Sungguh sebagian hadits-hadits telah mengkhususkan sebagian musibah-musibah ini dengan keberadaannya sebagai rahmat; di antaranya adalah:
Kehilangan anak.
Al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab dengan perkataannya Bab Fadhlu Man Maata Lahuu Waladun Fahtasaba (Bab keutamaan orang yang anaknya meninggal lalu dia berharap pahala) dan (bab) Qoulullaahi ‘Azza Wa Jalla Wa Basysyir as-Shaabiriin (Firman Allah azza wa jalla “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar.” Kemudian dia menyebutkan beberapa hadits, di antaranya:
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
«لَا يَمُوتُ لِمُسْلِمٍ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ فَيَلِجَ النَّارَ إِلَّا تَحِلَّةَ الْقَسَمِ»
“Tidak akan meninggal tiga anak dari seorang muslim lalu dia masuk Neraka kecuali (dia akan melewatinya dengan cepat seukuran) sekedar pembebasan sumpah (Allah di dalam al-Qur`an).
Berkata Abu ‘Abdillah (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari), “(Yaitu sumpah Allah dalam firman-Nya):
وَإِن مِّنكُم إِلَّا وَارِدُهَا
“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu…” (QS. Maryam: 71)
Dan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sejumlah wanita dari kalangan Anshar:
«لَا يَمُوتُ لِإِحْدَاكُنَّ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبَهُ إِلَّا دَخَلَتْ الْجَنَّةَ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ أَوْ اثْنَيْنِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَوْ اثْنَيْنِ»
“Tidaklah meninggal tiga orang anak dari salah satu di antara kalian, lalu dia berharap pahala, melainkan dia akan masuk Sorga.” Maka berkatalah seorang wanita dari mereka, “Atau dua orang anak, ya Rasulullah?” Maka beliau bersabda, “Atau dua orang anak.” ([1])
Dari Anas radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَا مِنْ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلَاثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ»
“Tidak di antara manusia yang muslim, yang meninggal ketiga anaknya yang belum berusia baligh melainkan Allah akan masukkan dia ke dalam Sorga dengan karunia dan rahmat-Nya kepada mereka.” ([2])
Ucapan al-Bukhari “Bab Keutamaan Orang Yang Anaknya Meninggal, Lalu Dia Berharap Pahala”, berkata az-Zain bin al-Muniir:
“Penulis mengungkapkan dengan kata fadhl (keutamaan) untuk mengumpulkan perbedaan yang ada di antara ketiga hadits yang dia sebutkan. Dikarenakan pada hadits yang pertama disebut “masuk Sorga”, pada hadits yang kedua disebut “terhalangi dari Neraka”, dan pada hadits yang ketiga terikat dengan “melewati Neraka (dengan cepat) sekedar untuk pembebasan sumpah”. Maka pada masing-masing dari hadits-hadits tersebut terdapat penetapan keutamaan bagi orang hal itu menimpanya. Lalu dikumpulkanlah hadits-hadits tersebut dengan dikatakan: “Masuk tidak mengharuskan hijab (penghalang dari api Neraka([3])). Maka di dalam penyebutan hijab terdapat faidah tambahan, dikarenakan ia mengharuskan masuk sejak awal.
Adapun hadits yang ketiga, maka yang dimaksud dengan al-wuluuj (masuk) disini adalah lewat di atas Neraka sebagaimana nanti akan datang pembahasannya tentangnya pada sabda beliau [إِلَّا تَحِلَّة الْقَسَم].
Dan orang yang lewat di atas Neraka Jahannam menjadi beberapa kelompok; di antar amereka ada orang yang tidak mendengar suara Neraka, dan mereka adalah orang-orang yang ketetapan Sorga dari Allah telah mendahului mereka sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur`an, maka bersama dengan hal ini, tidak ada saling menafikan antara wuluuj masuk dan hijab.
Nabi memberikan ungkapan dengan kata walad (anak, dalam bentuk mufrad, Tunggal) untuk mencakup satu orang atau lebih. Sekalipun hadits bab tersebut telah diikat dengan tiga atau dua orang anak. Akan tetapi telah ada pada sebagian jalurnya penyebutan satu orang…. Kemudian dia berkata, “Dan tidak ada sesutupun dari jalur ini perkara yang layak untuk berhujjah dengannya…”
Kemudian dia berkata, “Ketiga hadits ini lebih shahih dari ketiga hadits tersebut, akan tetapi penulis meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah sebagaimana akan datang dalam bab ar-Riqaaq secara marfu’, Allah azza wa jalla berfirman:
مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِن عِنْدِي جَزَاء إِذَا قَبَضْت صَفِيّه مِنْ أَهْل الدُّنْيَا ثُمَّ اِحْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّة
“Tidak ada balasan pahala di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika aku telah mencabut nyawa buah hatinya dari penduduk dunia lalu dia berharap pahala (dengannya) melainkan Sorga.”
Dan hal ini, masuk di dalamnya satu orang anak atau lebih. Dan ia adalah riwayat paling shahih yang telah diriwayatkan dalam hal yang demikian.
Dan sabda beliau [فَاحْتَسَبَ] yaitu bersabar seraya ridha dengan qadha’a (ketetpan) Allah, lagi berharap karunia-Nya. Dan di dalam hadits-hadits bab tidak terjadi pengikatan dengan yang demikian juga, seakan-akan beliau memberikan isyarat kepada apayang telah ada pada sebagian jalur-jalurnya juga. Sebagaimana di dalam hadits Jabir bin Samurah yang telah disebutkan sebelumnya.
Demikian juga di dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah, dan di dalam riwayat Ibnu Hibban dan an-Nasa-iy dari jalur Hafsh bin ‘Ubaidillah bin Anas dari Anas, dan dia merafa’kannya:
«مَنْ احْتَسَبَ مِنْ صُلْبِهِ ثَلَاثَةً دَخَلَ الْجَنَّةَ»
“Barangsiapa berharap pahala dari ketiga anak kandungnya (yang telah wafat), maka dia masuk Sorga.” (al-Hadits)
Dan riwayat Muslim dari jalur Suhail bin Abi Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu secara marfu’:
«لَا يَمُوتُ لِإِحْدَاكُنَّ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبهُمْ إِلَّا دَخَلَتْ الْجَنَّةَ
“Tidaklah meninggal tiga anak salah seorang dari kalian lalu dia berharap pahala (dengan meninggalnya) mereka, melaikan dia masuk Sorga.” (al-hadits)
Riwayat milik Imam Ahmad, dan at-Thabraniy dari hadits ‘Uqbah bin ‘Aamir, dan dia merafa’kannya:
«مَنْ أَعْطَى ثَلَاثَةً مِنْ صُلْبِهِ فَاحْتَسَبَهُمْ عَلَى اللهِ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ»
“Barangsiapa memberikan tiga anak kandungnya (ridha dengan kematian mereka) lalu dia berharap pahala kepada Allah (dari sebab kematian) mereka, maka Sorga menjadi wajib baginya.”
Dan di dalam kitab al-Muwaththa` dari Abu an-Nadhr as-Sulamiy dan dia merafa’kannya:
«لَا يَمُوتُ لِأَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ فَيَحْتَسِبهُمْ إِلَّا كَانُوا جُنَّةً مِنْ النَّارِ
“Tidaklah meninggal tiga orang anak milik salah seorang dari kaum muslimin, lalu dia berharap pahala (dengan kematian) mereka, melainkan mereka akan menjadi perisai dari api Neraka.” (al-Hadits)
Dan telah diketahui dari kaidah-kaidah syar’iy bahwa pahala tidak akan tersusun kecuali di atas niat. Maka harus ada pengikatannya dengan berharap pahala. Sementara hadits-hadits yang berisi mutlak dibawah kepada yang diikat. Akan tetapi al-Isma’iliy memberikan isyarat kepada adanya penentangan lafazh; dikatakan pada yang baligh ihtasaba (berharap pahala) dan pada yang masih kecil (belum baligh) iftaratha (anak meninggal belum baligh, mendahului di depan). Selesai.
Dan telah berkata demikian banyak dari kalangan ahli bahasa. Akan tetapi keberadaannya sebagai yang pokok tidak mengharuskan untuk tidak mempergunakan lafazh ini pada tempat lafazh yang ini. Bahkan Ibnu Duraid dan selainya telah menyebutkan [اِحْتَسَبَ فُلَان بِكَذَا] (dengan makna) dia memohon pahala di sisi Allah. Dan ini lebih umum dari pada keberadaannya untuk yang sudah dewasa atau yang masih kecil. Dan yang demikian telah valid di dalam hadits-hadits yang telah kami sebutkan, dan ia adalah satu hujjah bagi keabsahan penggunaan ini.
Perkataannya [وَقَوْل اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ] Dan firman Allah azza wa jalla “Dan beritakanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar”
Di dalam riwayat Karimah dan al-Ashiiliy [وَقَالَ اللهِ] “Dan Allah berfirman” dan yang dia inginkan dengannya adalah ayat yang ada pada surat al-Baqarah; dimana di dalamnya orang-orang yang bersabar telah disifati dengan firman-Nya subhaanahu wata’aalaa:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَة قَالُوا إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Orang-orang banyak yang jika satu musibah menimpa mereka, mereka berkata innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.”
Maka seakan-akan penulis ingin mengikat apa yang disebutkan secara umum di dalam hadits ini dengan ayat ini yang menunjukkan akan ditinggalkannya kegelisahan dan ketidak sabaran dengan keluh kesah. Dan lafzah musibah di dalam ayat tersebut, sekalipun bersifat umum, akan tetapi ia mencakup musibah dengan kehilangan anak, dan ia adalah bagian dari item-itemnya. ([4])
Dari Anas radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَا مِنْ النَّاسِ مِنْ مُسْلِمٍ يُتَوَفَّى لَهُ ثَلَاثٌ لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْثَ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ»
“Tidak seorang muslimpun dari kalangan manusia yang ketiga anaknya yang belum mencapai usia (baligh, lalu dituliskan untuk mereka) dosa wafat, melainkan Allah akan masukkan dia ke dalam Sorga dengan keutamaan rahmat-Nya kepada mereka.” ([5])
Sabda beliau [لَمْ يَبْلُغُوا الْحِنْث] “Mereka belum mencapai usia dosa”
Lalu penulis menafsirkannya dengan yang dimaksud adalah mereka belum mencapai usia melakukan dosa. Dia berkata, Dan selainnya tidak menyebutkannya demikian. Dan yang dihafal adalah yang pertama, dan maknanya adalah mereka belum mencapai usia baligh lalu dituliskan untuk mereka dosa-dosa.
Al-Khaliil berkata, “Anak kecil telah mencapai usia hintsa jika pena pencatat amal telah berjalan atasnya. Dan kata al-hintsu adalah adz-dzanbu (dosa). Allah subhaanahu wata’aalaa berfirman:
وَكَانُواْ يُصِرُّونَ عَلَى ٱلۡحِنثِ ٱلۡعَظِيمِ ٤٦
“Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar.” (QS. Al-Waqi’ah: 46)
Dan dikatakan yang dimaksud adalah sampai kepada masa dia akan dihukum dengan sumpahnya jika dia melanggar sumpah.
Ar-Raghib berkata, “Beliau mengungkapkan usia baligh dengan kata al-Hints tatkala manusia akan dihukum dengan apa yang dia kerjakan di dalamnya, berbeda dengan masa sebelumnya.” Dosa disini disebut secara khusus dikarenakan dosalah yang bisa dicapai dengan usia baligh, dikarenakan anak kecil yang belum baligh kadang dia akan diberi pahala. Dan dikhususkan penyebutan anak kecil di dalamnya dikarenakan rasa sayang padanya lebih besar, dan rasa cinta kepadanya adalah berat, dan rasa kasih kepadanya lebih berlimpah. Dan atas dasar ini, maka barangsiapa telah sampai usia baligh, maka orang yang kehilangannya tidak akan mendapatkan pahala yang telah disebutkan sekalipun secara umum, ada pahala dalam kehilangan anak.
Dengan pendapat inilah, banyak di antara para ulama berpendapat, dan mereka membedakan antara yang sudah baligh dan selainnya disebabkan oleh gambaran adanya kedurhakaan dari anak yang sudah baligh tersebut yang menharuskan tidak adanya rasa sayang, berbeda dengan anak kecil yang belum baligh; tidak digambarkan darinya kedurhakaan tersebut, jadi kedurhakaan itu bukanlah perkara yang dibicarakan.”
Az-Zain bin al-Muniir berkata, “Bahkan orang dewasa masuk di dalamnya dari jalur inti sari pembicaraan. Dikarenakan jika yang demikian telah valid pada anak-anak yang menjadi beban atas kedua orang tuanya, lalu bagaimana ahal itu tidak menjadi valid pada anak dewasa yang telah sampai pada masa kerja bersamanya, dan telah sampai kemanfaatan darinya, dan telah diarahkan kepadanya tuntutan-tuntuan hak kewajiban? Dia berkata, “Dan barangkali inilah rahasi penghilangan al-Bukhari pengikatan hal itu di dalam tarjamah (judul bab).” Selesai.
Yang menguatkan pendapat pertama adalah sabda beliau pada sisa hadits [بِفَضْلِ رَحْمَته إِيَّاهُمْ] “dengan karunia rahmat-Nya kepada mereka”, dikarenakan rahmat kepada anak-anak kecil lebih banyak karena tidak terjadinya dosa dari mereka. Lalu apakah semisal orang yang sampai usia baligh dalam keadaan gila dan terus dalam keadaan itu hingga mati masuk bergabung dengan golongan anak-anak kecil? Maka tentangnya ada peninjauan, dikarenakan keberadaan mereka yang tidak ada dosa bagi mereka mengharuskan penggabungan. Sementara keberadaan ujian dengan adanya mereka menjadi ringan dengan kematian mereka, mengharuskan ketidak adanya penggabungan mereka dengan anak-anak kecil. Dan tidak ada pengaitan di jalur-jalur hadits dengan adanya rasa sangat cinta dan tidak juga dengan tidak adanya cinta. Dan qiyas mengharuskan yang demikian karena ditemukan adanya kebencian sebagian manusia kepada anaknya dan kebosanannya kepada anaknya terutama orang yang dalam keadaan sempit. Akan tetapi dikarenakan anak adalah tempat sangkaan cinta dan kasing sayang, maka hukum itupun diberikan kepadanya sekalipun kemudian ada yang meyimpang pada sebagian individu.
Sabda beliau [إِلَّا أَدْخَلَهُ اللهِ الْجَنَّة] “melainkan Allah akan masukkan dia ke dalam Sorga”, maka di dalam hadits ‘Utbah bin ‘Abdillah as-Sulamiy pada riwayat Ibnu Majah dengan sanad hasan ada riwayat semisal hadits bab (ini), akan tetapi di dalamnya disebutkan:
«إِلَّا تَلَقَّوْهُ مِنْ أَبْوَاب الْجَنَّة الثَّمَانِيَة مِنْ أَيِّهَا شَاءَ دَخَلَ»
“Melainkan mereka akan menemuinya dari kedelapan pintu-pintu Sorga, dari yang mana saja yang dia kehendaki.”
Maka ini adalah sebuah tambahan atas kemutlakan masuk Sorga. Dan yang menguatkannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa-iy dengan sanad shahih dari hadits Mu’awiyah bin Qurrah dari bapaknya secara marfu’ di tengah hadits:
«مَا يَسُرُّكَ أَنْ لَا تَأْتِيَ بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ إِلَّا وَجَدْتَهُ عِنْدَهُ يَسْعَى يُفْتَحُ لَكَ»
“Tidakkah membuatmu senang, engkau nanti tidak akan mendatangi satu pintu dari pintu-pintu Sorga melainkan engkau akan mendaptinya di sisi pintu itu berupaya agar pintu itu dibukakan untukmu?”
Dan sabda beliau [بِفَضْلِ رَحْمَته إِيَّاهُمْ] “dengan karunia rahmat-Nya kepada mereka” maksudnya adalah dengan karunia Allah kepada anak-anak tersebut.
Ibnu at-Tiin berkata, “Dikatakan bahwa dhamir pada kata [رَحْمَته] adalah untuk sang ayah, karena keberadaannya yang menyayangi mereka (anak-anak) di dunia, maka diapun dibalas dengan rahmat di akhirat.” Dan pendapat yang pertama adalah yang lebih utama. Dan yang menguatkannya adalah apa yang ada pada riwayat Ibnu Majah dari rupa ini:
«بِفَضْلِ رَحْمَةِ اللهِ إِيَّاهُمْ»
“Dengan karunia rahmat Allah kepada mereka.”
Dan riwayat milik an-Nasa-iy dari hadits Abu Dzar:
«إِلَّا غَفَرَ اللهُ لَهُمَا بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ»
“Melainkan Allah akan ampuni mereka berdua dengan karunia rahmat-Nya.”
Dan riwayat milik at-Thabraniy dan Ibnu Hibban dari hadits al-Harits bin Uqaisy secara marfu’:
«مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوْتُ لَهُمَا أَرْبَعَةُ أَوْلَادٍ إِلَّا أَدْخَلَهُمَا اللهُ الْجَنَّةَّ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ»
“Tidak ada di antara dua orang muslim yang keempat anaknya meninggal dunia melainkan Allah akan memasukkan keduanya ke dalam Sorga dengan karunia Rahmat-Nya.”
Dan demikian di dalam hadits ‘Amr bin ‘Abasah, sebagaimana kami akan menyebutkannya sebentar lagi.
Al-Kirmaniy berkata, “Yang nampak, bahwa yang dimaksud dengan sabda beliau [إِيَّاهُمْ] “kepada mereka” adalah (kepada) jenis muslim yang anak-anak mereka meninggal dunia, bukan (kepada) anak-anak tersebut. Yaitu dengan karunia rahmat Allah bagi orang yang anak-anak mereka meninggal dunia.” Dia berkata, “Dan boleh dilakukan jam’ (penggabungan) karena keberadaannya sebagai nakirah pada bentuk nafi, maka menjadi umum.” Selesai.
Dan perkara yang dia klaim bahwa ia adalah yang nampak padahal bukan yang nampak, bahkan pada selain jalur ini ada riwayat yang menunjukkan bahwa dhamir tersebut kembali kepada anak-anak. Maka di dalam hadits ‘Maret bin ‘Abasah pada riwayat at-Thabraniy:
«إِلَّا أَدْخَلَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ هُوَ وَإِيَّاهُمْ الْجَنَّةَ»
“Melainkan Allah akan masukkan dia dengan rahmat-Nya, dia dan mereka (anak-anak) ke dalam Sorga.”
Dan di dalam hadits Abu Tsa’labah al-Asyja’iy yang telah berlalu penyebutannya:
«أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ»
“Allah akan memasukkan dia ke dalam Sorga dengan karunia rahmat-Nya kepada mereka.”
Beliau menyabdakannya setelah sabda beliau:
«مَنْ مَاتَ لَهُ وَلَدَانِ»
“Barangsiapa yang kedua anaknya meninggal dunia.” Maka jelaslah dengan yang demikian bahwa dhamir pada sabda beliau [إِيَّاهُمْ] adalah untuk anak-anak, bukan untuk orang tua. Wallaahu a’lam. ([6])
(30 Sababn Li Tanaali Rahmatillaahi Ta’aalaa, Abu Abdirrahman Sulthan ‘Aliy, alih bahasa Muhammad Syahri)
________________________________________
([2]) Muttafaqun ‘alaih, dan ini adalah lafazh al-Bukhari.
([3]) yaitu hijab yang disebutkan di dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu, bahwa kaum wanita berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Jadikanlah untuk kami satu hari (Anda memberikan nasihat kepada kami).” Lalu beliau memberikan nasihat kepada mereka seraya bersabda:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَ لَهَا ثَلاَثَةٌ مِنَ الوَلَدِ، كَانُوا حِجَابًا مِنَ النَّارِ»، قَالَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَانِ؟ قَالَ: «وَاثْنَانِ»
“Wanita mana saja yang ketiga anaknya meninggal, maka mereka akan menjadi hijab (penghalang) dari api Neraka.” Lalu berkatalah seorang Wanita, “Dua orang?” lantas beliau bersabda, “Dan dua orang.”
([4]) Fathul Baariy, Ibnu Hajar (IV hal. 273)
([5]) Muttafaqun ‘alaihi, dan ia adalah lafzh al-Bukhari
([6]) Fathul Baariy, Ibnu Hajar (IV/hal. 274)