Hukum Wanita Mengenakan Celana

Wanita Mengenakan Celana

Celana termasuk diantara ujian terburuk bagi banyak diantara kaum wanita –mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka-, ia adalah termasuk bentuk kedurhakaan yang menjadi umum. Celana, sekalipun dia menutupi aurat, namun ia mensifati (membentuk aurat) dengan bentuk yang membangkitkan hawa nafsu dan syahwat.

Telah disampaikan sebuah pertanyaan kepada Lajnah ad-Daa`imah lil Ifta` dibawah pimpinan yang mulia as-Syaikh ‘Abdil ‘Aziz bin Baz V,

Apakah boleh bagi wanita untuk mengenakan celana panjang sebagaimana kaum laki-laki?

Maka jawabannya adalah,

‘Tidak boleh bagi wanita mengenakan baju yang sempit, karena ia bisa membentuk tubuhnya, dan yang demikian itu menimbulkan fitnah (godaan). Dan kebanyakannya, celana panjang itu sempit dan membentuk bagian-bagian tubuh yang dibalut dan ditutupinya. Sebagaimana kadang wanita yang mengenakan celana panjang itu tengah menyerupai kaum laki-laki, sementara Nabi telah melaknat kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki.’

As-Syaikh Ibnu Jibrim V telah ditanya di dalam kitab an-Nukhbah min al-Fatawa an-Nisa`iyah, ‘Apa hukum memakai celana panjang bagi kaum wanita pada sisi selain suami-suami mereka?’

Maka beliau V menjawab, ‘Tidak boleh bagi seorang wanita, disisi selain suaminya untuk mengenakan baju semisal ini, dikarenakan baju itu akan memperjelas lekuk-lekuk tubuhnya. Sementara seorang wanita itu diperintah untuk mengenakan baju yang menutupi seluruh tubuhnya. Dikarenakan wanita itu adalah fitnah. Dan segala sesuatu yang memperjelas lekuk-lekuk tubuhnya, maka haram memakainya di sisi kaum laki-laki atau kaum wanita, atau mahram-mahram, atau selain mereka, kecuali kepada suami. Suami halal melihat kepada seluruh badan istrinya. Maka wanita tersebut tidak mengapa memakai baju yang tipis, atau sempit dan semacamnya disisi suaminya. Wallahu a’lam.

Telah dihadapkan sebuah pertanyaan kepada Fadhilatussyaikh Hamid bin ‘Abdillah –dosen Budaya dan Peradaban Islam di Fakultas Pendidikan Dasar di Kuwait, dan Khatib Masjid Dhahiyah as-Shabahiyah,

Jika diatas celana panjang dia memakai baju yang panjang hingga dibawah lutut, maka apakah boleh bagi dia memakainya? Dan apa nasihat Anda kepada kaum wanita yang mengenakan celana panjang lagi sempit, dan mengenakan celana jeans lalu pergi ke masjid, dan pasar-pasar dengan mengenakan penutup kepala, seraya mereka mengeklaim bahwa mereka adalah wanita-wanita yang berhijab.

Jawab: ‘Yang wajib bagi seorang wanita adalah bahwa tantang hijabnya, di harus mengamalkan firman Allah ,

[arabic-font]يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٥٩[/arabic-font]

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab (33): 59)

Dan makna ayat adalah bahwa Allah telah memerintah wanita-wanita mukminah untuk menjadikan diatas baju-baju mereka baju kurung, atau sejenis jubah yang menutupi seluruh tubuh dari atas baju-baju mereka.

Imam al-Qurthubi V berkata, ‘Al-Jalaabiib adalah bentuk jama’ dari jilbab, dan yang benar adalah baju yang menutupi seluruh tubuh.

Di dalam Shahih Muslim dari hadits Ummu ‘Athiyah J, dia berkata,

[arabic-font]قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ، قَالَ: «لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»[/arabic-font]

“Saya katakan, ‘Ya Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab.’ Maka beliau bersabda, ‘Hendaknya saudarinya mengenakan untuknya (meminjamkan kepadanya) jilbabnya.”([1])

Di dalam kamus disebutkan bahwa jilbab adalah apa yang dengannya dia menutupi bajunya dari atas, seperti jubah (yang menyelimuti seluruh tubuh). Dan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim tersebut adalah dalil bahwa tidak halal bagi seorang wanita untuk keluar dari rumahnya tanpa jilbab.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah J, dia berkata,

[arabic-font]«إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ، فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ، مَا يُعْرَفْنَ مِنَ الْغَلَسِ»[/arabic-font]

“Adalah Rasulullah benar-benar shalat subuh, lalu kaum wanita berpaling (pulang dari masjid) dengan berselimutkan jubah-jubah (dari wol) mereka. Mereka tidak dikenal karena ghalas (gelap akhir malam, awal pagi).”([2])

Al-Khaththabiy V berkata, ‘al-Muruth, adalah jubah-jubah yang dipakai.’([3])

Dengan ini diketahui bahwa wajib bagi wanita untuk mengenakan jilbab diatas baju mereka saat keluar dari rumahnya, dan tidak boleh baginya untuk mengenakan celana panjang. Ia berdosa dengannya. Ini jika celana panjang itu lebar. Adapun jika celana panjang itu sempit, maka lebih keras lagi dosanya. Karena celana sempit itu akan membentuk lekuk tubuhnya, dan menampakkan bagian-bagiannya yang menggoda, maka diapun berdosa dengan berlipat-lipat ganda; dosa karena menyelisihi perintah Allah untuk mengenakan jilbab; dosa karena telah membuat kaum laki-laki tergoda dengan pakaian sempitnya; dan dosa akibat pandangan laki-laki kepada mereka. Wanita tersebut bersekutu di dalam dosa bersama dengan setiap laki-laki yang melihat kepadanya dengan syahwat, karena wanita itu telah mengajaknya untuk berzina mata dengan pakaiannya yang menggoda.

Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka ada dosa atasnya, dan dosa setiap orang yang mengamalkannya hingga hari kiamat.

Beberapa peringatan:

  1. Tidak mengapa seorang wanita mengenakan celana panjang untuk suaminya, selagi dia tidak menyerupai pakaian laki-laki.
  2. Wanita tidak boleh keluar dengan mengenakan celana panjang di hadapan para mahram, lebih-lebih lagi orang-orang asing.
  3. Tidak mengapa bagi seorang wanita untuk mengenakan celana panjang di bawah jubah yang menutupinya –karena itu lebih bisa membantu untuk tidak tersingkap terutama saat menaiki tangga, atau mengendarai kendaraan.’
  4. Janganlah menoleh kepada sebuah hadits yang sebagian orang berhujjah dengannya atas bolehnya wanita mengenakan celana panjang, yaitu hadits,
[arabic-font]رَحِمَ اللهُ الْمُتَسَرْوِلاَتِ[/arabic-font]

“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita yang bercelana panjang.” Ia adalah sebuah hadits yang dha’if. Lihatlah as-Silsilah ad-Dha’iifah (3252) (601) dan Dha’iiful Jaami’ (3102) (92).

Seandainya juga shahih, maka itu adalah celana panjang yang dipakai di bawah jilbab, atau selimut, atau pakaian yang menjulur ke bawah, dan ia lebih layak, dan lebih sempurna di dalam menutup aurat, dan lebih menunjukkan sifat malu bagi seorang wanita.

(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (1) Akhthooun Nisa fi al-Libaas Wa az-Ziinah, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)

Footnote:

([1]) HR. Muslim (890)-pent

([2]) HR. Al-Bukhari (867), Muslim (645)-pent

([3]) Muruth adalah jamak dari mirath artinya adalah pakaian yang bergaris-garis dengan garis yang berwarna, dan sebagian ulama menambahkan bahwasanya pakaian tersebut kotak-kotak. (Taisir ‘allaam Syarh Umdatil Ahkaam Kitab ash Shalat Bab al Mawaqit)-pent

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *