementara Allah subhaanahu wata’aalaa telah memberikan keringanan kepada orang sakit, demikian juga kepada orang yang dalam perjalanan untuk berbuka pada siang hari Ramadhan. Dan disyari’atkan bagi keduanya untuk mengqadha` setelah Ramadhan.
Allah subhaanahu wata’aalaa berfirman,
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهرَ فَليَصُمهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَو عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّن أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللهُ بِكُمُ ٱليُسرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلعُسرَ
“… Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. al-Baqarah (2): 185)
Termasuk diantara kaidah yang diakui di dalam syari’at Islam adalah raf’ul haraj dan raf’ul masyaqqah (mengangkat kesulitan), dan bahwa Allah senang keringanan yang diberikan oleh-Nya di datangi sebagaimana Dia senang segala ketetapan-Nya didatangi.
Sebagaimana telah shahih pada riwayat Ibnu Hibban dari Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi ﷺ beliau bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
“Sesungguhnya Allah cinta, segala keringanan (yang diberikan oleh)Nya didatangai, sebagaimana Dia cinta segala ketetapan-Nya didatangi.” (Dishahihkan oleh al-Albaniy di dalam Shahiih Ibni Hibbaan (3568))([1])
Catatan:
Pertama, berkaitan dengan orang sakit, jika sakitnya ringan, tidak akan terpengaruh oleh puasa; seperti sakit kepala ringan, dan sakit gigi, maka tidak boleh baginya untuk berbuka. Adapun jika sakitnya bertambah dengan berpuasa dan itu memberatkannya, maka disunnahkan baginya untuk berbuka dalam hal ini, dan dimakruhkan baginya untuk berpuasa. Adapun jika puasa itu memberatkannya sampai kepada tingkatan yang kadang membuat kebinasaan, maka haram baginya untuk berpuasa, dan wajib baginya untuk berbuka. Hal ini berdasarkan firman Allah subhaanahu wata’aalaa,
وَلاَ تَقتُلُوا أَنْفُسَكُم
“… dan janganlah kamu membunuh dirimu…” (QS. an-Nisaa` (4): 29)
Kedua, berkaitan dengan musafir, jika dia berpuasa, maka puasanya sah.
Yang demikian itu berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha,
أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ؟ ، فَقَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
“Bahwasannya Hamzah bin ‘Amir al-Aslamiy berkata kepada Nabi ﷺ, ‘Apakah saya boleh berpuasa di dalam perjalanan?’ Maka beliau menjawab, ‘Jika kamu mau, maka berpuasalah, dan jika kamu mau maka berbukalah.”([2])
Ketiga, jika berpuasa bagi orang musafir memberatkannya, atau merintanginya dari melakukan kebaikan, maka berbuka baginya lebih utama. Dan jika berpuasa tidak memberatkannya, dan tidak merintanginya dari melakukan kebaikan, maka berpuasa baginya lebih utama. Dan jika berpuasa baginya memberatkannya dengan keberatan yang bisa membawa kepada kebinasaan, maka disinilah dia wajib berbuka dan haram baginya untuk berpuasa.
Pembicaraan ini masih akan berlanjut insyaallaah bersama dengan “Kesalahan-Kesalahan Khusus Berkaitan Dengan Shalat Tarawih.”
Waba’du,
Inilah akhir perkara yang mudah pengumpulannya di dalam risalah ini.
Kami memohon kepada Allah subhaanahu wata’aalaa, untuk menetapkan penerimaan baginya, dan agar Dia menerimanya dari kita dengan penerimaan yang baik. Sebagaimana saya memohon kepada-Nya subhaanahu wata’aalaa, agar dengannya Dia memberikan kemanfaatan kepada penyusunnya, pembacanya, dan kepada orang-orang yang turut membantuk mengeluarkan dan menyebarkannya… sesungguhnya Dialah Penolongnya, dan yang Maha Kuasa atasnya.
Demikianlah, kebenaran apapun yang ada di dalamnya, maka ia adalah berasal dari Allah semata. Dan segala kealpaan, kesalahan, ataupun kelupaan di dalamnya, maka ia adalah dari diri saya, dan dari syaitan. Sementara Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya. Dan demikianlah segala pekerjaan manusia, kesalahan dan kebenaran akan menimpanya; maka jika benar, berdo’alah kepada Allah agar menerima dan memberikan taufik; dan jika disana terdapat kesalahan, maka beristighfarlah untuk saya.
وَإِنْ وَجَدْتَ الْعَيْبَ فَسَدِّ الْخَلَلَا جَلَّ مَنْ لَا عَيْبَ فِيْهِ وَعَلَا
Jika Anda mendapatkan aib, maka tutupilah celat tersebut
Maka Maha Agung Dzat yang tidak ada cacat pada-Nya dan Maha Tinggi
Ya Allah, jadikanlah seluruh amal saya adalah amal shalih, dan ikhlash untuk mendapatkan wajah-Mu, dan janganlah Engkau jadikan satu bagianpun di dalamnya untuk seseorang (selain diri-Mu).
Dan segala puji bagi Allah, yang dengan segala nikmat-Nya, segala amal shalih menjadi sempurna.
Dan akhir dari seruan kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhannya alam semesta, semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat-Nya kepada Nabi kita Muhammad ﷺ, kepada seluruh keluarga dan sahabat beliau.
Demikianlah, wallaahu ta’aala a’laa wa a’lam.
سُبْحَانَكَ اللهم وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthoo-unaa Fii Ramadhaan, Syaikh Nada Abu Ahmad)
___________________________________
Footnote:
([1]) HR. Ibnu Hibban (354), al-Baihaqiy (5199), lihat Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (1060), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (1/165)
([2]) HR. Al-Bukhari (1841), Muslim (1121)-pent