عن عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar L, dia berkata, ‘Adalah Rasulullah ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. al-Bukhari Muslim)
Wahai hamba Allah,
1. Jika mudah bagi Anda untuk beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan dengan terus menerus berada di dalam masjid dengan ketaatan kepada Allah ﷻ, maka lakukanlah demi mencontoh Rasulullah ﷺ dalam hal tersebut dan dalam ketatan kepada Allah ﷻ.
Maka tinggallah terus menerus di dalam masjid untuk shalat, dzikir, membaca al-Qur`an dan ketaatan-ketaatan yang lainnya. Dan jadilah Anda di dalam i’tikaf Anda bersamaan dengan mengerjakan segala ketaatan, pemburu lailatul qadar.
Nabi ﷺ telah bersabda,
إنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Sesungguhnya aku beri’tikaf pada sepuluh hari yang pertama seraya mencari malam ini. Kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh hari yang tengah, kemudian akupun didatangi, lalu dikatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya ia (lailatul qadar) ada pada sepuluh hari yang terakhir. Maka barangsiapa suka diantara kalian untuk beri’tikaf, maka hendaknya dia beri’tikaf.’ Maka manusiapun beri’tikaf bersama beliau.” (HR. Muslim)
2. Beri’tikaflah pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan pada setiap tahun hingga Anda meninggal. Dan jika keluarga Anda, istri-istri, putri-putri Anda, atau selain mereka ingin beri’tikaf, maka tidak apa-apa.
Disebutkan di dalam sebuah hadits dari ibunda ‘Aisyah J, istri Nabi ﷺ, bahwasannya Nabi ﷺ,
كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Adalah beliau biasa beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari Ramadhan, hingga Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau.” (HR. al-Bukhari Muslim)
3. Jika Anda beri’tikaf di masjid, maka patuhilah perintah Allah di dalam beri’tikaf. Diantaranya adalah tidak menyentuh istri dengan syahwat, demikian juga wanita yang beri’tikaf, janganlah menyentuh suaminya dengan syahwat.
Allah ﷻ telah berfirman,
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُم عَٰكِفُونَ فِي ٱلمَسَٰجِدِ تِلكَ حُدُودُ ٱللهِ فَلَا تَقرَبُوهَا
“… (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya…” (QS. al-Baqarah (2): 187)
4. Jika Anda beri’tikaf di dalam masjid, maka janganlah keluar kecuali untuk sebuah hajat; seperti buang hajat, makan, minum, jika terhalang dari masjid, dan semacamnya.
Berdasarkan hadits dari ‘Urwah dan ‘Amrah binti ‘Abdirrahman, bahwa ‘Aisyah J, istri Nabi ﷺ berkata, adalah Rasulullah ﷺ,
لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
“Benar-benar beliau memasukkan kepada beliau kepadaku, sementara beliau berada di dalam masjid, lalu aku menyisir beliau. Dan adalah beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat, jika beliau sedang beri’tikaf.” (HR. al-Bukhari)
5. Jika Anda beri’tikaf di dalam masjid untuk taat kepada Allah, maka janganlah Anda keluar dari masjid, akan tetapi sibukkanlah diri Anda di dalam masjid dengan ketaatan, dan taqarrub kepada Allah ﷻ. Dan janganlah Anda sibukkan waktu Anda dengan ucapan kosong, atau menelphon pada selain ketaatan kepada Allah, dan semacamnya, dan janganlah Anda menjenguk orang sakit.
6. Jika Anda sudah tua misalkan, dan Anda menyangka telah dekat ajal Anda, maka perbanyaklah ketaatan demi memanfaatkan sisa-sisa umur Anda. Bahkan hendaknya perkara ini menjadi kebiasaan Anda, sekalipun Anda adalah seorang pemuda. Akan tetapi setiap kali Anda bertambah tua, maka sesungguhnya Anda telah mendekat kepada kematian. Maka jika mudah bagi Anda untuk beri’tikaf lebih dari sepuluh hari di akhir kehidupan Anda, maka lakukanlah.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah I, dia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Adalah Nabi ﷺ beri’tikaf pada setiap Ramadhan sebanyak sepuluh hari. Maka pada tahun yang beliau wafat di dalamnya, maka beliau beri’tikaf dua puluh hari.” (HR. al-Bukhari)
7. Jika tidak mudah bagi Anda untuk beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari Ramadhan semuanya, maka beri’tikaf pada sebagiannya; beri’tikaflah pada yang hari yang ganjil dari sepuluh malam yang terakhir; 21, 23, 25, 27, dan 19. Dan jika Anda tidak bisa beri’tikaf pada malam-malam ini, maka beri’tikaflah pada malam yang kedua puluh tujuh.
Jika Anda tidak bisa beri’tikaf pada malam kedua puluh tujuh, maka beri’tikaflah sekalipun sesaat di dalam masjid. Dikarenakan tidak disyaratkan bagi i’tikaf itu suatu zaman tertentu. Maka jika Anda masuk masjid, niatkanlah i’tikaf, satu jam, dua jam, atau lebih sedikit atau lebih banyak.
8. Wahai para wanita, jika Anda beri’tikaf di masjid, maka hindarilah fitnah, sama saja Anda memfitnah manusia, atau mereka memfitnah Anda. Dan bertakwalah kepada Allah dalam yang demikian.
9. Jika Anda beri’tikaf wahai seorang suami, maka boleh bagi istri Anda untuk mengunjungi Anda di dalam masjid untuk berbicara bersama Anda pada sedikit bagian waktu.
Berdasarkan hadits Shafiyah J, istri Nabi ﷺ,
أَنَّهَا جَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ، فِي الْمَسْجِدِ، فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً، ثُمَّ قَامَتْ
“Bahwa ia mendatangi Rasulullah ﷺ, mengunjungi beliau dalam i’tikaf beliau di dalam masjid pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, lalu dia berbicara di sisi beliau satu waktu, kemudian dia berdiri.” (HR. al-Bukhari Muslim)
Dan praktekkanlah metode Nabi ﷺ, maka wajib atas orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak juga menyaksikan jenazah.
Berdasarkan hadits ‘Aisyah J, dia berkata,
السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لَا يَعُودَ مَرِيضًا وَلَا يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلَا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلَا يُبَاشِرَهَا وَلَا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلَّا لِمَا لَا بُدَّ مِنْهُ وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا بِصَوْمٍ وَلَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي مَسْجِدٍ جَامِعٍ
“Yang sunnah atas orang yang beri’tikaf adalah untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak juga menyaksikan jenazah, tidak juga menyentuh dan mencumbui istrinya, tidak keluar untuk suatu hajat kecuali perkara yang harus dia lakukan. Dan tidak ada i’tikaf melainkan dengan puasa, dan tidak ada i’tikaf melainkan di masjid jami’.” (HR. Abu Dawud)
10. Jika Anda tidak beri’tikaf di dalam Ramadhan, maka beri’tikaflah pada sepuluh hari yang pertama dari bulan Syawal.
Berdasarkan hadits ‘Aisyah J, dia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
“Adalah nabi ﷺ beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari Ramadhan. Dan sayalah yang membuatkan untuk beliau tenda. Maka tatkala Zinab binti Jahsy melihat beliau, diapun memasang tenda yang lain. Maka tatkala Nabi ﷺ berada di waktu pagi, beliau melihat kemah-kemah yang lain. Maka beliau ﷺ bersabda, ‘Apa ini?’ maka diberitahukan kepada beliau. Lalu beliau ﷺ bersabda, ‘Apakah kalian menyangka bahwa aku ingin ketaatan dan kebaikan dengan tenda ini? Lalu beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan tersebut. Kemudian beliau beri’tikaf sepuluh hari dari bulan Syawal.” (HR. al-Bukhari)
(Pelajaran Kedua puluh empat Dari Kitab an-Nabiy Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallama fii Ramadhaan (Tsalaatsuuna Darsan), Syaikh Muhammad bin Syami bin Mutho’in Syaibah, dialih bahasakan oleh Muhammad Syahri)